Rabu, 03 September 2014

Meluruskan Pandangan Radikal

Meluruskan Pandangan Radikal

A Adib  Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

"Islam tidak pernah menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi pemeluknya"

PRESIDEN terpilih Joko Widodo meminta ulama dan kiai Nahdlatul Ulama (NU)  kembali meluruskan pandangan kaum radikal melalui pendekatan agama. Dia menyampaikannya dalam sarasehan pramunas dan prakonbes NU di Ponpes Al Hikam Depok, Sabtu (30/8). Adapun munas dan konbes diagendakan awal November, antara lain akan membahas soal khilafah menyusul berdirinya Islamic State (IS) yang semula bernama Islamic State of Irak and Syria (ISIS).

Narasumber KH Masdar Farid Mas’udi (Rais Syuriah), dan  KH Malik Madani (Khatib Aam PBNU) dalam draf menyampaikan pandangan supaya warga nahdliyin dan umat Islam mengetahui permasalahan dan posisi mereka dalam NKRI. Islam sebagai agama komprehensif telah memberikan panduan kepada umatnya bahwa wajib hukumnya mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.

Tanpa negara dan pemerintahan kehidupan akan kacau. Keamanan dan ketertiban mustahil  tercipta. Keniscayaan adanya negara ini sejalan dengan kaidah hukum. Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengibaratkan agama dan kekuasaan negara sebagai saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara pengawalnya. Tanpa fondasi, sesuatu akan runtuh, sebaliknya sesuatu bila tak memiliki pengawal bia tersia-siakan.

Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syaríiyyah fi Ishlah al-Raíi  wa al-Raíiyyah menyatakan, tugas mengatur dan mengelola urusan banyak orang (dalam pemerintahan dan negara) termasuk kewajiban utama agama. Mustahil agama bisa tegak dan kokoh tanpa dukungan negara.

Masalahnya, Islam menghendaki bentuk negara dan pemerintahan seperti apa? Islam tidak pernah menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi pemeluknya. Nabi Muhammad saw pun menyerahkan kepada umatnya untuk mengatur dan merancang sendiri, sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat.

Sebagai agama yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, Islam memungkinkan umatnya hidup di bawah naungan negara, dari khilafah (kekhalifahan), mulk/mamlakah (kerajaan), imarah (keamiran) hingga jumhuriyyah/jamahariyyah (republik). Keberadaan masing-masing bentuk negara dan sistem pemerintahan itu disesuaikan dengan kebutuhan tiap zaman dan tempat. Apa yang cocok untuk suatu zaman dan tempat, belum tentu cocok untuk zaman dan tempat berbeda. Khilafah adalah fakta sejarah yang dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin, sepeninggal Rasulullah.

Al-Khilafah al-Rasyidah adalah model  ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara bangsa (nation states). Umat Islam dimungkinkan hidup di bawah kendali seorang khalifah. Namun ketika manusia, tak terkecuali umat Islam, pada abad terakhir sudah hidup di bawah naungan negara-negara bangsa maka sistem khilafah untuk umat Islam kehilangan relevansinya.

Seolah-olah Islami

PBNU menegaskan, ide khilafah dalam wujud pemerintahan khalifah untuk umat Islam di dunia pada masa sekarang adalah sebuah utopia. Umat Islam sedunia secara implisit telah mencapai kesepakatan untuk hidup di bawah naungan berbagai bentuk negara dan pemerintahan. 

Contoh Kerajaan Arab Saudi dengan al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Saíudiyyah), UEA (al-Imarat al-Arabiyyah al-Muttahidah), Kerajaan Malaysia, Republik Islam Iran, dan Republik Indonesia. Itu merupakan ijma sukuti dari umat Islam sedunia tentang dibolehkan hidup di bawah bendera berbagai bentuk negara bangsa.

NKRI adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan (muíahadah wathaniyyah) para  pendiri negara ini. Bentuk itu untuk mewadahi elemen bangsa yang majemuk berkait suku, bahasa, budaya, dan agama. Untuk itu, menjadi kewajiban semua elemen bangsa mencegah kemungkinan kemunculan bentuk negara lain. Umat Islam tak boleh terjebak oleh kilau simbol dan formalitas nama yang seolah-olah atau terlihat Islami. Ada adagium populer di kalangan ulama, ”Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah.”

Ali bin Abi Thalib pada 15 abad lalu telah menggugah kesadaran pentingnya berpikir dan bersikap substantif, tidak formalistik dan simbolik. Berkait keadilan sebagai salah satu nilai substantif ajaran Islam terkait dengan kehidupan bernegara, Ibnu Taimiyyah melalui al-Amr bi al-Ma`ruf wa al-Nahy ëan al-Munkar antara lain mengutip dua kalimat mutiara dari  Ali.

”Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang berkeadilan, kendati negara itu nonmuslim. Allah tidak akan menegakkan negara yang zalim, kendati itu negara muslim.î Adapun satunya,” Dunia akan lestari bersama keadilan dan kekafiran, tapi dunia tidak bisa lestari bersama kezaliman dan keislaman.” Abd al-Karim Zaidan meramu dalam kalimat sedikit berbeda dalam kitab  al-Fard wa al-Dawlah fi al-Syariíah al-Islamiyyah,” Negara yang berkeadilan akan lestari kendati itu negara kafir. Negara yang zalim akan hancur kendati itu negara Islam.”

Stabilitas kehidupan tercipta di negara-negara Barat dan negara maju lain, dan sebaliknya disintegrasi dan berbagai kekacauan di negeri-negeri muslim, khususnya sejak datangnya Musim Aemi Arab (Arab Spring) dimulai dari Tunisia hingga fenomena ISIS (yang kemudian  menjadi IS). Realitas itulah yang membuktikan kebenaran kalimat bijak Sayidina Ali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar