Anak
Pemulung dan Musik yang Membebaskan
Ivan Hadar ; Ketua Dewan Penasihat Yayasan
Philharmonic Society (YPS),
Direktur
Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe)
|
KORAN
SINDO, 30 Agustus 2014
Jauh
sebelum teori kecerdasan emosi terkait otak kanan diungkapkan oleh Daniel
Goleman pada 1995, Alexander Sutherland Neill, pendiri Summerhill School yang
terkenal dengan pedagogik kreatifnya, mengatakan: “Saya meyakini bahwa perkembangan emosi anak jauh lebih penting
ketimbang kemajuan intelektualnya. Untuk itu, pendidikan musik sangat
mendukung perkembangan anak secara signifikan“. (Summerhill School, 1960)
Lebih
lanjut Neill mengungkapkan bahwa “Anak-anak
dengan kecerdasan biasa-biasa saja, dengan belajar keras dan susah payah,
memang bisa lolos ujian perguruan tinggi. Akan tetapi, selepas kuliah, mereka
bakal menjadi guru yang tidak imajinatif, dokter yang sedang-sedang saja,
atau pengacara yang payah.” Baginya, “intelektualitas
tanpa minat dan emosi yang mendukung adalah percuma!“ Berbagai studi
telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan musik sejak dini. Manfaatnya
akan diperoleh hingga beberapa dekade ke depan.
Selain
otak kanan, pendidikan musik juga mempercepat perkembangan motorik seorang
anak. Hal ini karena belajar alat musik membutuhkan koordinasi tangan dengan
stimulasi visual (penglihatan) dan audio (pendengaran) dalam otak. Seperti
sudah banyak diketahui, mendengarkan musik klasik sangat disarankan bagi para
ibu hamil. Pasalnya, musik klasik dipercaya mampu menstimulasi pertumbuhan
otak janin dalam kandungan. Tak sampai di situ, belajar alat musik juga
sangat baik bagi anak-anak usia dini.
Musik yang Membebaskan
Pedagogik
modern, meyakini bahwa pendidikan yang baik harus memberikan ruang bagi anak
untuk berkreasi serta mengekspresikan perasaannya. Dengan demikian, dalam
diri anak didik akan muncul kesadaran bahwa pendidikan itu untuk dirinya, dan
bahwa belajar itu adalah hak bukan kewajiban. Pendidikan juga bisa membangun
kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, kesadaran
kritis bisa membawa angin segar bagi perubahan tatanan sosial yang adil dan
menyejahterakan.
Konsep
pendidikan yang membebaskan ini, tentu tak bisa dilepaskan dari seorang
pemikir pendidikan kritis asal Brasil, Paulo Freire. Salah satu pemikiran
utamanya adalah bahwa pendidikan harus bisa membangun kesadaran untuk
memanusiakan manusia. Hal ini berlaku untuk semua termasuk untuk anak-anak
yang berasal dari kelompok marjinal dan miskin. Saat ini terdapat sekitar 25
juta orang Indonesia yang dikategorikan sebagai orang miskin. Dari jumlah
tersebut, sekitar 10 juta adalah anak-anak usia sekolah.
Sebagian
dari mereka harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga tak jarang
terpaksa drop out. Sayangnya banyak
program bantuan diberikan dalam bentuk uang dan barang, yang oleh banyak
pihak, dianggap relatif lebih “memberikan ikan ketimbang pancing”. Sebuah
contoh yang bisa menjadi inspirasi adalah pendidikan musik bagi anak-anak
miskin yang bermukim di kawasan kumuh Caracas, Venezuela. Pendidikan musik
dengan nama El Sistema ini dimulai di garasi bawah tanah milik dirigen,
komponis, ekonom dan (kemudian juga) politisi José Antonio Antonio Abreu,
hampir 40 tahun lalu.
Tepatnya,
pada 1975, Abreu mendirikan orkestra pertama di Venezuela yang anggotanya
terdiri atas 12 anak muda kelompok termiskin dari perkampungan kumuh Caracas,
ibu kota Venezuela. Sebuah proyek yang kini telah merambah berbagai penjuru
bumi, termasuk melahirkan para musisi kelas dunia, seperti Top-Star
Conductor, Gustavo Dudamel.
Saat
ini El Sistema, demikian gerakan yang diinisiasi Abreu itu, telah
beranggotakan lebih dari 300.000 anak dari keluarga miskin. Proyek yang
menjadi gerakan tersebut kemudian menginspirasi berbagai gerakan di negara-
negara Amerika Latin, bahkan kemudian juga menginspirasi negara-negara Eropa,
Amerika Serikat (AS), dan Korea. Sebuah penelitian di AS, misalnya, mencatat
terdapat enam program yang terinspirasi oleh El Sistema, lima di antaranya
berupa kegiatan “after school“, dan
satu sebagai bagian integral kurikulum sekolah.
Musik dan Anak
Pemulung
Indonesia,
sebagai tahap awal, Yayasan
Philharmonic Society (YPS) telah melakukan pendidikan musik yang
membebaskan bagi ratusan anak-anak pemulung di dua kawasan kumuh di DKI
Jakarta. Bantuan dari para guru dan relawan dalam proses seleksi ini, sangat
dibutuhkan untuk memahami kondisi (kejiwaan, kesejahteraan, tingkat
pendidikan, hobi, bakat seni musik) sebagai bagian dari proses membentuk
orkestra pertama anak-anak pemulung, sebagai bagian dari kelompok termiskin
di Indonesia.
Pemeran
utamanya adalah Jakarta Philharmonic Orchestra (JPO) sebagai salah satu komponen
YPS yang dengan pengalaman dan sumber daya yang dimilikinya, bertanggung
jawab terhadap metode, kurikulum, instrumen, dan sebagainya yang berkaitan
dengan pendidikan musik dan pembentukan orkestra anak-anak (miskin). JPO,
sebelumnya bernama Orkestra Simfoni Jakarta (OSJ), adalah orkestra tertua di
Indonesia dengan pengalaman “jatuh- bangun” yang panjang melalui berbagai
episode sejarah permusikan di negeri ini.
Pernah
berkembang pesat ketika Bang Ali (Sadikin) menjadi gubernur Jakarta yang
kemudian diteruskan pada masa Gubernur Suryadi Soedirdja. Saat ini JPO
dipimpin oleh beberapa figur, seperti Neneng Rahardjadan, dirigen Yudianto
Hinupurwadi. Tujuannya adalah mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat,
dengan cara memberikan pendidikan musik secara cuma-cuma dan menjadi bagian
dari orkestra. YPS juga berencana menggabung orkestra yang terdiri atas
anak-anak berbagai strata sosial–miskin, menengah dan atas, sebagai langkah
integrasi sosial.
Beberapa
prinsip dasar dari pendidikan musik yang membebaskan adalah, intensitas dan
frekuensi, aksesibilitas dan kualitas, “passion
first“ (gairah, semangat adalah yang pertama), setelah itu baru “precision“ (presisi), dan peleburan
diri para anggota dalam kebersamaan orkestra. Terdapat kesepakatan tentang
pentingnya memberikan rasa aman bagi para peserta yang berasal dari kelompok
marginal. Dibutuhkan lingkungan yang penuh asah, asih, dan asuh, serta
pendidikan musik yang murah dan gratis bagi anak dan pemuda dari kelompok
termiskin dan berisiko.
Di
Jakarta, penampilan awal orkes yang berjumlah 150 anak pemulung di hadapan
1.500 bocah yatim piatu dan tamu undangan dalam acara buka puasa bersama
belum lama ini, telah membuat banyak penonton menangis bahagia, serta
meningkatkan kepercayaan diri anak-anak yang sehari-hari berkutat dengan
sampah. Pendidikan musik yang membebaskan dimaksudkan untuk memberikan
“bekal” bagi anak-anak dan remaja dalam upaya– bersama dan secara individu–untuk
keluar dari keterkungkungan kemiskinan dan keterpinggiran.
Dari
pengalaman mancanegara, pendidikan musik yang membebaskan bagi anak-anak dan
remaja dari komunitas miskin dan terpinggirkan bisa menjadi gerakan yang
memberikan kontribusi cukup signifikan bagi pemberantasan kemiskinan,
sekaligus meningkatkan (indeks) pembangunan manusia sebuah bangsa. Bagi
Indonesia, yangmemiliki jumlah orang miskin dan hampir miskin mencapai angka
di atas 100 juta jiwa, diperlukan cara yang lebih kreatif dalam upaya
penanggulangan kemiskinan.
Pendidikan
(musik) yang bersifat memandirikan agar membebaskan individu bisa keluar dari
kemiskinan dan keterpinggiran adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, jumlah
orang miskin yang tergantung pada bantuan akan semakin meningkat, sehingga
selain menjadi beban bagi diri sendiri dan masyarakat, juga melemahkan jati
diri dan harga diri bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar