Sabtu, 13 September 2014

Gugatan Setelah 40 Tahun

Gugatan Setelah 40 Tahun

Putu Setia  ;   Pendeta Hindu, @mpujayaprema
TEMPO, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Usia undang-undang perkawinan sudah 40 tahun, belum pernah diganti. Padahal, beberapa kali diprotes. Di masa Orde Baru pernah ada protes soal sulitnya seorang lelaki untuk kawin lagi, harus meminta izin istri dan seterusnya. Kini protes itu menghilang. Mungkin para suami sudah sadar punya satu istri saja tak ada habisnya. Mohon jangan berpikir negatif, misalnya, sang suami sudah berselingkuh. Kita bangsa yang menjunjung tinggi agama.

Karena itu, sekarang masalah agama yang dijadikan dasar untuk menggugat undang-undang ini. Sekelompok mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini. Pasal itu berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal ini menjegal perkawinan beda agama. Padahal, undang-undang tak melarang perkawinan beda agama. Pasal 8, yang mengatur pelarangan perkawinan berisi 6 ayat, tak menyebut soal agama. Ayat-ayat itu merinci hubungan kekeluargaan yang tak boleh menikah.

Di mana terjegal? Tak lain adalah (hukum) agama itu sendiri. Semua agama melarang perkawinan beda agama, dengan sedikit pengecualian. Jadi, kalau agama telah melarangnya, berarti perkawinan itu tak sah. Perkawinan yang tak sah tak bisa didaftarkan sesuai dengan undang-undang ini. Akibat runtutannya panjang, karena perkawinan tak sah, lalu tak terdaftar, status anak pun tak jelas, seperti tak bisa mendapat akta kelahiran dan seterusnya.

Para pemohon uji materi meminta undang-undang ini mengesampingkan urusan agama. Perkawinan adalah hak asasi yang tak bisa disekat oleh masalah agama dan pemerintah wajib mendaftarkannya. Dalam bahasa liberal, Ulil Abshar Abdalla mengatakan dalam acara debat sebuah televisi, maaf kalau tak persis: "Negara wajib mendaftarkan perkawinan yang dilakukan warganya. Pisahkan itu dari ajaran agama, urusan halal-haram biarlah urusan mereka."

Saya pengagum pikiran Mas Ulil dan banyak sepakat. Tapi kali ini, dengan segala hormat, saya tak sepakat. Perkawinan itu sakral, dalam agama mana pun. Kalau pengantin itu menyebut telah menikah padahal tanpa kesakralan, karena ritual tak bisa dicampur untuk agama yang berbeda, apakah itu tetap bernama perkawinan? Meskipun itu didasari cinta setinggi rembulan dan saksi sejibun orang, bukankah secara agama tetap berstatus perzinaan? Jadi, undang-undang ini sudah benar. Karena perkawinan itu ada dalam hukum agama, selesaikan dulu urusan di sana, baru didaftarkan.

Jika negara menerima pendaftaran perkawinan tanpa ritual itu, sama artinya mengajarkan hal-hal yang buruk kepada masyarakat, hal yang bertentangan dengan agama. Ini bukan saja tak sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan (membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa) juga tak sesuai dengan konstitusi.

Bagaimana negara bisa menuntun warganya untuk hal-hal positif kalau melindungi kesakralan agama saja abai? Misalnya: "Narkoba barang haram, jangan coba-coba". Orang bisa berkomentar: biar saja dia makan, halal-haram itu urusan dia kok. "Merokok Membunuhmu". Walah, tahu sendiri risikonya, mau mati kek, mau sehat kek.

Lagi pula, kalau pasal yang diuji coba itu dikabulkan hilang oleh MK, yang diuntungkan tidak begitu banyak. Yang melakukan perkawinan beda agama umumnya orang-orang kota atau orang desa yang setelah kawin beda agama tinggal di kota. Ini bisa menjelaskan bahwa perkawinan beda agama sulit diterima di komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara. Apalagi di Bali, yang adat dan budaya Hindu begitu kuat. Rohaniwan Hindu hanya bisa menikahkan pasangan yang satu agama. Kalau salah satu belum Hindu, harus dibuatkan ritual memeluk Hindu.

Orang Bali yang "diduga kawin" beda agama biasanya mengucilkan diri secara sukarela karena tak akan diterima di komunitas adat. Ada contoh yang kini sangat populer dan karena sudah diumbar media massa tak apa disebut. Yakni Jero Wacik. Di kampung kelahirannya, beliau dianggap masih lajang secara adat, karena itu dia masih jadi "pemangku" khusus untuk pura keluarganya. Tapi istri dan anaknya tak pernah ke sana. Pura dan rumah keluarga pun sangat sederhana. Keringat Jero tak mampir di sana, apalagi hasil "memerasnya", kalau terbukti.

Lalu kenapa ada gugatan kalau sudah banyak yang kawin beda agama? Sejatinya, UU Perkawinan memberi jalan lewat Pasal 56, yakni: kawin di luar negeri. Ayat 1 menyebutkan perkawinan sah jika mengikuti aturan di negeri tersebut. Dalam ayat 2, setelah suami-istri itu kembali, surat bukti perkawinan bisa didaftarkan.

Ada juga "perkawinan abal-abal", yakni dengan pura-pura pindah agama. Misal, pasangan Hindu dan Islam. Menjelang upacara di Bali, yang Islam masuk Hindu di hadapan pendeta (ritual Sudhiwadani), setelah itu di luar Bali kawin di depan penghulu, yang Hindu masuk Islam. Saya tak menganjurkan cara ini, risikonya besar. Lebih baik menabung untuk kawin di Singapura atau Timor Leste. Keluar biaya tapi tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar