Federasi
Advokat Indonesia
Amzulian Rivai ;
Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
|
KORAN
SINDO, 18 September 2014
Di
tengah-tengah masyarakat Indonesia yang semakin terbuka, mengglobal, dan
sangat dinamis sekarang ini kehadiran advokat semakin diperlukan. Kesadaran
pihak-pihak yang bersengketa untuk menggunakan jasa advokat juga meningkat.
Kondisi itu sejalan dengan peningkatan animo lulusan SMA untuk melanjutkan
pendidikan di fakultas hukum.
Selain
itu, kualitas dan profesionalitas para advokat juga cukup variatif. Untuk
waktu yang lama ada kesan bahwa syarat menjadi advokat ”tidak terlalu sulit”.
Ada banyak organisasi advokat yang dapat menjadi wadah guna mengantarkan
seseorang menjadi advokat. Selama ini masing-masing organisasi advokat
memiliki caranya sendiri untuk merekrut advokat. Akibat itu, masyarakat
mendapatkan kemampuan advokat yang cukup timpang antardaerah. Isu lain yang
hingga saat ini belum juga tuntas adalah soal bagaimana format ideal
organisasi advokat Indonesia? Apakah cukup satu saja (single bar association) ataukah banyak organisasi advokat (multi bar association)? Dalam rencana
merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat justru isu ini
yang lebih mengemuka.
Tunggal atau Banyak
Wadah
Mungkin
tidak banyak kalangan nonhukum yang mengetahui bahwa Indonesia memiliki
delapan organisasi advokat. Delapan organisasi itu Ikatan Advokat Indonesia
(Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara
Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal (HKPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia
(APSI). Perseteruan antarorganisasi advokat masih cukup dirasakan masyarakat.
Ini
terjadi karena masing-masing mengklaim sebagai organisasi yang benar dan
paling berhak eksis. Dalam perseteruan ini, yang paling dirugikan adalah para
pencari keadilan yang mengandalkan soliditas dan profesionalitas para
advokat. Aura perseteruan antarorganisasi advokat masih terasa. Salah satu
perbedaan pendapat adalah mengenai Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No. 089/
KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010. SKMA itu memerintahkan Ketua PT
Se-Indonesia untuk mengambil sumpah calon advokat yang diusulkan Peradi
seba-gai satusatunya wadah tunggal organisasi advokat yang disepakati antara
Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Peradi.
Namun,
belakangan KAI menolak kesepakatan yang ditandatangani pada 24 Juni 2010 itu.
Salah satu alasannya, atas dasar SKMA tersebut mengakibatkan sejumlah calon
advokat di luar Peradi tidak dapat disumpah di PT dan mengalami kesulitan
beracara. Itu pula sebabnya topik yang tetap mengemuka terkait revisi Undang-Undang
Advokat adalah apakah organisasi advokat di Indonesia sebaiknya satu saja
ataukah boleh berjumlah banyak? Faktanya, saat ini di Indonesia ada delapan
organisasi wadah para advokat. Ada pihak yang meyakini kualitas advokat
Indonesia hanya akan tercipta apabila para advokat bernaung dalam satu
organisasi.
Melalui
”wadah tunggal ini” lebih terkontrol mekanisme ujian dan kontrol terhadap
para advokat. Sebaliknya akan sulit apabila ada banyak organisasi advokat
yang menerapkan standar berbeda. Ada dua masalah ketika ada upaya menjadikan
wadah tunggal para advokat dalam kondisi telah ada delapan wadah advokat.
Apakah kedelapan organisasi itu meleburkan diri menjadi satu wadah tunggal
ataukah dibentuk semacam federasi advokat yang menaungi seluruh organisasi
advokat? Namun, bukan juga tidak ada pemikiran untuk menjadikan Indonesia
memiliki organisasi advokat yang banyak.
Para
advokat diberi kebebasan untuk membentuk organisasi advokat sebagaimana
prinsip kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945. Ada yang berpendapat
bahwa Pasal 28 ayat 1 UU No 18/2003 tentang Advokat yang hanya mengakui
organisasi tunggal advokat akan mengancam tujuan dari pembentukan UU itu.
Frasa yang menyatakan satu-satunya dalam Pasal 28 ayat 1 UU Advokat dapat
membunuh organisasi advokat yang tidak diberikan pengakuan dalam praktik dan
itu telah melanggar HAM.
Advokat Harus Lebih
Baik
Seharusnya
misi merevisi UU Advokat untuk mendapatkan advokat yang lebih baik siap
bersaing dalam lingkungan global. Sebenarnya tidak soal organisasi advokat
itu tunggal atau berjumlah banyak. Justru yang relevan itu adalah bagaimana
meningkatkan kualitas advokat Indonesia agar mampu bersaing secara
internasional, termasuk dalam menghadapi AFTA 2015. Seandainya tidak dapat
ditunda, revisi Undang-Undang Advokat
harus juga menitikberatkan kepada persoalan selain soal jumlah wadah
berhimpun, juga soal bagaimana pendidikan calon advokat dan pendidikan
lanjutan bagi advokat.
Sulit
untuk mendapatkan advokat berkualitas jika ada banyak organisasi advokat yang
menciptakan keragaman pola rekrutmen, standar penilaian, dan sistem kelulusan.
Mungkin patut dipertimbangkan para advokat harus lulus terlebih dahulu
pendidikan magister advokat (S-2). Gelar magister advokat dijadikan
persyaratan formal untuk mengikuti ujian profesi advokat. Perlu disepakati
mekanisme pengawasan advokat dengan lembaga pengawas yang kredibel. Lembaga
tersebut harus memiliki kewibawaan dalam menindak para advokat yang melanggar
kode etik.
Federasi Advokat
Sebaiknya
wadah organisasi advokat Indonesia berbentuk federasi. Penjelasan
sederhananya eksistensi delapan organisasi yang ada (bahkan lebih) tetap
diakui, namun semua bergabung dalam satu ”wadah federal” sebagai organisasi
induk. Kita tidak dapat meniadakan realita bahwa wadah advokat Indonesia
selama ini memang tidak tunggal. Harus ada jaminan pengurus federasi advokat
ini adalah para advokat yang tergabung dalam delapan organisasi yang ada.
Tidak boleh ada dominasi advokat tertentu saja yang duduk dalam organisasi
federasi tersebut.
Jika
ditafsirkan ada dominasi dan diskriminasi, apa pun nama wadah tunggal
berusaha dibentuk tidak akan bertahan lama. Namun, harus ada kepatuhan dari
para advokat bahwa hanya organisasi federal itulah yang memiliki kewenangan
lintas organisasi. Kewenangan menentukan persyaratan menjadi advokat,
kurikulum pendidikan, dan standar kelu-lusan sungguh bebas dari praktik KKN.
Mungkin apa yang terjadi sekarang ini sama dengan konsep federasi di mana
Peradi sebagai induk semua organisasi advokat. Tinggal lagi semua advokat
menerima kehadiran Peradi yang mengayomi semua advokat tanpa ada tuduhan
bersikap diskriminatif.
Pemerintah
juga tidak boleh ditafsirkan terlalu campur tangan terhadap organisasi
profesi. Jangan sampai revisi UU Advokat diartikan sebagai campur tangan
pemerintah dan sebagai upaya mempreteli Peradi yang sudah eksis. Itu sebabnya
jangan memaksakan pengesahan revisi UU Advokat dalam kondisi silang pendapat
yang sangat tajam sekarang ini. Jangan-jangan UU No 18/2003 tersebut sama
sekali belum perlu direvisi. Walau begitu, ada juga argumentasi bahwa rencana
revisi UU Advokat itu karena selama ini advokat dinilai tidak menunjukkan
soliditas. Kita menghargai hak untuk berserikat sehingga ada beragam wadah.
Namun, tidak juga berarti boleh mengesampingkan upaya menghadirkan advokat
berkualitas melalui wadah tunggal dalam bentuk federasi advokat tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar