Jokowi,
Prabowo, dan Islam
M Bambang Pranowo ; Guru
Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta,
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar,
Banten
|
REPUBLIKA,
05 September 2014
Rasanya "plong" sudah setelah
pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan tim suksesnya
menyatakan menerima bulat keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan
capres Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Padahal sebelumnya, pihak Prabowo
dan timsesnya, terkesan tidak mau mengakui kemenangan tersebut.
Akhir Agustus lalu, misalnya, kubu
Prabowo-Hatta masih mempersoalkan keabsahan kemenangan Jokowi-JK melalui
Mahkamah Agung (MA). Dan MA menolak peninjauan hukum terkait pilpres itu
karena bukan ranahnya. Masalah yang timbul dalam pilpres, penyelesainnya di MK. Dan MK telah
memutuskan siapa pemenangnya.
Setelah ditolak MA, tampaknya kubu
Prabowo-Hatta sudah mulai menerima kenyataan tersebut. Mereka mulai menyadari
kenyataan kemenangan kubu Jokowi-JK yang telah ditetapkan MK. Bahkan Senin,
awal September lalu, Hatta Rajasa bertemu Jokowi di rumah Surya Paloh,
pemimpin Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di Jakarta.
Ini memang perkembangan yang baik untuk
demokrasi di Indonesia. Kita bisa memaklumi "kekecewaan dan kesedihan" kubu Prabowo dalam Pilpres
2014. Mereka sudah berjuang habis-habisan --dana, tenaga, dan pikiran-- untuk
memenangi "pertempuran"
dalam pilpres. Tapi, apa daya, nasib baik belum berlabuh kepada mereka. Tapi
itulah "permainan" dalam
kehidupan politik. Dan semua pihak harus menyadari, dalam permainan itu pasti
ada yang menang dan kalah. Tidak mungkin semuanya kalah dan tidak mungkin
pula semuanya menang.
Menarik sekali, bagaimana Islam merespons
kemenangan dalam pertempuran. Nabi Muhammad telah memberikan contoh sangat
bagus bagaimana menyikapi kemenangan tentaranya ketika menaklukkan pasukan
Quraisy yang terkenal dengan sebutan Fathu Makkah. Fathu Makkah adalah "terbukanya" Kota Makkah
setelah sekian lama dikuasai tentara Quraisy yang memusuhi Rasulullah.
Penaklukan Kota Makkah merupakan peristiwa
amat penting dalam sejarah Islam karena Nabi Muhammad dan pasukannya berhasil
menduduki kembali kota terpenting di Jazirah Arab saat itu yang juga tempat
kelahirannya. Lebih dari itu semua, Makkah adalah kota di mana Ka’bah atau
Baitullah berdiri. Dan Ka’bah adalah "pusat"
peribadatan paling sakral bagi umat Islam.
Ketika Rasulullah menaklukkan Makkah, dalam
tarikh Nabi, disebutkan bahwa Rasul justru amat menghargai penduduk Makkah.
Nabi memerintahkan agar tentara Islam jangan menyakiti orang tua, perempuan,
dan anak-anak. Tentara musuh yang memasuki rumah Abu Sufyan --pemimpin kaum
Quraisy yang kemudian masuk Islam di Makkah-- tidak akan diperangi.
Kemudian, Nabi melarang tentara Islam merusak
tanaman dan membunuh binatang. Apa yang diperintahkan Rasul terhadap
pasukannya itu jelas merupakan prinsip dasar dalam membangun perdamaian dan
memelihara lingkungan hidup. Harap diingat bahwa perdamaian berkorelasi
dengan kehidupan yang aman dan asri.
Secara fisik, ketika tentara Islam menaklukkan
Makkah, yang dilakukan pertama-tama adalah mengajak perdamaian dan membangun
lingkungan yang asri. Lalu, secara spiritual, seperti disebutkan dalam surat
an-Nasr (QS 110 ayat 3), Allah meminta Rasul bertasbih dengan memuji Tuhan-Mu
dan memohon ampun kepada-Nya.
Mengapa
demikian? Karena dalam peperangan, niscaya, akan ada orang yang
tersakiti. Musuh yang kalah perang dan sanak familinya niscaya mempunyai rasa
benci kepada pihak yang menang. Untuk itulah, Allah meminta agar Nabi
Muhammad membaca istighfar atau minta maaf dan bertobat.
Lantas bagaimana yang kalah? Setelah kalah,
mereka harus bersikap biasa-biasa saja. Tidak perlu disesali. Sebab, dalam
permainan (peperangan atau pertarungan) niscaya ada yang kalah dan menang.
Alquran mengajarkan, jika seseorang selesai dalam suatu urusan, maka kerjakan
yang lain. Dan semuanya kembalikan kepada Allah (as-Syarkh 7-8).
Tidak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah
terjadi! Kita sebagai bangsa Indonesia harus kembali bersatu padu untuk
membangun. Mungkin capres yang menang perlu meniru Mandela, mantan presiden
Afrika Selatan yang terkenal itu.
Sesaat setelah memenangi pilpres di Afsel,
presiden terpilih Nelson Mandela membuat jamuan makan. Salah satu undangan
yang diterima secara spesial oleh Mandela adalah Christo Brand, sipir penjara
yang pernah menyiksanya secara kejam termasuk mengencinginya. Ini sikap
memaafkan dari seorang negarawan yang membawa implikasi bagi bersatunya Afsel
yang pernah dikoyak oleh politik apartheid.
Kita
berharap, presiden terpilih Jokowi bisa memulai mendorong kerukunan nasional
dengan melupakan dan memaafkan hal-hal yang menyakitkan saat kampanye pilpres
lalu. Termasuk meminta timnya mencabut pengaduan atas pengasuh Obor Rakyat. Dengan begitu kita bisa memasuki fase baru kehidupan
bangsa ke depan yang saling asih, asah, dan asuh (Yusuf, 2014).
Kasus-kasus lain yang muncul dan mengganggu
integrasi bangsa juga perlu dibenahi. Kita bangsa Indonesia sedang menghadapi
banyak masalah. Pengangguran, terorisme, korupsi, separatisme, perlu segera
dibenahi dan diprioritaskan penyelesaiannya. Untuk itu kita sebagai bangsa
harus bersatu. Membangun Indonesia agar jaya.
Dan sebagai bangsa yang ber-Pancasila, kita
harus menghormati perbedaan suku, ras, dan agama. Islam di zaman Rasul,
pernah membuat Piagam Madinah yang isinya, antara lain, penghormatan terhadap
civil society, pluralisme, dan
kebhinnekaan. Bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim selayaknya mengikuti
teladan Nabi Muhammad yang pernah membuat Piagam
Madinah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar