Meneladani
Nabi, Haji Cukup Sekali
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah
Jatim
|
JAWA
POS, 01 September 2014
MULAI
Ahad (31/8), calon jamaah haji (CJH) Indonesia gelombang pertama akan masuk
asrama haji untuk dikarantina. Keesokan harinya (1/9), mereka akan
diberangkatkan ke Tanah Suci. Tahun ini jumlah CJH Indonesia mencapai 168.800
orang, dengan perincian 155.200 haji reguler dan sisanya haji khusus.
Terhitung
sejak 2013 kuota CJH Indonesia memang mengalami penurunan dari tahun-tahun
sebelumnya yang mencapai 211.000 jamaah. Hal itu terjadi karena pemerintah
Arab Saudi membuat kebijakan untuk memangkas kuota CJH Indonesia hingga 20
persen. Kebijakan tersebut diambil karena ada proyek renovasi Masjidilharam,
yang menurut rencana berlangsung hingga 2016. Itu berarti, pemangkasan kuota
CJH masih terjadi hingga dua tahun mendatang.
Kebijakan
pemerintah Arab Saudi tersebut jelas berdampak pada semakin menumpuknya
jumlah antrean CJH. Apalagi, jika diamati, hasrat umat untuk menunaikan
ibadah haji dalam 10 tahun terakhir luar biasa. Bahkan, di sejumlah daerah
masa tunggu CJH lebih dari 15 tahun. Fenomena ini patut disyukuri karena
berarti ada peningkatan semangat umat untuk menunaikan ibadah haji. Antrean
CJH juga menjadi tanda bahwa tingkat perekonomian umat semakin baik. Sebab,
untuk mendapatkan nomor urut antrean, setiap CJH harus menyetorkan uang
minimal 25 juta rupiah di bank mitra Kementerian Agama (Kemenag).
Yang
harus dilakukan Kemenag seiring dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi adalah
memberikan kepastian kepada CJH. Penentuan siapa yang berangkat dan siapa
yang masuk daftar tunggu harus transparan. Hal itu penting untuk menghindari
budaya potong kompas sebagian CJH. Jika praktik potong kompas itu tidak
diantisipasi, pasti akan timbul keresahan antar-CJH. Apalagi jumlah antrean
CJH telah mencapai 1.726.786 orang (data Kemenag, Juli 2013).
Menyikapi
semakin mengularnya antrean CJH, umat perlu diajak meneladani Nabi Muhammad
SAW. Fakta sejarah menunjukkan bahwa beliau hanya berhaji sekali dalam seumur
hidup. Teladan Nabi ini harus terus digelorakan agar tumbuh kesadaran bagi
CJH, terutama mereka yang telah berangkat haji berkali-kali. Memang tidak
mudah memahamkan umat bahwa kewajiban ibadah haji itu cukup sekali. Sebab,
ibadah haji selalu memberikan pengalaman keagamaan yang mendalam.
Allah
pun memanggil jamaah haji dengan sebutan yang sangat menyentuh hati nurani,
yakni tamu Allah (wafdullah). Dengan panggilan itu, berarti Allah yang akan
menjadi tuan rumah. Karena itu, dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke
rumah Allah (baitullah, Kakbah). Sebagai tuan rumah, Allah yang akan
menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi jamaah haji.
Rasulullah
dalam sabdanya juga menekankan keutamaan ibadah haji. Misalnya, beliau
bersabda bahwa haji yang mabrur itu pahalanya tiada lain kecuali surga.
Disebutkan pula bahwa pahala orang berhaji sama dengan berjihad di jalan
Allah. Juga dikemukakan bahwa doa yang dipanjatkan jamaah haji pasti
dikabulkan Allah. Karena janji yang diberikan Allah dan Rasulullah begitu
rupa, motivasi umat untuk menjalankan ibadah haji terus bergelora.
Pengalaman
rohani yang diperoleh setiap jamaah haji juga selalu menghadirkan semangat
untuk kembali menjadi tamu Allah. Setiap orang yang pernah menjadi tamu Allah
pasti teringat saat melaksanakan prosesi ibadah haji. Senantiasa terbayang
tatkala mengelilingi Kakbah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit
Shafa dan Marwa (sai), berkumpul di Arafah (wukuf), melontar dengan batu-batu
kecil (jumrah), bermalam di Mina dan Muzdalifah (mabit), menggunting atau
mencukur rambut (tahalul), dan mencium batu hitam (Hajar Aswad).
Jamaah
laki-laki diharuskan berpakaian yang tidak berjahit, alas kaki tidak boleh
menutup mata kaki, dan tidak boleh berhias apabila pakaian ihram telah
dikenakan. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu, apabila dilakukan
saat berpakaian ihram, akan dikenai denda. Terlebih jika bercumbu, membunuh
binatang, dan mencabut tanaman.
Jika
diamati sepintas, prosesi ibadah haji laksana sebuah pertunjukan. Pandangan
ini dikemukakan tokoh revolusioner Iran Ali Shariati (1933–1977) dalam
karyanya yang berjudul Hajj (The Pilgrimage). Pernyataan Shariati jelas tidak
berlebihan jika kita memperhatikan protokoler ibadah haji. Jika diamati
secara saksama, jelas sekali bahwa pelaksanaan rukun Islam kelima itu memang
laksana sebuah pertunjukan. Tetapi bukan pertunjukan biasa, melainkan
pertunjukan akbar karena melibatkan jutaan orang.
Dalam
pertunjukan akbar itu, Allah SWT langsung bertindak sebagai sutradara.
Tokoh-tokoh yang harus diperankan adalah Adam, Ibrahim, Hajar, dan Setan.
Lokasi utamanya berada di sekitar Masjidharam, Masjid Nabawi, Tanah Haram,
Kakbah, Safa, Marwa, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan tempat-tempat bersejarah
yang selalu diziarahi jamaah haji.
Simbol-simbol
yang harus diperhatikan adalah siang, malam, matahari terbit, matahari
tergelincir, matahari terbenam, berkorban, mencukur rambut, dan berhala. Baju
kebesaran yang digunakan adalah pakaian ihram. Dan, pemain utamanya adalah
setiap jamaah haji itu sendiri.
Karena
ibadah haji itu laksana sebuah pertunjukan, setiap pemain dituntut memainkan
peran dengan penuh penghayatan. Untuk itulah, setiap jamaah haji harus
membawa bekal yang terbaik saat berangkat ke Tanah Suci. Dalam sudut pandang
Alquran, dikatakan bahwa sebaik-baik bekal yang harus dibawa jamaah haji
adalah takwa (QS Al Baqarah: 197). Modal ketakwaan itulah yang akan menjamin
setiap jamaah dapat meneladani karakter tokoh yang diperankannya. Di samping
itu, modal ketakwaan juga sangat penting untuk menata niat agar ibadah
hajinya diterima Allah.
Rangkaian
ibadah haji itu jelas memberikan pengalaman rohani yang tak terlupakan bagi
orang yang sudah berhaji. Akibatnya, kerinduan untuk melakukan perjalanan
spiritual ke Tanah Suci pun terus menggelora. Tetapi harus diingat, kini ada
jutaan orang yang antre menjadi tamu Allah. Karena itu, bagi yang sudah
berhaji harus menahan ego spiritualnya guna memberikan kesempatan kepada
saudaranya. Bukankah Nabi telah memberikan teladan bahwa berhaji itu cukup
sekali? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar