Memberantas
Mafia
Muhammad Syarkawi Rauf ;
Komisioner
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI
|
KOMPAS,
10 September 2014
Presiden
dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla kembali menegaskan
komitmen untuk fokus pada agenda pemberantasan mafia sebagai extra ordinary
crime dalam bentuk kejahatan kartel di sektor-sektor strategis, seperti
pangan, energi, logistik, pendidikan, dan kesehatan (Kompas, 1/9/2014).
Praktik
mafia merupakan kejahatan luar biasa yang menggerogoti perekonomian nasional.
Ia menyebabkan mekanisme pasar persaingan sehat tak bekerja dengan baik,
menghambat transmisi kebijakan fiskal menstimulasi perekonomian, kebijakan
moneter dalam mengendalikan inflasi, kebijakan industri dalam mengakselerasi
industrialisasi, melanggengkan kebijakan tata niaga impor komoditas pangan,
dan menghambat swasembada pangan karena mafia menikmati rente dari impor
pangan dan ekspor komoditas non-olahan.
Para
mafia yang beroperasi di semua sektor strategis menyebabkan inefisiensi
ekonomi nasional. Hal ini berimplikasi pada lambannya proses transformasi
struktural dari factor driven economy
yang mengandalkan sektor primer ke efficiency
driven economy berbasis produk manufaktur. Akibatnya, selama 29 tahun
perekonomian Indonesia berada dalam kelompok lower middle income trap, tak bisa naik kelas jadi upper middle income group. Jadi,
mustahil bagi Indonesia mencapai status negara maju dengan pendapatan di atas
12.000 dollar AS per kapita per tahun pada 2030.
Praktik mafia
Secara
umum, praktik mafia dapat dipetakan ke dalam beberapa bentuk. Pertama,
persekongkolan antarpelaku usaha dalam menetapkan harga (price
fixing), membatasi produksi
atau peredaran barang (output restriction)
dan membagi pasar (market allocation).
Kedua, persekongkolan horizontal antarpelaku usaha yang difasilitasi oleh
panitia tender (persekongkolan vertikal).
Faktanya,
hampir semua praktik mafia di Indonesia yang ditemukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) selalu di awali persekongkolan antarpelaku usaha yang dimediasi
pemerintah, baik langsung maupun tak langsung. Ratusan laporan praktik mafia
tender per tahun yang masuk ke KPPU selalu melibatkan pemerintah sebagai
pemilik proyek dengan dugaan penggelembungan anggaran 10-20 persen.
Sementara
dalam kasus nontender, praktik mafia lebih banyak terjadi karena faktor
kesalahan kebijakan pemerintah (yang diduga disengaja) dalam memilih
instrumen kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan pembatasan impor dengan
instrumen kuota mengarahkan terjadi praktik kartel yang melibatkan 19
importir bawang putih yang memiliki keterkaitan kepemilikan, hubungan
kekeluargaan sangat dekat, kesamaan gudang penyimpanan, dan lainnya.
Idealnya,
kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi produsen bawang putih lokal.
Padahal, hasil investigasi KPPU menunjukkan bahwa sejak awal 1990-an
mayoritas pedagang di Jakarta tidak lagi menjual bawang putih lokal. Selain
itu, bawang putih lokal dan impor juga tidak bersifat substitusi satu sama
lainnya karena peruntukannya yang berbeda.
Saat
ini lebih dari 95 persen kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi dari impor.
Alhasil, penggunaan instrumen pembatasan impor yang sejatinya untuk
melindungi produsen di dalam negeri menjadi salah kaprah. Kebijakan kuota
impor bawang putih mengurangi jumlah importir sehingga mempermudah
terbentuknya kartel bawang putih yang mengangkat harga hingga
Rp
120.000 per kilogram di Jawa Ti- mur pada Februari-Maret 2013.
Penerapan
kebijakan pembatasan impor dengan instrumen rekomendasi impor produk
hortikultura (RIPH) di Kementerian Pertanian dan surat persetujuan impor
(SPI) di Kementerian Perdagangan dimaksudkan untuk melindungi konsumen di
dalam negeri dari penyakit bawaan bawang putih. Padahal, jika tujuannya
melindungi konsumen, pilihannya bukan membuat kuota impor, melainkan lebih
efektif dengan memperketat Standar Nasional Indonesia (SNI). Instrumen ini
juga sering digunakan negara lain untuk menolak ekspor komoditas pertanian
Indonesia, seperti minyak sawit, ke Pakistan, India, Amerika Serikat, dan Uni
Eropa.
Melawan mafia
Melawan
praktik mafia di Indonesia sebagai extra ordinary crime yang sama jahatnya
dengan kejahatan korupsi tidak cukup dengan hanya penegakan hukum, tetapi
dimulai dari advokasi kebijakan. Langkah ini penting mengingat hampir semua
praktik kartel (mafia) yang dihukum dan sedang diinvestigasi KPPU selalu
dimulai dari kesalahan kebijakan pemerintah yang (diduga disengaja)
memfasilitasi para mafia.
Hal
ini didukung oleh temuan sementara investigasi KPPU atas dugaan praktik
kartel yang terbentuk karena kesalahan kebijakan kuota impor daging.
Kebijakan ini awalnya dimaksudkan mendukung program swasembada daging pada
2014. Pembatasan impor dimaksudkan untuk meningkatkan produksi daging lokal
dengan target impor daging menjadi hanya 9,7 persen dari total kebutuhan
daging nasional sekitar 561.630 ton pada 2014.
Penurunan
kuota impor daging sapi dan sapi bakalan pada 2013, yang tidak disertai
peningkatan produktivitas sapi lokal dan menyebabkan kelangkaan daging,
membuat harga daging mencapai lebih dari Rp 100.000 per kilogram. Padahal,
pada sisi permintaan konsumsi daging per kapita secara nasional terus
mengalami peningkatan, yaitu dari 1,9 kg menjadi 2,2 kg per kapita per tahun
pada 2014.
Penetapan
kebijakan swasembada daging tahun 2014 yang tak akurat dan disertai lemahnya
ketersediaan data sapi nasional yang siap dikonversi menjadi daging diduga
mendorong para mafia daging memanfaatkan situasi ini dengan menahan-nahan
pasokan dan menaikkan harga secara tidak wajar. Akibatnya, harga daging impor
yang awalnya lebih murah daripada daging sapi lokal naik secara eksesif yang
menguntungkan para pemburu rente.
Akhirnya,
sejalan dengan komitmen Jokowi memberantas praktik mafia di sektor-sektor
strategis, agenda yang segera bisa dilakukan dalam jangka yang sangat pendek
adalah memperkuat KPPU dengan memasukkan amendemen UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ke dalam
agenda transisi. Harapannya agar amendemennya selesai sebelum berakhirnya
keanggotaan DPR periode 2009-2014, atau paling lambat dalam masa sidang
pertama DPR yang baru periode 2014-2019, mengingat perdebatannya sudah
bergulir di DPR lebih kurang setahun terakhir.
Amendemen
ini penting untuk memperkuat KPPU dari sisi kewenangan menemukan alat bukti,
mengubah rezim notifikasi merger dari post ke pra-merger, meningkatkan denda
administrasi menjadi maksimal Rp 500 miliar, memasukkan effect doctrine
(prinsip extraterritoriality)
dengan memperluas definisi pelaku usaha sebagai subyek hukum KPPU untuk
mengantisipasi dampak negatif pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA
2015), dan memperkuat kelembagaan KPPU.
Selain
itu, memperkuat koordinasi antara KPPU dan pemerintah dalam hal advokasi
kebijakan mengingat mayoritas praktik mafia bermula dari kebijakan
pemerintah. Langkah ini sejalan dengan pandangan dua profesor ekonomi, Daron
Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas Harvard. Dalam buku
mereka berjudul Why Nations Fail; The
Origin of Power, Prosperity and Poverty disimpulkan, permasalahan ekonomi di Afrika, Asia, Eropa Timur, dan
Amerika Selatan bukan karena faktor geografi atau budaya, melainkan karena
pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat untuk memberdayakan
ekonominya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar