Senin, 01 September 2014

Anak Pemulung dan Musik yang Membebaskan

Anak Pemulung dan Musik yang Membebaskan

Ivan Hadar  ;   Ketua Dewan Penasihat Yayasan Philharmonic Society (YPS),
Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe)
KORAN SINDO, 30 Agustus 2014

                                                                                                                       


Jauh sebelum teori kecerdasan emosi terkait otak kanan diungkapkan oleh Daniel Goleman pada 1995, Alexander Sutherland Neill, pendiri Summerhill School yang terkenal dengan pedagogik kreatifnya, mengatakan: “Saya meyakini bahwa perkembangan emosi anak jauh lebih penting ketimbang kemajuan intelektualnya. Untuk itu, pendidikan musik sangat mendukung perkembangan anak secara signifikan“. (Summerhill School, 1960)

Lebih lanjut Neill mengungkapkan bahwa “Anak-anak dengan kecerdasan biasa-biasa saja, dengan belajar keras dan susah payah, memang bisa lolos ujian perguruan tinggi. Akan tetapi, selepas kuliah, mereka bakal menjadi guru yang tidak imajinatif, dokter yang sedang-sedang saja, atau pengacara yang payah.” Baginya, “intelektualitas tanpa minat dan emosi yang mendukung adalah percuma!“ Berbagai studi telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan musik sejak dini. Manfaatnya akan diperoleh hingga beberapa dekade ke depan.

Selain otak kanan, pendidikan musik juga mempercepat perkembangan motorik seorang anak. Hal ini karena belajar alat musik membutuhkan koordinasi tangan dengan stimulasi visual (penglihatan) dan audio (pendengaran) dalam otak. Seperti sudah banyak diketahui, mendengarkan musik klasik sangat disarankan bagi para ibu hamil. Pasalnya, musik klasik dipercaya mampu menstimulasi pertumbuhan otak janin dalam kandungan. Tak sampai di situ, belajar alat musik juga sangat baik bagi anak-anak usia dini.

Musik yang Membebaskan

Pedagogik modern, meyakini bahwa pendidikan yang baik harus memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi serta mengekspresikan perasaannya. Dengan demikian, dalam diri anak didik akan muncul kesadaran bahwa pendidikan itu untuk dirinya, dan bahwa belajar itu adalah hak bukan kewajiban. Pendidikan juga bisa membangun kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, kesadaran kritis bisa membawa angin segar bagi perubahan tatanan sosial yang adil dan menyejahterakan.

Konsep pendidikan yang membebaskan ini, tentu tak bisa dilepaskan dari seorang pemikir pendidikan kritis asal Brasil, Paulo Freire. Salah satu pemikiran utamanya adalah bahwa pendidikan harus bisa membangun kesadaran untuk memanusiakan manusia. Hal ini berlaku untuk semua termasuk untuk anak-anak yang berasal dari kelompok marjinal dan miskin. Saat ini terdapat sekitar 25 juta orang Indonesia yang dikategorikan sebagai orang miskin. Dari jumlah tersebut, sekitar 10 juta adalah anak-anak usia sekolah.

Sebagian dari mereka harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga tak jarang terpaksa drop out. Sayangnya banyak program bantuan diberikan dalam bentuk uang dan barang, yang oleh banyak pihak, dianggap relatif lebih “memberikan ikan ketimbang pancing”. Sebuah contoh yang bisa menjadi inspirasi adalah pendidikan musik bagi anak-anak miskin yang bermukim di kawasan kumuh Caracas, Venezuela. Pendidikan musik dengan nama El Sistema ini dimulai di garasi bawah tanah milik dirigen, komponis, ekonom dan (kemudian juga) politisi José Antonio Antonio Abreu, hampir 40 tahun lalu.

Tepatnya, pada 1975, Abreu mendirikan orkestra pertama di Venezuela yang anggotanya terdiri atas 12 anak muda kelompok termiskin dari perkampungan kumuh Caracas, ibu kota Venezuela. Sebuah proyek yang kini telah merambah berbagai penjuru bumi, termasuk melahirkan para musisi kelas dunia, seperti Top-Star Conductor, Gustavo Dudamel.

Saat ini El Sistema, demikian gerakan yang diinisiasi Abreu itu, telah beranggotakan lebih dari 300.000 anak dari keluarga miskin. Proyek yang menjadi gerakan tersebut kemudian menginspirasi berbagai gerakan di negara- negara Amerika Latin, bahkan kemudian juga menginspirasi negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Korea. Sebuah penelitian di AS, misalnya, mencatat terdapat enam program yang terinspirasi oleh El Sistema, lima di antaranya berupa kegiatan “after school“, dan satu sebagai bagian integral kurikulum sekolah.

Musik dan Anak Pemulung

Indonesia, sebagai tahap awal, Yayasan Philharmonic Society (YPS) telah melakukan pendidikan musik yang membebaskan bagi ratusan anak-anak pemulung di dua kawasan kumuh di DKI Jakarta. Bantuan dari para guru dan relawan dalam proses seleksi ini, sangat dibutuhkan untuk memahami kondisi (kejiwaan, kesejahteraan, tingkat pendidikan, hobi, bakat seni musik) sebagai bagian dari proses membentuk orkestra pertama anak-anak pemulung, sebagai bagian dari kelompok termiskin di Indonesia.

Pemeran utamanya adalah Jakarta Philharmonic Orchestra (JPO) sebagai salah satu komponen YPS yang dengan pengalaman dan sumber daya yang dimilikinya, bertanggung jawab terhadap metode, kurikulum, instrumen, dan sebagainya yang berkaitan dengan pendidikan musik dan pembentukan orkestra anak-anak (miskin). JPO, sebelumnya bernama Orkestra Simfoni Jakarta (OSJ), adalah orkestra tertua di Indonesia dengan pengalaman “jatuh- bangun” yang panjang melalui berbagai episode sejarah permusikan di negeri ini.

Pernah berkembang pesat ketika Bang Ali (Sadikin) menjadi gubernur Jakarta yang kemudian diteruskan pada masa Gubernur Suryadi Soedirdja. Saat ini JPO dipimpin oleh beberapa figur, seperti Neneng Rahardjadan, dirigen Yudianto Hinupurwadi. Tujuannya adalah mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat, dengan cara memberikan pendidikan musik secara cuma-cuma dan menjadi bagian dari orkestra. YPS juga berencana menggabung orkestra yang terdiri atas anak-anak berbagai strata sosial–miskin, menengah dan atas, sebagai langkah integrasi sosial.

Beberapa prinsip dasar dari pendidikan musik yang membebaskan adalah, intensitas dan frekuensi, aksesibilitas dan kualitas, “passion first“ (gairah, semangat adalah yang pertama), setelah itu baru “precision“ (presisi), dan peleburan diri para anggota dalam kebersamaan orkestra. Terdapat kesepakatan tentang pentingnya memberikan rasa aman bagi para peserta yang berasal dari kelompok marginal. Dibutuhkan lingkungan yang penuh asah, asih, dan asuh, serta pendidikan musik yang murah dan gratis bagi anak dan pemuda dari kelompok termiskin dan berisiko.

Di Jakarta, penampilan awal orkes yang berjumlah 150 anak pemulung di hadapan 1.500 bocah yatim piatu dan tamu undangan dalam acara buka puasa bersama belum lama ini, telah membuat banyak penonton menangis bahagia, serta meningkatkan kepercayaan diri anak-anak yang sehari-hari berkutat dengan sampah. Pendidikan musik yang membebaskan dimaksudkan untuk memberikan “bekal” bagi anak-anak dan remaja dalam upaya– bersama dan secara individu–untuk keluar dari keterkungkungan kemiskinan dan keterpinggiran.

Dari pengalaman mancanegara, pendidikan musik yang membebaskan bagi anak-anak dan remaja dari komunitas miskin dan terpinggirkan bisa menjadi gerakan yang memberikan kontribusi cukup signifikan bagi pemberantasan kemiskinan, sekaligus meningkatkan (indeks) pembangunan manusia sebuah bangsa. Bagi Indonesia, yangmemiliki jumlah orang miskin dan hampir miskin mencapai angka di atas 100 juta jiwa, diperlukan cara yang lebih kreatif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Pendidikan (musik) yang bersifat memandirikan agar membebaskan individu bisa keluar dari kemiskinan dan keterpinggiran adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, jumlah orang miskin yang tergantung pada bantuan akan semakin meningkat, sehingga selain menjadi beban bagi diri sendiri dan masyarakat, juga melemahkan jati diri dan harga diri bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar