Kekerasan
terhadap Anak
Erlangga Masdiana ; Kriminolog,
Mantan
Ketua Program Pascasarjana (PPS) Kriminologi FISIP UI
|
KORAN
SINDO, 30 Agustus 2014
Kekerasan
terhadap anak di Kabupaten Siak, Riau yang melibatkan suamiistri dan dua
orang teman telah merenggut tujuh orang nyawa, enam di antaranya adalah
anakanak. Setidak-tidaknya ada lima tindak kejahatan yang dilakukan oleh para
pelaku yaitu penculikan, penganiayaan, kesusilaan (sodomi), pembunuhan, dan
mutilasi.
Data
tentang kekerasan terhadap anak. Data kejahatan terhadap anak di Indonesia
masih menunjukkan “angka gelap” (dark number)nya tinggi, artinya sulit
mengetahui data sesungguhnya. Pasalnya, masyarakat masih memandang bahwa
kekerasan yang menimpa anak, terutama kekerasan seksual, merupakan aib
sehingga tidak bisa diketahui data sesungguhnya (masyarakat enggan
mela-porkan kekerasan seksual kepada pihak kepolisian). Berbeda halnya dengan
kejahatan seks terhadap anak di Inggris di mana masyarakatnya lebih terbuka.
Persoalan
kejahatan (apalagi kejahatan seks) terhadap anak merupakan tindakan yang
harus ditangani secara serius, baik penanganan hukumnya maupun penanganan
trauma korbannya. Angka kekerasan seksual terhadap anak hampir terjadi setiap
20 menit. Kekerasan seksual terhadap anak perempuan lebih banyak dibandingkan
dengan anak laki-laki, yakni kejahatan pemerkosaan, incest, dan prostitusi
anak. Sebagian besar korbannya adalah anak-anak berusia 11-17 tahun. Di
Inggris memang tidak ada kejahatan seks atau kekerasan terhadap anak-anak
diakhiri dengan mutilasi sebagai bentuk “penghilangan” barang bukti korban
kejahatan.
Kejahatan
terhadap anak di Indonesia memang sangat ekstrem berbeda dengan berbagai
negara. Merebaknya kejahatan pembunuhan bisa beriringan juga dengan mutilasi,
karena tindakan memotong-motong mayat (mutilasi) ini dianggap sebagai cara
pamungkas untuk menghilangkan jejak kejahatan. Namun, para pelaku tidak
menyadari bahwa kejahatan pembunuhan di era modern sekarang ini jarang tidak
terungkap, karena teknologi kepolisian telah mengalami kemajuan pesat.
Realitas Kejahatan
Kejahatan
sudah menjadi realitas sosial yang tidak bisa dihilangkan dalam suatu
masyarakat yang dinamis. Namun, apakah kejahatan itu mengalami intensitas
kekerasan atau mengalami penurunan tingkat kekerasannya. Kondisinya
dipengaruhi oleh berbagai potensi yang bisa meningkatkan intensitas
kekerasannya. Faktor-faktor berpengaruh dalam peningkatan intensitas kekerasan,
yaitu: Pertama, adalah subbudaya kekerasan yang dianut oleh para pelaku yang
bisa menumbuhsuburkan tindakan kekerasan. Para pelaku yang memiliki riwayat
langsung sebagai korban kekerasan akan berpotensi untuk melakukan tindakan
kekerasan kepada orang lain.
Kedua,
media massa kita yang mengekspos kekerasan dan konflik secara tidak disadari
telah menghadirkan “rasa atau selera yang wajar” (pembiasaan) terhadap
kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan bagaikan tergerus dengan
kekerasan sebagai suatu fenomena yang “wajar” terjadi. Kekerasan ditampilkan
dengan modus operandi dan motif kejahatan dibahas sedemikian rupa supaya
khalayak (audience) menarik.
Penampilan media semacam ini meskipun dimaksudkan dalam rangka melakukan
kontrol sosial, namun pada sebagian kalangan juga bisa membawa efek peniruan
(walaupun “delayed effect“) yang
bisa menjadi katalog dalam memori panjang (long-term memory) pada penonton yang memiliki masalah yang hampir
sama.
Suatu
ketika bisa amat berbahaya muncul jika ada problem pribadi dan sosial yang
begitu menekan sehingga tinggal menunggu “trigger
factors“ saja. Mutilasi atau kekerasan terhadap anak menggambarkan
realitas sosial yang ada di masyarakat kita. Kita seakan-akan sudah dikepung
(harus waspada) akan bahaya kekerasan terhadap anak. Orang tua yang memiliki anak-anak
merasakan kekhawatiran terus menerus jika menonton dan membaca berita tentang
kekerasan terhadap anak seperti: penculikan, perdagangan anak, mempekerjakan
anak, sodomi, perdagangan bayi, penjualan organ tubuh, aborsi kriminal (abortus provocatus criminalis), dan
lain-lain.
Ketahanan Sosial
Bangunan
nilai masyarakat kita perlu dipertanyakan, apakah masih menganut nilai-nilai
Pancasila yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah nilai
masyarakat kita telah bergeser kepada budaya pragmatisme? Kualitas kekerasan
terhadap anak dari waktu ke waktu terus meningkat. Secara kuantitatif, banyak
bermunculan dari satu daerah ke daerah lain. Berbagai kejadian kekerasan di
dalam rumah tangga seperti: ada seorang ibu karena kesal kepada suami
melakukan penganiayaan kepada anaknya di Bandung dan Jember. Ada ibu yang
rela menjual anaknya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ada
seorang bapak memerkosa anak kandung, anak tiri, dan kemenakannya. Di luar
rumah, berbagai kekerasan terhadap anak acap terjadi seperti: di kawasan
permukiman liar, di kolong-kolong jembatan, pinggir rel kereta api, sekitar
terminal. Anak-anak sangat rentan menjadi korban kejahatan, karena mereka
adalah orang yang semestinya mendapatkan perlakuan khusus. Mereka masih
bergantung kepada orang dewasa (orang tua). Kasus-kasus kejahatan terhadap
anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak, adalah karena lepasnya
kontrol orang tua terhadap anak.
Ketika
orang tua sudah mempercayakan kepada orang lain di luar rumah, misalnya di
sekolah, berarti peran sebagai perlindungan adanya di lembaga sekolah. Dapat
diartikan juga, nilai pengakuan terhadap hak-hak anak antara rumah (keluarga)
dan sekolah tidak boleh bertentangan. Untuk kasus kekerasan seksual kepada
anak di sekolah yang dialami korban-korban murid Jakarta International School (JIS), merupakan tamparan berat bagi
para pendidik.
Apalagi
atas dasar nilai kemandirian, anak tidak mendapatkan pendampingan dijadikan
sebagai korban kekerasan seksual. Dengan demikian, konsep ketahanan sosial
menjadi kata kunci untuk dapat meredam berbagai tindakan kekerasan terhadap
anak. Apatah lagi ketahanan sosial lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga
yang mestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang dan perlindungan
terhadap anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar