Politisasi
Harga BBM
Marwan Batubara ; Direktur Eksekutif
Indonesian Resources Studies (Iress)
|
REPUBLIKA,
02 September 2014
Perdebatan
kenaikan harga BBM meningkat sejak keluarnya kebijakan pengurangan pasokan
harian BBM bersubsidi pada 18 Agustus 2014. Pertamina memangkas kuota harian
Premium sekitar 5 persen dan solar sekitar 10 persen dari rata-rata harian 80
ribu kiloliter (kl).
Pengurangan
pasokan merupakan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi agar kuota dalam APBNP
2014 sebesar 46 juta kl tidak terlampaui. Sebab, hingga 31 Juli 2014 konsumsi
BBM bersubsidi telah mencapai 26,8 juta kl atau sekitar 58 persen.
Menurut
Pertamina, jika pembatasan tidak dilakukan, kuota akan terlampaui sekitar
1,35 juta kl. Hal ini membutuhkan tambahan anggaran subsidi sekitar Rp 10
triliun. Tentu saja tambahan anggaran itu menjadi beban APBN yang akan
defisit sekitar 2,4 persen terhadap PDB. Beban anggaran dapat saja berkurang
jika pemerintah mengambil kebijakan tak populer, menaikkan harga BBM.
Misalnya jika naik Rp 1.000 per liter beban subsidi berkurang Rp 48 triliun
atau jika naik Rp 2.000 per liter beban berkurang Rp 96 triliun.
Penentuan
harga BBM merupakan kebijakan yang menjadi objek pertarungan citra politik
antarpartai yang berlaku selama ini. Dalam konteks kebutuhan penaikan harga
di atas, maka pertarungan menjaga citra antara the leaving president, SBY,
dengan the coming president, Jokowi, tak dapat dihindari. Terlepas apakah kebijakan
menaikkan harga memang objektif dan mungkin dapat pula diterima
partai-partai, tersisa persoalan: siapa yang akan mengumumkan kenaikan, SBY,
Jokowi, atau SBY dan Jokowi?
Sikap SBY
Sejak
awal Agustus 2014 SBY sudah menekankan bahwa hingga 20 Oktober 2014
pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM. SBY berkepentingan menjaga citra
politik hingga lengser tanpa meninggalkan kebijakan tidak populer yang
menyengsarakan. Untuk mendukung kebijakan ini, SBY mengatakan pemerintah
hanya menjalankan perintah UU No 12/2014 tentang APBNP yang antara lain
berisi kuota dan anggaran BBM bersubsidi. Selain itu, SBY berargumen
dibutuhkan banyak persiapan, termasuk jaring pengaman sosial jika BBM akan
dinaikkan. Persiapan tak mungkin dilakukan dalam dua bulan.
Setelah
pertemuannya dengan Jokowi di Bali (28/8/2014), SBY kembali menyatakan tidak
akan menaikkan harga BBM. SBY mengingatkan pemerintah tidak ingin membebani
rakyat terlalu tinggi. Apalagi harga minyak dunia justru sedang turun. Guna
mengurangi defisit anggaran, SBY mengatakan telah menaikkan harga BBM, gas,
dan dan tarif listrik, sehingga alasan menaikkan BBM tidak kuat. Setelah
ditekan bertubi-tubi, SBY pun mengingatkan saat bersiap memimpin pada 2004
lalu, dirinya tidak pernah mendesak agar Megawati menaikkan harga BBM,
meskipun gap harga BBM subsidi saat itu sangat besar.
Sikap Jokowi
Karena
tak ingin citra politiknya hancur saat mulai memerintah dengan menaikkan
harga BBM, Jokowi dan koalisi pendukung, terutama PDIP, meminta SBY segera
mengumumkan kenaikan. Jokowi meminta SBY menaikkan harga BBM sebelum
mengakhiri jabatan. "Ya kalau bisa bagi-bagi (naikkan harga BBM) lebih
baik," katanya seusai peringatan HUT RI (17/8/2014). Jokowi pun sempat
menawarkan untuk mengumumkan bersama. Jokowi beralasan kenaikan harga BBM
diperlukan untuk menambah ruang fiskal.
Sejumlah
pernyataan vulgar pun keluar dari pendukung Jokwi, seperti SBY disebut
meninggalkan bom waktu, menyandera anggaran, mewariskan beban, dan
sebagainya. Anggota tim sukses Jokowi, Faisal Basri, menyebut pemerintahan
SBY jahat karena tidak mau segera menaikkan harga BBM dan menyusun APBN 2015
secara konservatif yang mengoyak pertumbuhan. Bahkan cawapres terpilih, JK,
mengatakan, negara bisa bangkrut jika harga BBM tidak dinaikkan. Fraksi PDIP
mengecam SBY karena melempar tanggung jawab.
Sikap
politik PDIP di atas bertolak belakang dengan pendirian selama menjadi
oposisi pemerintahan SBY. PDIP selalu menolak, bahkan saat kenaikan harga BBM
masih direncanakan. Pada 2012, misalnya, DPP PDIP menginstruksikan jajaran
partai agar memasang spanduk menolak kenaikan harga BBM di seluruh Indonesia.
Pada 2013, PDIP kembali ke barisan terdepan bersuara lantang menolak. Partai
oposisi ini juga merumuskan postur APBNP 2013 versi sendiri, berikut menerbitkan
buku putih mengapa PDIP menolak kenaikan harga BBM.
Dua kaki
Sikap
selalu menolak kenaikan harga BBM selama hampir 10 tahun membuat PDIP meraih
kursi terbanyak di DPR dan memenangkan Pilpres 2014. Kebijakan BBM bersubsidi
sebagai objek pencitraan politik berhasil meningkatkan elektabilitas PDIP di
mata rakyat.
Namun
dengan sikap menekan SBY untuk menaikkan harga BBM akhir-akhir ini,
sebenarnya secara objektif PDIP paham harga BBM memang harus dinaikkan,
termasuk saat menolak pada 2012 dan 2013. Artinya, PDIP telah bersikap
hipokrit dan sikap penolakan selama ini lebih karena kepentingan pencitraan.
Bahkan
selama sebulan terakhir, bersama media cetak/elektronik pendukungnya, PDIP
dan Jokowi telah secara secara vulgar mem-blow
up kebijakan pembatasan penyaluran BBM yang terbit pada 3 dan 18 Agustus
2014 serta menggalang opini publik guna memaksa SBY menaikkan harga BBM.
Sikap hipokrit ini mempertegas betapa pertimbangan kepentingan politik sangat
dominan dalam kebijakan BBM bersubsidi. Hal ini juga menunjukkan politik
telah digunakan secara tidak bertanggung jawab demi meraih kekuasaan,
termasuk dengan melakukan kebohongan dan pembodohan publik.
Sebelum
memerintah PDIP dan Jokowi mengecam kebijakan pemerintah yang ingin menaikkan
harga BBM. Namun giliran akan berkuasa, justru mendorong pemerintah untuk
menaikkan harga BBM. Kenapa PDIP dan Jokowi tidak bersikap ksatria dan
melakukannya sendiri? Jika buku saku putih yang diterbitkan PDIP pada 2013
benar dan objektif, tentu PDIP tidak perlu repot menekan SBY, tetapi justru
menerapkan kebijakan dalam buku tersebut saat memerintah mulai 20 Oktober
2014. Dengan menekan SBY, terbukti buku tersebut tidak konseptual, tetapi
hanya alat pencitraan.
Setelah
SBY menyatakan ditekan oleh partai besar (PDIP) dan menegaskan tidak akan
menaikkan harga BBM, serta karena gencarnya kecaman atas sikapnya yang
hipokrit, PDIP dan Jokowi berubah dan berupaya memperbaiki sikap. Jokowi,
misalnya, mengatakan akan melakukan perhitungan dan simulasi berapa dan kapan
harga BBM akan dinaikkan. JK mengatakan, "Nanti setelah 20 Oktober akan
kami putuskan. Menaikkan harga BBM itulah pilihan yang harus kita buat."
Megawati pun ikut bersuara dan menolak kalau dikatakan PDIP tidak konsisten.
Anggota
Komisi XI dari Fraksi PDIP, Maruarar Sirait, menyatakan menolak pengurangan
subsidi BBM. Menurut Maruarar, masih banyak langkah yang bisa dilakukan
mengatasi ruang gerak RAPBN 2015 tanpa harus mengubah subsidi BBM. Begitu
pula dengan anggota DPR PDIP, Rieke Diah Pitaloka (Oneng), yang menolak rencana
kenaikan harga BBM oleh Jokowi-JK.
Rakyat
perlu memahami bahwa koalisi pendukung Jokowi-JK adalah satu kesatuan,
sehingga sikap yang diambil koalisi, termasuk Maruarar dan Rieke, juga adalah
satu. Mereka akan menaikkan harga BBM! Karena itu kita yakin pernyataan
Maruarar dan Rieke pun hanya untuk pencitraan. Ke depan rakyat harus lebih
cerdas dan tidak memilih partai hipokrit. Kita pun berharap partai-partai
untuk bertanggung jawab, bebas dari kebohongan dan pembodohan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar