Menjadi
Pemimpin Paripurna
Agung Baskoro ; Analis Politik Poltracking
|
SINAR
HARAPAN, 02 September 2014
Kebesaran
seorang pemimpin yang dicatat Nixon (1982) dalam bukunya yang berjudul
Leaders terkait tiga hal, yaitu sosoknya mumpuni (a great man), berada dalam negara besar (a great country), dan di tengah isu-isu besar (a great issue).
Pascapertemuan
di Bali, Rabu (27/8), ketiga syarat yang diungkapkan Nixon relevan dengan aksi
kedua putra terbaik bangsa, baik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Joko
Widoddo (Jokowi), dalam mengawal pemerintahan transisi.
Jika
ditelusuri, aspek pertama, sosok mumpuni (a great man), dapat terlihat dari
posisi SBY sebagai presiden, kepala negara, maupun tokoh sentral yang berjasa
besar menguatkan pondasi demokrasi di negeri ini.
Secara
konsisten, SBY mampu menjaga stabilitas nasional sehingga cukup kondusif
mendukung perekonomian dan bidang kehidupan lainnya. Begitu pun dengan figur
Jokowi, yang sukses mendobrak sistem politik nasional, dengan berbagai
prestasi konsistennya sebagai kepala daerah, mulai Wali Kota Surakarta sampai
Gubernur DKI Jakarta.
Kedua,
Indonesia sebagai negara besar (a great
country) dalam pusaran global merupakan negara prospektif dengan segenap
potensi penduduk, alam, luas wilayah, dan lainnya di tengah kelesuan ekonomi
Eropa serta Amerika dan bangkitnya Asia sebagai poros baru dunia.
Ketiga,
suksesi kepemimpinan nasional yang prosesnya telah terjadi dalam pemilihan
presiden (pilpres) kemarin menjadi isu besar (a great issue).
Ini
mengingat posisi Indonesia yang merupakan negara demokrasi nomor ketiga
terbesar di dunia, ditambah konteks tersebut diikuti hiruk-pikuk tak
berkesudahan, mulai kampanye hitam masif (black
campaign), kontroversi hitung cepat (quick
count), potensi kerusuhan pada 22 Juli 2014 yang bertepatan dengan
penetapan hasil rekapitulasi suara nasional (real count) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU0, hingga semrawut di
Mahkamah Konstitusi (MK) menyoal peran penyelenggara pemilu. Namun hingga
kini, seluruh proses demokrasi prosedural tersebut dapat dilalui dengan baik.
Ketiga
syarat yang telah dimiliki kedua pemimpin besar bangsa ini akan diuji kembali
setelah pertemuan pertama berlangsung dan saat Jokowi resmi dilantik pada 20
Oktober. Karena itu, sejumlah persoalan mulai penganggaran di Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang kurang mencukupi membiayai
program prioritas (Nawacita) hingga
kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir pasti dilakukan Jokowi-Jusuf Kalla
(JK0.
Belajar dari SBY
Selama
sepuluh tahun SBY memimpin, ada begitu banyak capaian yang sudah diraih.
Namun, yang paling fundamental adalah (1) tercapainya perundingan RI-GAM dan
(2) konversi minyak tanah ke LPG (Kasali, 2013). Tentu ini menjadi pertanyaan
menarik, mengapa akhirnya hanya terlihat sedikit kebijakan yang dilakukan
pemerintahan SBY.
Pertama,
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II menjadi wadah akomodasi dan kompromi
politik bagi mitra koalisi yang mendukung pemerintahan SBY. Walaupun saat
yang bersamaan, muncul UKP4 atau wakil menteri untuk menjaga profesionalitas
para menteri yang juga merangkap jabatas strategis di partai.
Kedua,
di bagian lain, konstelasi politik di parlemen tak banyak berpihak bagi pemerintahan
SBY karena sering mitra koalisi, khususnya Partai Golongan Karya (Golkar) dan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), melakukan manuver politik yang membuat
pemerintah bekerja ekstra ketika harus berhadapan dengan kebijakan impor
beras, BBM, Century, dan sebagainya. Sampai titik ini, koalisi tambun yang
dibentuk Presiden SBY kurang efektif bekerja, baik di eksekutif maupun
legislatif.
Ketiga,
berbagai megaskandal yang tak tuntas dan berlarut-larut, seperti Century,
pajak, Hambalang, dan sebagainya, berefek sistemik. Ini selama
berbulan-bulan, politik negeri ini menjadi begitu riuh dan mereduksi
legitimasi pemerintah di mata publik. Secara tidak langsung, hal tersebut
memengaruhi kinerja pemerintah karena akhirnya fokus kerja untuk lobi,
negosiasi, dan akhirnya menjadi politik dagang sapi.
Visualisasi
riil prioritas atau visi-misi dan program aksi yang akan dijalankan dapat
dilihat dari tim di dalam kabinet yang nantinya mendukung Jokowi-JK. Selain
menimbang proporsionalitas (perimbangan koalisi partai), rekam-jejak
profesionalitas calon menteri menjadi hal paling fundamental. Artinya, figur
menteri yang nantinya hadir bukan hanya berasal dari koalisi partai pengusung
Jokowi-JK atau profesional yang telah teruji.
Ada
baiknya tidak menutup peluang bagi tim sukses atau kader partai pengusung
Prabowo-Hatta untuk tampil bersama dalam kabinet yang akan dibentuk bila
memang kemampuannya dapat diandalkan dalam mengakselerasi pencapaian tujuan
pemerintah.
Hal
ini akan menjadi pembeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, yang sekadar
mengakomodasi kepentingan partai koalisi serta menguji komitmen Jokowi yang
sejak awal memastikan tidak ada bagi-bagi kursi kekuasaan.
Artinya,
koalisi yang sudah terbentuk dengan kehadiran Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB0, Partai Nasional Demokrat
(Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebesar 37 persen kursi DPR
memang masih terbuka, walaupun sifatnya terbatas bagi partai-partai yang
sebelumnya telah tergabung dalam koalisi permanen khususnya 1) PPP (39
kursi), 2) Partai Demokrat (61 kursi), 3) PAN (49 kursi), dan 4) Golkar (91
kursi).
Setidaknya,
koalisi yang terbentuk mampu menjadi mayoritas, namun tetap ramping (minimal
51 persen kursi DPR) karena mempertimbangkan pula rekam jejak partai dalam
berkoalisi, beroposisi, atau bermain dua kaki (baca: mitra kritis) selama ini
maupun secara langsung mengawal kebijakan Jokowi-JK dalam meraih ‘restu’
parlemen.
Keempat,
memastikan seluruh pembantu presiden, mulai wakil presiden hingga menteri,
tidak lagi menjabat di struktur strategis kepartaian maupun di tempat
lainnya. Ini dalam rangka menghindari konflik kepentingan, sekaligus
memastikan seluruh anggota kabinet fokus menyukseskan program-program
pemerintah secara konsisten. Artinya, menteri-menteri di kabinet nanti harus
mundur sebagai pengurus institusi apa pun atau tidak lagi merangkap jabatan
strategis di luar perannya sebagai menteri.
Keterlibatan
publik dalam mengawal Jokowi-JK melalui ketiga agenda di atas secara
konsisten menjadi kunci. Selain memastikan demokrasi negeri semakin dalam
terkonsolidasi, diharapkan masyarakat dapat benar-benar merasakan manfaat
utuh dari demokrasi. Selain mereka bebas bicara, perut mereka diharapkan juga
terisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar