Sabtu, 13 September 2014

Radikalisme, Demokrasi, dan Pancasila

Radikalisme, Demokrasi, dan Pancasila

Masdar Hilmy  ;   Pengajar Program Doktor di UIN Sunan Ampel
KOMPAS, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pada seminar di UIN Sunan Ampel, Surabaya, 12 Agustus lalu, soal ”ISIS, Khilafah, dan NKRI”, muncul pertanyaan menggelitik dari seorang peserta. ”Atas dasar apa ISIS dilarang di Indonesia? Jika pelarangannya atas dasar ideologi khilafah-nya, mengapa ormas lain dengan paham serupa tidak dilarang?”
Pertanyaan sederhana itu mengentak kesadaran saya tentang rancang-bangun kehidupan beragama di negeri ini yang belum sempurna. Ia menyiratkan sebuah kompleksitas penanganan kehidupan beragama di Tanah Air yaitu sejauh mana demokrasi dan konstitusionalisme mendefinisikan batas boleh-tidaknya sebuah paham keagamaan. Inilah salah satu pekerjaan sekaligus tantangan terberat Jokowi-JK.

Bahwa kebebasan beragama telah dijamin konstitusi (UUD 1945, Pasal 28 dan 29) sudah jamak dimaklumi. Kebebasan beragama juga hak dasar warga negara yang tak bisa ditangguhkan negara dalam situasi dan kondisi apa pun. Namun, bukan tempatnya kita beradu argumen di sini tentang legalitas atau jaminan konstitusional kebebasan beragama karena hal demikian sudah dianggap final. Yang hendak dipersoalkan adalah bagaimana kelompok radikal, baik yang klandestin maupun yang terang-terangan, memanfaatkan isu kebebasan beragama untuk menjustifikasi ideologi mereka.

Demikian juga dengan demokrasi. Memang demokrasi berarti meruangkan perbedaan, memberikan jaminan hidup bagi siapa pun—termasuk ”musuh” kita— untuk meyakini dan menjalankan keyakinan agamanya tanpa paksaan dan intervensi negara. Demokrasi, di mana pun tempatnya dan dalam konteks apa pun, pasti menjamin terciptanya kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Persoalannya, argumentasi demokrasi juga telah dibajak kelompok radikal mempertahankan eksistensi mereka.

Pemanfaatan isu HAM dan demokrasi oleh sekelompok orang yang hendak menahbiskan paham keagamaan yang absolutis, totaliter, dan nihilistik jadi persoalan global di banyak negara (Roger W Stamp, Fundamentalism, Democracy and the Contesting of Meaning, 2004; 185). Intinya, gagasan tentang kebebasan beragama yang diusung HAM dan demokrasi hendak dijadikan bumper untuk mempertahankan gagasan ketakbebasan beragama sebagaimana diusung kelompok radikal.

Yang lebih muskil lagi adalah sikap mereka terhadap Pancasila. Mereka mungkin tak berani menentang Pancasila secara terbuka. Namun, kebanyakan mereka menganggap Pancasila sama dan sejajar dengan HAM dan demokrasi, ideologi ciptaan manusia yang tak pantas dipertuhankan. Mereka menganggap ketiganya sebagai toghut, hasil olah pikiran manusia yang jadi sesembahan. Cepat/lambat mereka berniat menggulingkan dan menggantikannya dengan hukum Tuhan.

Dari sini lahir tesis ”jebakan demokrasi” di kalangan ilmuwan sosial: kelompok radikal memanfaatkan demokrasi dan HAM untuk membunuh keduanya. Di negeri ini sejumlah ormas menggunakan argumentasi HAM dan demokrasi guna menjustifikasi ideologi dan paham keagamaan mereka, padahal sangat lantang dan eksplisit menentang keduanya.

Negara lemah?

Menggunakan argumentasi HAM dan demokrasi untuk mempertahankan ideologi dan paham radikalisme tentu tindakan salah kamar. Namun, negara tak punya kapasitas mengerangkeng, terlebih memberangus, segala bentuk paham dan pikiran setiap warganya, betapapun ekstrem pikiran itu. Apa pun alasannya, sepanjang ideologi semacam ini hanya bersemayam di otak manusia, negara tak bisa mengintervensi dan mengubahnya.

Ada sebuah teori yang mengatakan bahwa kemunculan radikalisme selalu dilatari kondisi negara yang lemah. Kemunculan fenomena radikalisme di Indonesia, misalnya, jauh lebih intens ketimbang di Malaysia. Menurut teori ini, Malaysia lebih kuat ketimbang Indonesia. Dengan Internal Security Act, kelompok garis keras tak berkutik di Malaysia. Sebagian bahkan melarikan diri ke Indonesia.

Di masa Orde Baru, Indonesia pernah memiliki UU Antisubversi yang bisa menggulung siapa pun, termasuk kelompok garis keras, yang dipersepsi hendak melawan negara. Mereka mudah dituduh makar ketika terdapat indikasi melawan negara. Karena UU ini sering diselewengkan rezim berkuasa, keberadaannya dicabut seiring tumbangnya Orba.

Di negara demokrasi, keberadaan perangkat perundang-undangan yang bertujuan membungkam ideologi dan pikiran yang dipersepsi makar debatable karena pembungkaman pikiran berimplikasi pada indeks kebebasan sebagai prasyarat wajib demokrasi. Atas nama stabilitas, negara sering represif terhadap kebebasan beragama dan berekspresi warganya. Dalam konteks ini, Malaysia jadi eksemplar betapa negara dapat mengintervensi kehidupan beragama dengan argumentasi stabilitas.

Perlakuan terhadap kelompok garis keras di negeri ini memang jauh berbeda dengan Malaysia. Diskursus anti demokrasi, HAM, dan Pancasila bebas berseliweran di ruang publik. Tak jarang gagasan khilafah mampu menawan sejumlah ilmuwan dan akademisi kampus hingga mereka jadi pendukung dan pengusung gagasan khilafah. Padahal, gagasan khilafah ujung-ujungnya akan menihilkan demokrasi dan Pancasila.

Merespons pertanyaan di awal tulisan ini, negara harus memformulasikan ratio-legis yang tepat dan adekuat tentang segala bentuk pelarangan ideologi dan paham keagamaan tertentu; atas dasar apa paham keagamaan tertentu dilarang atau tak dilarang? Pelarangan terhadap ideologi dan paham keagamaan tertentu jangan terkesan dipaksakan dan tebang pilih. Merupakan argumentasi yang tidak bisa dibenarkan jika alasan pelarangan terhadap NIIS/ISIS ialah kekerasan yang dilakukannya, sementara gerakan lain dengan paham serupa tak dilarang sekalipun dilakukan secara damai.

Kita pernah punya UU Antisubversi. Biarlah ia bagian masa lalu yang tak perlu diratapi. Tiada urgensi menghidupkannya kembali karena rawan diselewengkan pihak tertentu yang tak bertanggung jawab. Yang dibutuhkan adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur ”ketidakbebasan” warga negara menyebarluaskan, mengampanyekan, mengajak orang lain, untuk bersama-sama memusuhi dan atau hendak menggulingkan salah satu dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar