Rabu, 03 September 2014

Politisasi Harga BBM

Politisasi Harga BBM

Marwan Batubara  Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress)
REPUBLIKA, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Perdebatan kenaikan harga BBM meningkat sejak keluarnya kebijakan pengurangan pasokan harian BBM bersubsidi pada 18 Agustus 2014. Pertamina memangkas kuota harian Premium sekitar 5 persen dan solar sekitar 10 persen dari rata-rata harian 80 ribu kiloliter (kl).

Pengurangan pasokan merupakan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi agar kuota dalam APBNP 2014 sebesar 46 juta kl tidak terlampaui. Sebab, hingga 31 Juli 2014 konsumsi BBM bersubsidi telah mencapai 26,8 juta kl atau sekitar 58 persen.

Menurut Pertamina, jika pembatasan tidak dilakukan, kuota akan terlampaui sekitar 1,35 juta kl. Hal ini membutuhkan tambahan anggaran subsidi sekitar Rp 10 triliun. Tentu saja tambahan anggaran itu menjadi beban APBN yang akan defisit sekitar 2,4 persen terhadap PDB. Beban anggaran dapat saja berkurang jika pemerintah mengambil kebijakan tak populer, menaikkan harga BBM. Misalnya jika naik Rp 1.000 per liter beban subsidi berkurang Rp 48 triliun atau jika naik Rp 2.000 per liter beban berkurang Rp 96 triliun.

Penentuan harga BBM merupakan kebijakan yang menjadi objek pertarungan citra politik antarpartai yang berlaku selama ini. Dalam konteks kebutuhan penaikan harga di atas, maka pertarungan menjaga citra antara the leaving president, SBY, dengan the coming president, Jokowi, tak dapat dihindari. Terlepas apakah kebijakan menaikkan harga memang objektif dan mungkin dapat pula diterima partai-partai, tersisa persoalan: siapa yang akan mengumumkan kenaikan, SBY, Jokowi, atau SBY dan Jokowi?

Sikap SBY

Sejak awal Agustus 2014 SBY sudah menekankan bahwa hingga 20 Oktober 2014 pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM. SBY berkepentingan menjaga citra politik hingga lengser tanpa meninggalkan kebijakan tidak populer yang menyengsarakan. Untuk mendukung kebijakan ini, SBY mengatakan pemerintah hanya menjalankan perintah UU No 12/2014 tentang APBNP yang antara lain berisi kuota dan anggaran BBM bersubsidi. Selain itu, SBY berargumen dibutuhkan banyak persiapan, termasuk jaring pengaman sosial jika BBM akan dinaikkan. Persiapan tak mungkin dilakukan dalam dua bulan.

Setelah pertemuannya dengan Jokowi di Bali (28/8/2014), SBY kembali menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM. SBY mengingatkan pemerintah tidak ingin membebani rakyat terlalu tinggi. Apalagi harga minyak dunia justru sedang turun. Guna mengurangi defisit anggaran, SBY mengatakan telah menaikkan harga BBM, gas, dan dan tarif listrik, sehingga alasan menaikkan BBM tidak kuat. Setelah ditekan bertubi-tubi, SBY pun mengingatkan saat bersiap memimpin pada 2004 lalu, dirinya tidak pernah mendesak agar Megawati menaikkan harga BBM, meskipun gap harga BBM subsidi saat itu sangat besar.

Sikap Jokowi

Karena tak ingin citra politiknya hancur saat mulai memerintah dengan menaikkan harga BBM, Jokowi dan koalisi pendukung, terutama PDIP, meminta SBY segera mengumumkan kenaikan. Jokowi meminta SBY menaikkan harga BBM sebelum mengakhiri jabatan. "Ya kalau bisa bagi-bagi (naikkan harga BBM) lebih baik," katanya seusai peringatan HUT RI (17/8/2014). Jokowi pun sempat menawarkan untuk mengumumkan bersama. Jokowi beralasan kenaikan harga BBM diperlukan untuk menambah ruang fiskal.

Sejumlah pernyataan vulgar pun keluar dari pendukung Jokwi, seperti SBY disebut meninggalkan bom waktu, menyandera anggaran, mewariskan beban, dan sebagainya. Anggota tim sukses Jokowi, Faisal Basri, menyebut pemerintahan SBY jahat karena tidak mau segera menaikkan harga BBM dan menyusun APBN 2015 secara konservatif yang mengoyak pertumbuhan. Bahkan cawapres terpilih, JK, mengatakan, negara bisa bangkrut jika harga BBM tidak dinaikkan. Fraksi PDIP mengecam SBY karena melempar tanggung jawab.

Sikap politik PDIP di atas bertolak belakang dengan pendirian selama menjadi oposisi pemerintahan SBY. PDIP selalu menolak, bahkan saat kenaikan harga BBM masih direncanakan. Pada 2012, misalnya, DPP PDIP menginstruksikan jajaran partai agar memasang spanduk menolak kenaikan harga BBM di seluruh Indonesia. Pada 2013, PDIP kembali ke barisan terdepan bersuara lantang menolak. Partai oposisi ini juga merumuskan postur APBNP 2013 versi sendiri, berikut menerbitkan buku putih mengapa PDIP menolak kenaikan harga BBM.

Dua kaki

Sikap selalu menolak kenaikan harga BBM selama hampir 10 tahun membuat PDIP meraih kursi terbanyak di DPR dan memenangkan Pilpres 2014. Kebijakan BBM bersubsidi sebagai objek pencitraan politik berhasil meningkatkan elektabilitas PDIP di mata rakyat.

Namun dengan sikap menekan SBY untuk menaikkan harga BBM akhir-akhir ini, sebenarnya secara objektif PDIP paham harga BBM memang harus dinaikkan, termasuk saat menolak pada 2012 dan 2013. Artinya, PDIP telah bersikap hipokrit dan sikap penolakan selama ini lebih karena kepentingan pencitraan.

Bahkan selama sebulan terakhir, bersama media cetak/elektronik pendukungnya, PDIP dan Jokowi telah secara secara vulgar mem-blow up kebijakan pembatasan penyaluran BBM yang terbit pada 3 dan 18 Agustus 2014 serta menggalang opini publik guna memaksa SBY menaikkan harga BBM. Sikap hipokrit ini mempertegas betapa pertimbangan kepentingan politik sangat dominan dalam kebijakan BBM bersubsidi. Hal ini juga menunjukkan politik telah digunakan secara tidak bertanggung jawab demi meraih kekuasaan, termasuk dengan melakukan kebohongan dan pembodohan publik.

Sebelum memerintah PDIP dan Jokowi mengecam kebijakan pemerintah yang ingin menaikkan harga BBM. Namun giliran akan berkuasa, justru mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Kenapa PDIP dan Jokowi tidak bersikap ksatria dan melakukannya sendiri? Jika buku saku putih yang diterbitkan PDIP pada 2013 benar dan objektif, tentu PDIP tidak perlu repot menekan SBY, tetapi justru menerapkan kebijakan dalam buku tersebut saat memerintah mulai 20 Oktober 2014. Dengan menekan SBY, terbukti buku tersebut tidak konseptual, tetapi hanya alat pencitraan.

Setelah SBY menyatakan ditekan oleh partai besar (PDIP) dan menegaskan tidak akan menaikkan harga BBM, serta karena gencarnya kecaman atas sikapnya yang hipokrit, PDIP dan Jokowi berubah dan berupaya memperbaiki sikap. Jokowi, misalnya, mengatakan akan melakukan perhitungan dan simulasi berapa dan kapan harga BBM akan dinaikkan. JK mengatakan, "Nanti setelah 20 Oktober akan kami putuskan. Menaikkan harga BBM itulah pilihan yang harus kita buat." Megawati pun ikut bersuara dan menolak kalau dikatakan PDIP tidak konsisten.

Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP, Maruarar Sirait, menyatakan menolak pengurangan subsidi BBM. Menurut Maruarar, masih banyak langkah yang bisa dilakukan mengatasi ruang gerak RAPBN 2015 tanpa harus mengubah subsidi BBM. Begitu pula dengan anggota DPR PDIP, Rieke Diah Pitaloka (Oneng), yang menolak rencana kenaikan harga BBM oleh Jokowi-JK.

Rakyat perlu memahami bahwa koalisi pendukung Jokowi-JK adalah satu kesatuan, sehingga sikap yang diambil koalisi, termasuk Maruarar dan Rieke, juga adalah satu. Mereka akan menaikkan harga BBM! Karena itu kita yakin pernyataan Maruarar dan Rieke pun hanya untuk pencitraan. Ke depan rakyat harus lebih cerdas dan tidak memilih partai hipokrit. Kita pun berharap partai-partai untuk bertanggung jawab, bebas dari kebohongan dan pembodohan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar