Gugatan
Setelah 40 Tahun
Putu Setia ;
Pendeta
Hindu, @mpujayaprema
|
TEMPO,
12 September 2014
Usia
undang-undang perkawinan sudah 40 tahun, belum pernah diganti. Padahal,
beberapa kali diprotes. Di masa Orde Baru pernah ada protes soal sulitnya
seorang lelaki untuk kawin lagi, harus meminta izin istri dan seterusnya.
Kini protes itu menghilang. Mungkin para suami sudah sadar punya satu istri
saja tak ada habisnya. Mohon jangan berpikir negatif, misalnya, sang suami
sudah berselingkuh. Kita bangsa yang menjunjung tinggi agama.
Karena
itu, sekarang masalah agama yang dijadikan dasar untuk menggugat
undang-undang ini. Sekelompok mahasiswa
dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini. Pasal itu berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal
ini menjegal perkawinan beda agama. Padahal, undang-undang tak melarang
perkawinan beda agama. Pasal 8, yang mengatur pelarangan perkawinan berisi 6
ayat, tak menyebut soal agama. Ayat-ayat itu merinci hubungan kekeluargaan
yang tak boleh menikah.
Di
mana terjegal? Tak lain adalah (hukum) agama itu sendiri. Semua agama
melarang perkawinan beda agama, dengan sedikit pengecualian. Jadi, kalau
agama telah melarangnya, berarti perkawinan itu tak sah. Perkawinan yang tak
sah tak bisa didaftarkan sesuai dengan undang-undang ini. Akibat runtutannya
panjang, karena perkawinan tak sah, lalu tak terdaftar, status anak pun tak
jelas, seperti tak bisa mendapat akta kelahiran dan seterusnya.
Para
pemohon uji materi meminta undang-undang ini mengesampingkan urusan agama.
Perkawinan adalah hak asasi yang tak bisa disekat oleh masalah agama dan
pemerintah wajib mendaftarkannya. Dalam bahasa liberal, Ulil Abshar Abdalla mengatakan dalam acara debat
sebuah televisi, maaf kalau tak persis: "Negara wajib mendaftarkan perkawinan yang dilakukan
warganya. Pisahkan itu dari ajaran agama, urusan halal-haram biarlah urusan
mereka."
Saya pengagum pikiran Mas Ulil dan
banyak sepakat. Tapi kali ini, dengan segala hormat, saya tak sepakat.
Perkawinan itu sakral, dalam agama mana pun. Kalau pengantin itu menyebut
telah menikah padahal tanpa kesakralan, karena ritual tak bisa dicampur untuk
agama yang berbeda, apakah itu tetap bernama perkawinan? Meskipun itu
didasari cinta setinggi rembulan dan saksi sejibun orang, bukankah secara
agama tetap berstatus perzinaan? Jadi, undang-undang ini sudah benar. Karena
perkawinan itu ada dalam hukum agama, selesaikan dulu urusan di sana, baru
didaftarkan.
Jika
negara menerima pendaftaran perkawinan tanpa ritual itu, sama artinya
mengajarkan hal-hal yang buruk kepada masyarakat, hal yang bertentangan
dengan agama. Ini bukan saja tak sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan
(membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa) juga tak sesuai dengan konstitusi.
Bagaimana
negara bisa menuntun warganya untuk hal-hal positif kalau melindungi
kesakralan agama saja abai? Misalnya: "Narkoba
barang haram, jangan coba-coba". Orang bisa berkomentar: biar saja dia makan, halal-haram itu
urusan dia kok. "Merokok
Membunuhmu". Walah, tahu sendiri risikonya, mau mati kek, mau sehat kek.
Lagi
pula, kalau pasal yang diuji coba itu dikabulkan hilang oleh MK, yang
diuntungkan tidak begitu banyak. Yang melakukan perkawinan beda agama umumnya
orang-orang kota atau orang desa yang setelah kawin beda agama tinggal di
kota. Ini bisa menjelaskan bahwa perkawinan beda agama sulit diterima di
komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara. Apalagi di Bali, yang adat dan
budaya Hindu begitu kuat. Rohaniwan Hindu hanya bisa menikahkan pasangan yang
satu agama. Kalau salah satu belum Hindu, harus dibuatkan ritual memeluk
Hindu.
Orang
Bali yang "diduga kawin" beda agama biasanya mengucilkan diri
secara sukarela karena tak akan diterima di komunitas adat. Ada contoh yang
kini sangat populer dan karena sudah diumbar media massa tak apa disebut.
Yakni Jero Wacik. Di kampung kelahirannya, beliau dianggap masih lajang
secara adat, karena itu dia masih jadi "pemangku" khusus untuk pura
keluarganya. Tapi istri dan anaknya tak pernah ke sana. Pura dan rumah
keluarga pun sangat sederhana. Keringat Jero tak mampir di sana, apalagi
hasil "memerasnya", kalau terbukti.
Lalu
kenapa ada gugatan kalau sudah banyak yang kawin beda agama? Sejatinya, UU Perkawinan memberi jalan lewat Pasal 56,
yakni: kawin di luar negeri. Ayat 1 menyebutkan perkawinan sah jika mengikuti
aturan di negeri tersebut. Dalam ayat 2, setelah suami-istri itu kembali,
surat bukti perkawinan bisa didaftarkan.
Ada juga "perkawinan
abal-abal", yakni dengan pura-pura pindah agama. Misal, pasangan
Hindu dan Islam. Menjelang upacara di Bali, yang Islam masuk Hindu di hadapan
pendeta (ritual Sudhiwadani), setelah itu di luar Bali kawin di depan
penghulu, yang Hindu masuk Islam. Saya
tak menganjurkan cara ini, risikonya besar. Lebih baik menabung untuk kawin
di Singapura atau Timor Leste. Keluar biaya tapi tenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar