Senin, 01 September 2014

Kekerasan terhadap Anak

Kekerasan terhadap Anak

Erlangga Masdiana  ;   Kriminolog,
Mantan Ketua Program Pascasarjana (PPS) Kriminologi FISIP UI
KORAN SINDO, 30 Agustus 2014

                                                                                                                       


Kekerasan terhadap anak di Kabupaten Siak, Riau yang melibatkan suamiistri dan dua orang teman telah merenggut tujuh orang nyawa, enam di antaranya adalah anakanak. Setidak-tidaknya ada lima tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku yaitu penculikan, penganiayaan, kesusilaan (sodomi), pembunuhan, dan mutilasi.

Data tentang kekerasan terhadap anak. Data kejahatan terhadap anak di Indonesia masih menunjukkan “angka gelap” (dark number)nya tinggi, artinya sulit mengetahui data sesungguhnya. Pasalnya, masyarakat masih memandang bahwa kekerasan yang menimpa anak, terutama kekerasan seksual, merupakan aib sehingga tidak bisa diketahui data sesungguhnya (masyarakat enggan mela-porkan kekerasan seksual kepada pihak kepolisian). Berbeda halnya dengan kejahatan seks terhadap anak di Inggris di mana masyarakatnya lebih terbuka.

Persoalan kejahatan (apalagi kejahatan seks) terhadap anak merupakan tindakan yang harus ditangani secara serius, baik penanganan hukumnya maupun penanganan trauma korbannya. Angka kekerasan seksual terhadap anak hampir terjadi setiap 20 menit. Kekerasan seksual terhadap anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki, yakni kejahatan pemerkosaan, incest, dan prostitusi anak. Sebagian besar korbannya adalah anak-anak berusia 11-17 tahun. Di Inggris memang tidak ada kejahatan seks atau kekerasan terhadap anak-anak diakhiri dengan mutilasi sebagai bentuk “penghilangan” barang bukti korban kejahatan.

Kejahatan terhadap anak di Indonesia memang sangat ekstrem berbeda dengan berbagai negara. Merebaknya kejahatan pembunuhan bisa beriringan juga dengan mutilasi, karena tindakan memotong-motong mayat (mutilasi) ini dianggap sebagai cara pamungkas untuk menghilangkan jejak kejahatan. Namun, para pelaku tidak menyadari bahwa kejahatan pembunuhan di era modern sekarang ini jarang tidak terungkap, karena teknologi kepolisian telah mengalami kemajuan pesat.

Realitas Kejahatan

Kejahatan sudah menjadi realitas sosial yang tidak bisa dihilangkan dalam suatu masyarakat yang dinamis. Namun, apakah kejahatan itu mengalami intensitas kekerasan atau mengalami penurunan tingkat kekerasannya. Kondisinya dipengaruhi oleh berbagai potensi yang bisa meningkatkan intensitas kekerasannya. Faktor-faktor berpengaruh dalam peningkatan intensitas kekerasan, yaitu: Pertama, adalah subbudaya kekerasan yang dianut oleh para pelaku yang bisa menumbuhsuburkan tindakan kekerasan. Para pelaku yang memiliki riwayat langsung sebagai korban kekerasan akan berpotensi untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain.

Kedua, media massa kita yang mengekspos kekerasan dan konflik secara tidak disadari telah menghadirkan “rasa atau selera yang wajar” (pembiasaan) terhadap kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan bagaikan tergerus dengan kekerasan sebagai suatu fenomena yang “wajar” terjadi. Kekerasan ditampilkan dengan modus operandi dan motif kejahatan dibahas sedemikian rupa supaya khalayak (audience) menarik. Penampilan media semacam ini meskipun dimaksudkan dalam rangka melakukan kontrol sosial, namun pada sebagian kalangan juga bisa membawa efek peniruan (walaupun “delayed effect“) yang bisa menjadi katalog dalam memori panjang (long-term memory) pada penonton yang memiliki masalah yang hampir sama.

Suatu ketika bisa amat berbahaya muncul jika ada problem pribadi dan sosial yang begitu menekan sehingga tinggal menunggu “trigger factors“ saja. Mutilasi atau kekerasan terhadap anak menggambarkan realitas sosial yang ada di masyarakat kita. Kita seakan-akan sudah dikepung (harus waspada) akan bahaya kekerasan terhadap anak. Orang tua yang memiliki anak-anak merasakan kekhawatiran terus menerus jika menonton dan membaca berita tentang kekerasan terhadap anak seperti: penculikan, perdagangan anak, mempekerjakan anak, sodomi, perdagangan bayi, penjualan organ tubuh, aborsi kriminal (abortus provocatus criminalis), dan lain-lain.

Ketahanan Sosial

Bangunan nilai masyarakat kita perlu dipertanyakan, apakah masih menganut nilai-nilai Pancasila yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah nilai masyarakat kita telah bergeser kepada budaya pragmatisme? Kualitas kekerasan terhadap anak dari waktu ke waktu terus meningkat. Secara kuantitatif, banyak bermunculan dari satu daerah ke daerah lain. Berbagai kejadian kekerasan di dalam rumah tangga seperti: ada seorang ibu karena kesal kepada suami melakukan penganiayaan kepada anaknya di Bandung dan Jember. Ada ibu yang rela menjual anaknya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Ada seorang bapak memerkosa anak kandung, anak tiri, dan kemenakannya. Di luar rumah, berbagai kekerasan terhadap anak acap terjadi seperti: di kawasan permukiman liar, di kolong-kolong jembatan, pinggir rel kereta api, sekitar terminal. Anak-anak sangat rentan menjadi korban kejahatan, karena mereka adalah orang yang semestinya mendapatkan perlakuan khusus. Mereka masih bergantung kepada orang dewasa (orang tua). Kasus-kasus kejahatan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak, adalah karena lepasnya kontrol orang tua terhadap anak.

Ketika orang tua sudah mempercayakan kepada orang lain di luar rumah, misalnya di sekolah, berarti peran sebagai perlindungan adanya di lembaga sekolah. Dapat diartikan juga, nilai pengakuan terhadap hak-hak anak antara rumah (keluarga) dan sekolah tidak boleh bertentangan. Untuk kasus kekerasan seksual kepada anak di sekolah yang dialami korban-korban murid Jakarta International School (JIS), merupakan tamparan berat bagi para pendidik.

Apalagi atas dasar nilai kemandirian, anak tidak mendapatkan pendampingan dijadikan sebagai korban kekerasan seksual. Dengan demikian, konsep ketahanan sosial menjadi kata kunci untuk dapat meredam berbagai tindakan kekerasan terhadap anak. Apatah lagi ketahanan sosial lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga yang mestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang dan perlindungan terhadap anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar