Sabtu, 06 September 2014

Jokowi, Prabowo, dan Islam

Jokowi, Prabowo, dan Islam

M Bambang Pranowo  ;   Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta,
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
REPUBLIKA, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Rasanya "plong" sudah setelah pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan tim suksesnya menyatakan menerima bulat keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan capres Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Padahal sebelumnya, pihak Prabowo dan timsesnya, terkesan tidak mau mengakui kemenangan tersebut.

Akhir Agustus lalu, misalnya, kubu Prabowo-Hatta masih mempersoalkan keabsahan kemenangan Jokowi-JK melalui Mahkamah Agung (MA). Dan MA menolak peninjauan hukum terkait pilpres itu karena bukan ranahnya. Masalah yang timbul dalam pilpres, penyelesainnya di MK. Dan MK telah memutuskan siapa pemenangnya.

Setelah ditolak MA, tampaknya kubu Prabowo-Hatta sudah mulai menerima kenyataan tersebut. Mereka mulai menyadari kenyataan kemenangan kubu Jokowi-JK yang telah ditetapkan MK. Bahkan Senin, awal September lalu, Hatta Rajasa bertemu Jokowi di rumah Surya Paloh, pemimpin Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di Jakarta.

Ini memang perkembangan yang baik untuk demokrasi di Indonesia. Kita bisa memaklumi "kekecewaan dan kesedihan" kubu Prabowo dalam Pilpres 2014. Mereka sudah berjuang habis-habisan --dana, tenaga, dan pikiran-- untuk memenangi "pertempuran" dalam pilpres. Tapi, apa daya, nasib baik belum berlabuh kepada mereka. Tapi itulah "permainan" dalam kehidupan politik. Dan semua pihak harus menyadari, dalam permainan itu pasti ada yang menang dan kalah. Tidak mungkin semuanya kalah dan tidak mungkin pula semuanya menang.

Menarik sekali, bagaimana Islam merespons kemenangan dalam pertempuran. Nabi Muhammad telah memberikan contoh sangat bagus bagaimana menyikapi kemenangan tentaranya ketika menaklukkan pasukan Quraisy yang terkenal dengan sebutan Fathu Makkah. Fathu Makkah adalah "terbukanya" Kota Makkah setelah sekian lama dikuasai tentara Quraisy yang memusuhi Rasulullah.

Penaklukan Kota Makkah merupakan peristiwa amat penting dalam sejarah Islam karena Nabi Muhammad dan pasukannya berhasil menduduki kembali kota terpenting di Jazirah Arab saat itu yang juga tempat kelahirannya. Lebih dari itu semua, Makkah adalah kota di mana Ka’bah atau Baitullah berdiri. Dan Ka’bah adalah "pusat" peribadatan paling sakral bagi umat Islam.

Ketika Rasulullah menaklukkan Makkah, dalam tarikh Nabi, disebutkan bahwa Rasul justru amat menghargai penduduk Makkah. Nabi memerintahkan agar tentara Islam jangan menyakiti orang tua, perempuan, dan anak-anak. Tentara musuh yang memasuki rumah Abu Sufyan --pemimpin kaum Quraisy yang kemudian masuk Islam di Makkah-- tidak akan diperangi.

Kemudian, Nabi melarang tentara Islam merusak tanaman dan membunuh binatang. Apa yang diperintahkan Rasul terhadap pasukannya itu jelas merupakan prinsip dasar dalam membangun perdamaian dan memelihara lingkungan hidup. Harap diingat bahwa perdamaian berkorelasi dengan kehidupan yang aman dan asri.

Secara fisik, ketika tentara Islam menaklukkan Makkah, yang dilakukan pertama-tama adalah mengajak perdamaian dan membangun lingkungan yang asri. Lalu, secara spiritual, seperti disebutkan dalam surat an-Nasr (QS 110 ayat 3), Allah meminta Rasul bertasbih dengan memuji Tuhan-Mu dan memohon ampun kepada-Nya.

Mengapa  demikian? Karena dalam peperangan, niscaya, akan ada orang yang tersakiti. Musuh yang kalah perang dan sanak familinya niscaya mempunyai rasa benci kepada pihak yang menang. Untuk itulah, Allah meminta agar Nabi Muhammad membaca istighfar atau minta maaf dan bertobat.

Lantas bagaimana yang kalah? Setelah kalah, mereka harus bersikap biasa-biasa saja. Tidak perlu disesali. Sebab, dalam permainan (peperangan atau pertarungan) niscaya ada yang kalah dan menang. Alquran mengajarkan, jika seseorang selesai dalam suatu urusan, maka kerjakan yang lain. Dan semuanya kembalikan kepada Allah (as-Syarkh 7-8).

Tidak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah terjadi! Kita sebagai bangsa Indonesia harus kembali bersatu padu untuk membangun. Mungkin capres yang menang perlu meniru Mandela, mantan presiden Afrika Selatan yang terkenal itu.

Sesaat setelah memenangi pilpres di Afsel, presiden terpilih Nelson Mandela membuat jamuan makan. Salah satu undangan yang diterima secara spesial oleh Mandela adalah Christo Brand, sipir penjara yang pernah menyiksanya secara kejam termasuk mengencinginya. Ini sikap memaafkan dari seorang negarawan yang membawa implikasi bagi bersatunya Afsel yang pernah dikoyak oleh politik apartheid.

Kita berharap, presiden terpilih Jokowi bisa memulai mendorong kerukunan nasional dengan melupakan dan memaafkan hal-hal yang menyakitkan saat kampanye pilpres lalu. Termasuk meminta timnya mencabut pengaduan atas pengasuh Obor Rakyat. Dengan begitu kita bisa memasuki fase baru kehidupan bangsa ke depan yang saling asih, asah, dan asuh (Yusuf, 2014).

Kasus-kasus lain yang muncul dan mengganggu integrasi bangsa juga perlu dibenahi. Kita bangsa Indonesia sedang menghadapi banyak masalah. Pengangguran, terorisme, korupsi, separatisme, perlu segera dibenahi dan diprioritaskan penyelesaiannya. Untuk itu kita sebagai bangsa harus bersatu. Membangun Indonesia agar jaya.

Dan sebagai bangsa yang ber-Pancasila, kita harus menghormati perbedaan suku, ras, dan agama. Islam di zaman Rasul, pernah membuat Piagam Madinah yang isinya, antara lain, penghormatan terhadap civil society, pluralisme, dan kebhinnekaan. Bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim selayaknya mengikuti teladan Nabi Muhammad yang pernah membuat Piagam Madinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar