Menanti
Kado Istimewa SBY
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
24 September 2014
Arahan Ketua
Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar fraksinya di DPR mendukung
opsi pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sangat melegakan. Tentu,
sikap ini menjadi kabar gembira di tengah arus besar penolakan mayoritas
rakyat terhadap sikap sebagian parpol yang hendak mendorong pemilihan kepala
daerah kepada anggota DPRD. Sebagai parpol pemilik kursi terbanyak di DPR
(148 kursi), ”perintah” Ketua Umum Partai Demokrat (PD) ini jelas potensial
memengaruhi dan mengubah konstelasi politik di Senayan menuju 25 September.
Artinya,
sekiranya arahan itu diikuti secara utuh semua anggota Fraksi PD, opsi
pemilihan langsung akan unggul tipis atas opsi pemilihan menggunakan jalur
lembaga perwakilan. Di tengah situasi peralihan dan injury time menuju
berakhirnya masa bakti DPR periode 2009-2014, sikap SBY masih belum bisa
membuat tenang barisan pendukung opsi bertahan di jalur pemilihan langsung.
Kemungkinan pengurangan dan pembelokan dukungan tetap jadi ancaman serius.
Rasa khawatir itulah yang mendorong banyak kalangan mendesak SBY bisa
mengambil sikap tak hanya dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PD.
Kacaukan sistem
Selain alasan
konstitusional yang menyulitkan menggunakan jalur pemilihan melalui lembaga
perwakilan, sikap mayoritas parpol dalam Koalisi Merah Putih juga
menggambarkan inkonsistensi sikap dalam sebuah bangunan sistem. Sekalipun RUU
Pilkada dibuat terpisah, secara hukum tak berarti pengaturannya dapat begitu
saja mengabaikan UU lain. Terkait persoalan sistem, sekiranya pilkada memakai
model pemilihan oleh anggota DPRD, perubahan ini akan menjungkirbalikkan
desain sistem dalam UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebagaimana
diketahui, UU No 15/2011 mengatur salah satu tugas dan wewenang KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pilkada. Artinya, dengan
mengubah model pemilihan, penyelenggara pemilu di daerah akan kehilangan
tugas dan wewenang secara signifikan.
Sangat
mungkin, untuk tetap memberikan peran bagi penyelenggara pemilu di daerah,
RUU Pilkada akan memaksakan adanya pengaturan yang memberikan ruang dalam
pemenuhan UU No 15/2011. Namun, melihat aturan yang ada, hampir mustahil
mempertahankan peran penting penyelenggara pemilu di daerah. Kalaupun ada
yang tetap bisa dipaksakan, kemungkinan penyisipan peran itu tetap saja tak
bisa memenuhi asas ”langsung” dan ”umum” sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E
Ayat (1) UUD 1945.
Selain
kekacauan peran penyelenggara pemilu, pemilihan oleh anggota DPRD juga akan
mengubah (baca: menambah) tugas anggota DPRD sebagaimana tertuang dalam UU No
17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebagaimana diketahui, meski
pembahasan UU No 17/2014 sempat berimpitan dengan RUU Pilkada, tak tercantum
secara eksplisit wewenang anggota DPRD untuk memilih kepala dan wakil kepala
daerah. Artinya, kalau memang membuat UU berada dalam desain yang membangun
sistem, mestinya UU No 17/2014 telah mengatur lebih dulu, salah satu wewenang
DPRD adalah memilih kepala dan wakil kepala daerah.
Kalaupun UU No
17/2014 memberi keterkaitan wewenang DPRD ihwal kepala daerah/wakil kepala
daerah, itu pun hanya dalam soal sangat terbatas. Misalnya, itu hanya dapat
ditemukan dalam mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala dan wakil
kepala daerah kepada presiden atau mendagri untuk mendapat pengesahan
pengangkatan atau pemberhentian. Selain itu, yang secara eksplisit hanyalah
kemungkinan memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
wakil kepala daerah.
Melacak
kekacauan sistem yang potensial dihadirkan model pemilihan kepala daerah oleh
anggota DPRD, sangat tepat langkah yang dipilih Ketua Umum PD. Namun, sikap
itu belum cukup dan berpotensi menyimpan jebakan yang dapat memaksa secara
darurat masuk dalam skenario yang dirancang Koalisi Merah Putih. Jika itu
terjadi, bukan tak mungkin jebakan itu telah didesain begitu rupa untuk
merampas daulat rakyat karena hasil dari sebuah proses politik injury time.
Dengan menggunakan kalkulasi sangat sederhana, peluang masuk ke skenario yang
dirancang Koalisi Merah Putih mungkin terjadi karena tipisnya perbedaan
jumlah kursi kedua kubu. Jika PD memang mendukung pemilihan langsung, jumlah
suara pendukung opsi ini menjadi 287 (PD 148 kursi, PDI-P 94, PKB 28, dan
Hanura 17). Sementara kelompok pendukung opsi pemilihan oleh DPRD menjadi 273
(Golkar 106, PKS 57, PAN 46, PPP 38, dan Gerindra 26). Berarti, pendukung
opsi pemilihan langsung hanya unggul 14 kursi/suara.
Dengan margin
yang begitu tipis, tak ada jaminan opsi pemilihan langsung akan jadi pilihan
terakhir di DPR. Dalam sebuah proses politik yang masih sangat cair, masih
sangat mungkin bergerak ke arah yang berbeda dari pilihan yang digariskan
pimpinan parpol. Tak hanya itu, karena hasil pemilu telah diketahui dan
mayoritas mereka tak lagi terpilih, bukan tak mungkin arahan pimpinan parpol
jadi tak penting lagi bagi sebagian anggota fraksi DPR. Bahkan, bisa saja
sebagian mereka memilih tak datang ke sidang paripurna.
Sikap sebagai presiden
Karena
berbagai kemungkinan dapat mengubah komposisi suara di DPR, yang dibutuhkan
dari SBY lebih dari sekadar sikap sebagai Ketua Umum PD, tetapi juga pilihan
sikap sebagai presiden. Sebagai presiden, SBY memiliki otoritas sama kuat
dengan 560 anggota DPR saat membahas dan menyetujui suatu RUU menjadi UU.
Jika memang memiliki keinginan kuat untuk terus dengan model pilkada
langsung, SBY harus memberikan arahan serupa kepada mendagri untuk hanya
bergerak dalam opsi pemilihan langsung. Artinya, selain opsi itu, pemerintah
menarik diri dari pembahasan bersama.
Secara
konstitusional, seperti diatur Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, pilihan begitu
dimungkinkan karena setiap RUU dibahas presiden dan DPR untuk mendapat
persetujuan bersama. Ditegaskan, Pasal 20 Ayat (3) 1945, dalam hal tidak
mendapatkan persetujuan bersama, RUU tak dapat diajukan lagi dalam persidangan
DPR masa ini. Kedua pengaturan ini menyatakan, proses yang dilakukan parpol
di DPR tak begitu saja dapat menisbikan wewenang konstitusional presiden
dalam pembahasan dan persetujuan bersama sebuah RUU. Artinya, yang dilakukan
fraksi-fraksi dalam penyelesaian RUU Pilkada, mekanisme itu baru
menyelesaikan 50 persen proses politik yang semestinya diambil dalam fase
pembahasan dan persetujuan bersama. Sisanya, 50 persen lagi, tergantung dan
ditentukan presiden. Karena posisi yang demikian, SBY tidak mesti berhenti
sampai pada sikap sebagai Ketua Umum PD, tetapi melanjutkannya dalam posisi
sebagai presiden.
Sekiranya tak
mau bertegas-tegas, proses pembahasan dan persetujuan RUU Pilkada
diselesaikan dengan voting dan ternyata opsi dipilih langsung kalah, SBY akan
dicatat sebagai presiden yang meninggalkan kursi RI-1 di tengah tumpukan
keranda matinya daulat rakyat. Demi mempertahankan daulat rakyat, arahan
kepada PD harus pula jadi arahan kepada mendagri. Jangan bersikap mendua
alias ambivalen. Banyak kalangan percaya, jika itu dilakukan, SBY
meninggalkan kado istimewa di akhir masa bakti. Pak SBY, rakyat menanti kado istimewa dari Anda! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar