Rabu, 03 September 2014

Menjadi Pemimpin Paripurna

Menjadi Pemimpin Paripurna

Agung Baskoro  Analis Politik Poltracking
SINAR HARAPAN, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kebesaran seorang pemimpin yang dicatat Nixon (1982) dalam bukunya yang berjudul Leaders terkait tiga hal, yaitu sosoknya mumpuni (a great man), berada dalam negara besar (a great country), dan di tengah isu-isu besar (a great issue).

Pascapertemuan di Bali, Rabu (27/8), ketiga syarat yang diungkapkan Nixon relevan dengan aksi kedua putra terbaik bangsa, baik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Joko Widoddo (Jokowi), dalam mengawal pemerintahan transisi.

Jika ditelusuri, aspek pertama, sosok mumpuni (a great man), dapat terlihat dari posisi SBY sebagai presiden, kepala negara, maupun tokoh sentral yang berjasa besar menguatkan pondasi demokrasi di negeri ini.

Secara konsisten, SBY mampu menjaga stabilitas nasional sehingga cukup kondusif mendukung perekonomian dan bidang kehidupan lainnya. Begitu pun dengan figur Jokowi, yang sukses mendobrak sistem politik nasional, dengan berbagai prestasi konsistennya sebagai kepala daerah, mulai Wali Kota Surakarta sampai Gubernur DKI Jakarta.

Kedua, Indonesia sebagai negara besar (a great country) dalam pusaran global merupakan negara prospektif dengan segenap potensi penduduk, alam, luas wilayah, dan lainnya di tengah kelesuan ekonomi Eropa serta Amerika dan bangkitnya Asia sebagai poros baru dunia.

Ketiga, suksesi kepemimpinan nasional yang prosesnya telah terjadi dalam pemilihan presiden (pilpres) kemarin menjadi isu besar (a great issue).

Ini mengingat posisi Indonesia yang merupakan negara demokrasi nomor ketiga terbesar di dunia, ditambah konteks tersebut diikuti hiruk-pikuk tak berkesudahan, mulai kampanye hitam masif (black campaign), kontroversi hitung cepat (quick count), potensi kerusuhan pada 22 Juli 2014 yang bertepatan dengan penetapan hasil rekapitulasi suara nasional (real count) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU0, hingga semrawut di Mahkamah Konstitusi (MK) menyoal peran penyelenggara pemilu. Namun hingga kini, seluruh proses demokrasi prosedural tersebut dapat dilalui dengan baik.

Ketiga syarat yang telah dimiliki kedua pemimpin besar bangsa ini akan diuji kembali setelah pertemuan pertama berlangsung dan saat Jokowi resmi dilantik pada 20 Oktober. Karena itu, sejumlah persoalan mulai penganggaran di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang kurang mencukupi membiayai program prioritas (Nawacita) hingga kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir pasti dilakukan Jokowi-Jusuf Kalla (JK0.

Belajar dari SBY

Selama sepuluh tahun SBY memimpin, ada begitu banyak capaian yang sudah diraih. Namun, yang paling fundamental adalah (1) tercapainya perundingan RI-GAM dan (2) konversi minyak tanah ke LPG (Kasali, 2013). Tentu ini menjadi pertanyaan menarik, mengapa akhirnya hanya terlihat sedikit kebijakan yang dilakukan pemerintahan SBY.

Pertama, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II menjadi wadah akomodasi dan kompromi politik bagi mitra koalisi yang mendukung pemerintahan SBY. Walaupun saat yang bersamaan, muncul UKP4 atau wakil menteri untuk menjaga profesionalitas para menteri yang juga merangkap jabatas strategis di partai.

Kedua, di bagian lain, konstelasi politik di parlemen tak banyak berpihak bagi pemerintahan SBY karena sering mitra koalisi, khususnya Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), melakukan manuver politik yang membuat pemerintah bekerja ekstra ketika harus berhadapan dengan kebijakan impor beras, BBM, Century, dan sebagainya. Sampai titik ini, koalisi tambun yang dibentuk Presiden SBY kurang efektif bekerja, baik di eksekutif maupun legislatif.

Ketiga, berbagai megaskandal yang tak tuntas dan berlarut-larut, seperti Century, pajak, Hambalang, dan sebagainya, berefek sistemik. Ini selama berbulan-bulan, politik negeri ini menjadi begitu riuh dan mereduksi legitimasi pemerintah di mata publik. Secara tidak langsung, hal tersebut memengaruhi kinerja pemerintah karena akhirnya fokus kerja untuk lobi, negosiasi, dan akhirnya menjadi politik dagang sapi.

Visualisasi riil prioritas atau visi-misi dan program aksi yang akan dijalankan dapat dilihat dari tim di dalam kabinet yang nantinya mendukung Jokowi-JK. Selain menimbang proporsionalitas (perimbangan koalisi partai), rekam-jejak profesionalitas calon menteri menjadi hal paling fundamental. Artinya, figur menteri yang nantinya hadir bukan hanya berasal dari koalisi partai pengusung Jokowi-JK atau profesional yang telah teruji.

Ada baiknya tidak menutup peluang bagi tim sukses atau kader partai pengusung Prabowo-Hatta untuk tampil bersama dalam kabinet yang akan dibentuk bila memang kemampuannya dapat diandalkan dalam mengakselerasi pencapaian tujuan pemerintah.

Hal ini akan menjadi pembeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, yang sekadar mengakomodasi kepentingan partai koalisi serta menguji komitmen Jokowi yang sejak awal memastikan tidak ada bagi-bagi kursi kekuasaan.

Artinya, koalisi yang sudah terbentuk dengan kehadiran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB0, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebesar 37 persen kursi DPR memang masih terbuka, walaupun sifatnya terbatas bagi partai-partai yang sebelumnya telah tergabung dalam koalisi permanen khususnya 1) PPP (39 kursi), 2) Partai Demokrat (61 kursi), 3) PAN (49 kursi), dan 4) Golkar (91 kursi).

Setidaknya, koalisi yang terbentuk mampu menjadi mayoritas, namun tetap ramping (minimal 51 persen kursi DPR) karena mempertimbangkan pula rekam jejak partai dalam berkoalisi, beroposisi, atau bermain dua kaki (baca: mitra kritis) selama ini maupun secara langsung mengawal kebijakan Jokowi-JK dalam meraih ‘restu’ parlemen.

Keempat, memastikan seluruh pembantu presiden, mulai wakil presiden hingga menteri, tidak lagi menjabat di struktur strategis kepartaian maupun di tempat lainnya. Ini dalam rangka menghindari konflik kepentingan, sekaligus memastikan seluruh anggota kabinet fokus menyukseskan program-program pemerintah secara konsisten. Artinya, menteri-menteri di kabinet nanti harus mundur sebagai pengurus institusi apa pun atau tidak lagi merangkap jabatan strategis di luar perannya sebagai menteri.

Keterlibatan publik dalam mengawal Jokowi-JK melalui ketiga agenda di atas secara konsisten menjadi kunci. Selain memastikan demokrasi negeri semakin dalam terkonsolidasi, diharapkan masyarakat dapat benar-benar merasakan manfaat utuh dari demokrasi. Selain mereka bebas bicara, perut mereka diharapkan juga terisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar