Senin, 01 September 2014

Menjaga Anak dari Gerakan Radikal

Menjaga Anak dari Gerakan Radikal

Nur’aeni Ahmad  ;   Ketua PB Persatuan Wanita
Tarbiyah Islamiyah (Perwati), Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 30 Agustus 2014

                                                                                                                       


Apa yang terjadi di Irak dan Suriah saat ini hendaknya benar-benar menjadi pelajaran yang berharga bagi kita bangsa Indonesia, terutama dalam menangkis ideologi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) masuk ke negara kita. Seluruh negara di dunia kini mewaspadai penyebaran paham ISIS dengan ideologi dan cara yang penuh kekerasan ke penjuru bumi.

Umat Islam mana yang tak khawatir melihat tindakan ISIS yang sudah di luar perikemanusiaan. Orang tua memiliki peran sentral dalam menghindarkan negeri ini dari ISIS. Alasan perlunya kewaspadaan orang tua terhadap gerakan ISIS tentu sangat beralasan, karena kita di Indonesia ingin mengembangkan ajaran Islam yang rahmatan lil rahmatan lil alamin. Bukanlah wajah Islam yang penuh dengan kekerasan, menumpahkan darah, bahkan membunuh sesama pemeluk Islam bila tak mau mengikuti ideologi yang dianut ISIS itu sendiri.

ISIS tidak hanya memerangi orang berbeda agama atau berbeda paham seperti syiah, Kristen Yazidi, tetapi mereka juga membunuh orang Islam yang seiman, bahkan ulama sufi pun mereka bunuh karena beda ideologi dengan mereka. Paham ISIS, paham Islam yang keras, sadis, dan mengerikan. Ajaran yang dianut ISIS dalam berjihad adalah diperbolehkan membunuh birokrat, pemerintah, dan bahkan tokoh agama yang tidak mereka sukai. Mereka juga diperbolehkan merampok dan menyerang instansi tempat ibadah dan tempat keramaian. (KORAN SINDO, 10/8).

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Said Aqil Siradj menegaskan, paham negara ISIS tidak dibenarkan oleh agama Islam. Menurutnya, apa yang dilakukan ISIS tidak direstui Islam, tidak direstui oleh Alquran. ISIS dikutuk oleh Allah, dikutuk oleh Islam. Menurut Said, agama Islam tidak pernah membenarkan perilaku kekerasan, sementara ISIS menghalalkan kekerasan bagi siapa saja yang bertentangan paham yang mereka anut. Tidak ada agama dalam kekerasan, tidak ada kekerasan dalam agama. (Antara News, 25/8).

Kita perlu mengapresiasi terhadap keputusan yang diambil oleh negara kita di mana negara telah menyatakan “ISIS Organisasi Teroris” sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ansyaad Mbai selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Seminar Nasional “Membahas Fenomena ISIS, NKRI, dan Islam Rahmatan Lil Alamin” di Kemenag RI, Jumat (22/8). Seminar tersebut melibatkan para pimpinan ormas-ormas Islam, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Kesimpulan ISIS sebagai organisasi teroris diambil berdasarkan fakta bahwa gerakan itu ditemukan di kantong-kantong teroris dengan pendukung yang “berganti baju” dari gerakan teroris yang pernah ada, demikian juga modus yang mereka gunakan. Keberadaan ISIS di Indonesia menurut Mbai belum membuat organisasi resmi, namun ajaran yang disampaikan dan dilakukan adalah bentuk jaringan teroris. Maka itu, keberadaan ISIS di Indonesia sebagai bentuk ancaman bagi masyarakat dan keutuhan negara yang berideologi Pancasila. BNPT mengidentifikasi ISIS adalah jaringan yang sama dengan jaringan Al-Qaeda.

Gerakan yang dilakukan dan pemahaman ekstrem dalam berjihad juga sama, karena itu ISIS bukanlah gerakan yang baru. Kenyataan di beberapa daerah yang sudah ditemukan penganut dan simpatisan ISIS dan sebagian mereka telah dibaiat ISIS. Bahkan, sudah ada simpatisan ISIS yang memasang bendera ISIS di rumahnya, seperti yang terjadi di Depok, walaupun didasarkan pada ketertarikan mereka pada bendera ISIS semata karena bertuliskan kalimat tauhid. Mencermati keadaan saat ini, setelah selesai pilpres, Indonesia harus meningkatkan kehati-kehatiannya dalam segala segi.

Negara harus bisa berlaku adil, tidak diskriminatif, tidak menzalimi rakyat, dan membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya, memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan sebagainya. Sebagai warga negara, jangan mudah terhasut dan terpengaruh dengan hal-hal yang mungkin merugikan kita sendiri. Mulyadi Kartanegara (2014) mengatakan bahwa kita harus peduli dan prihatin atas perkembangan Islam di negeri kita akhir-akhir ini yang semakin mengarah pada pemahaman Islam simplistis, dogmatik, dan semakin keras.

Hal ini menjadi suatu kekhawatiran yang mendasar bagi kita sebagai orang tua, jangan sampai kita lalai mengawasi anak-anak kita terutama mereka yang masih usia muda dan berjiwa muda, mereka mudah dipengaruhi oleh informasi-informasi yang menyesatkan (melalui media informasi yang sangat canggih, kadang kala orang tua tak mengerti karena keterbatasan pengetahuan mereka) merugikan. Alangkah sedih dan menyesakkan dada, tanpa sepengetahuan orang tua, tahutahu anaknya sudah berurusan dengan organisasi teroris, tertangkap, bahkan sudah meninggal di tangan Densus 88.

Kenyataan membuktikan selama ini banyak anak-anak muda yang telah dicuci otaknya sehingga mereka rela menjadi “pengantin” dan kemudian meledakkan bom yang dipasang di tubuh mereka. Benarkah hal semacam itu syahid? Apakah itu dianjurkan dalam Islam. Yang pasti, pemahaman mereka terhadap ajaran agama belum kuat, keimanannya belum terbangun secara baik alias ikutikutan (sebut saja agama KTP). Kelemahan lainnya mereka belum mengerti dan paham ideologi negara Pancasila, belum memahami undang-undang negara secara baik. Sebagian ada dengan sadar mau mengganti dasar negara Indonesia dengan mendirikan kekhalifahan Islam.

Dalam konteks ini, ada artikel menarik yang ditulis oleh Political Director of Huffington Post Inggris Mehdi Hasan berjudul “What the Jihadist Who Bought What the Jihadist Who Bought Islam for DummiesIslam for Dummies on Amazon Tells Us About Radicalization“ (Huffington Post, 21/8). Dalam artikelnya itu, Mehdi bercerita bahwa pemuda Inggris yang mengalami radikalisasi dan berperang ke Suriah pada Mei tahun ini bernama Yusuf Sarwar dan Mohammed Ahmed membeli dua buku Islam for Dummies (Islam untuk Pemula) dan Koran for Dummies (Alquran untuk Pemula).

Fenomena ini menurut Hasan sangat menarik karena mengafirmasi beberapa pandangan ahli selama ini yang mengatakan bahwa pemuda-pemuda yang teradikalisasi dan terjebak dalam gerakan radikal seperti ISIS umumnya adalah orang-orang yang pemahaman agamanya cenderung rendah (religious novices). Lebih lanjut, Hasan mengutip penelitian beberapa ahli yang tertuang dalam berbagai buku seperti psikolog forensik dan mantan anggota CIA Marc Sageman, ilmuwan politik Robert Pape, ahli hubungan internasional Rik Coolsaet, ahli dunia Islam Olivier Roy serta antropolog Scott Atran, yang telah meneliti kehidupan para teroris dan bersepakat bahwa bukan Islamlah penyebab dari perilaku radikal tersebut. Bahkan, dia menunjukkan bahwa ada kecenderungan anak-anak muda yang bergabung dengan gerakan radikal ini karena merasakan ketidakadilan dalam kehidupannya sehari-hari dan melihat ada harapan kesetaraan dan kesempatan untuk permulaan baru dalam gerakan teroris ini.

Orang Tua sebagai Penanggung Jawab Utama

Orang tua harus peduli akan masa depan anak-anaknya, karena masa depan anak adalah masa depan bangsa. Kita harus menjaga dan menjadikan bangsa kita bangsa yang rukun, damai, dan sejahtera, aman dalam menjalankan kehidupan sehari- hari. Untuk itu, kita turut mendukung larangan resmi pemerintah yang melarang gerakan ISIS di Indonesia lantaran bertentangan dengan ideologi Pancasila sebagai dasar negara Orang tua berperan sebagai penanggung jawab utama dalam kehidupan anaknya.

Ia adalah penggembala sesuai dengan hadis yang berbunyi “Kullukum raaKullukum raain wa kullukum mas uulun in wa kullukum mas uulun an raaan raaiyatikum“ artinya setiap kamu adalah penggembala dan akan diminta pertanggung jawabannya terhadap apa yang kamu gembalakan. Oleh karena itu, orang tua harus bersungguh-sungguh menjaga anaknya dari segala marabahaya baik marabahaya neraka dunia maupun marabahaya neraka akhirat (azab neraka) dengan jalan menanamkan keimanan yang kemudian berfungsi sebagai benteng dalam kehidupan anak di masa datang..

Orang tua berperan sebagai pendidik pertama yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan Firman Allah yang artinya “Jagalah dirimu dan keluargamu dari azab neraka“ (QS At-Tahrim ayat 6). Nabi Muhammad SAW juga berpesan “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan keluarga kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.” Sejatinya tak ada orang tua yang menginginkan anaknya celaka dan mencelakai dirinya dan memilih jalan yang salah atau jalan kekerasan yang merugikan dirinya sendiri dan keluarga.

Tidak satu pun agama yang membenarkan yang nama bunuh diri, walaupun sebesar apa pun pesan yang hendak disampaikannya. Tak ada agama yang menganjurkan pemeluknya melakukan bunuh diri, demikian juga membunuh orang-orang yang tak berdosa, orang yang berbeda agama dengan mereka kecuali kalau mereka memerangi. Anak itu bagaikan mutiara yang bersih dari kotoran-kotoran. Bila anak dididik pada kebaikan maka dia akan tumbuh di dunia dan akhirat dalam keadaan bahagia dan akan dapat mewariskan pahala kepada orang tua dan gurunya.

Sebaliknya jika anak itu diajar pada kejahatan maka semua akan celaka. Sebaliknya bila anak dibesarkan dalam kekerasan, maka di jiwanya akan tertanam kekerasan dan bahkan balas dendam. Karena itulah, orang tua harus hati-hati, mendidik, memandu, dan membesarkan anak-anak mereka agar tetap berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin . Kita harus bisa menjaga anak kita agar menjadi orang-orang baik dan bergaul dengan orang yang baik. Jangan sampai anak-anak dan keluarga kita merugikan kita bahkan ada yang menjadi musuh bagi kita, bahkan bisa membunuh kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar