Dilema
Pelembagaan PKB
Firman Noor ; Research
Center for Politics Indonesian Institute of Sciences
|
REPUBLIKA,
03 September 2014
Setelah
melalui aklamasi, Abdul Muhaimin Iskandar akhirnya terpilih kembali sebagai
ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebuah hasil yang telah
diprediksi sebelumnya, bahkan semenjak jauh-jauh hari. Tidak adanya pesaing
yang benar-benar eksis, telihat dari kenyataan bahwa hanya ada satu saja kandidat
dalam Muktamar 2014 ini, sedikit banyak menunjukkan kedudukan khusus Muhaimin
di partai ini.
Dengan
fenomena ini, PKB mengukuhkan kembali sebagai partai yang tidak dapat
terlepas dari bayang-bayang patron. Partai ini, dalam sejarahnya, memang
tidak menyisakan tempat bagi munculnya "matahari kembar" dalam
setiap muktamar. Semua potensi faksi atau kandidat potensial telah dikebiri
atau digerogoti sebelum berlangsungnya muktamar.
Pada
satu dekade awal keberadaan PKB, muktamar secara substansi hanyalah sekadar
formalitas pelegalan seorang kandidat tunggal ketua umum yang keterpilihannya
telah dapat ditebak. Dapat dikatakan tidak ada sebuah kontestansi yang
substantif dan berlangsung jauh dari dramaturgi di antara peserta muktamirin.
Mengingat para peserta itu hanyalah mewakili sebuah faksi yang notabene
adalah all chairperson’s men. Tidak
mengherankan jika mereka yang tersingkir akan membuat muktamar tandingan.
Dalam
konteks itulah dapat dipahami jika partai ini praktis hanya dipimpin oleh dua
sosok saja, yakni Gus Dur (1998-2008) dan Muhaimin (2008-sekarang). Para
mantan ketua umum lain praktis berada dalam bayang-bayang para "pimpinan
legal", termasuk di dalamnya, Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab, Chairul
Anam, hingga Ali Masykur Musa.
Kharisma versus stabilitas
Dalam
perjalanannya, penyebab kokohnya eksistensi Gus Dur dan Muhaimin memang
relatif berbeda. Pada masa Gus Dur, kekokohan itu terutama disebabkan oleh
kharismanya yang demikian luar biasa. Yang menyebabkan dirinya memiliki
legitimasi kultural dan politik untuk melakukan nyaris apa saja yang
diinginkan.
Sayangnya,
dalam perjalanannya posisi tersebut kerap berbenturan dengan perilaku Gus Dur
yang kerap kali berada di atas konstitusi partainya sendiri. Pemecatan
sepihak, misalnya, kerap terjadi yang pada akhirnya menerbitkan perlawanan
dan meruntuhkan soliditas partai.
Pengelolaan
kharisma yang tidak tepat justru menjadi bumerang bagi eksistensi PKB. Meski
demikian, Gus Dur selalu keluar sebagai pemenang dalam setiap konflik
internal yang sedikit banyak langsung ataupun tidak dia ciptakan sendiri.
Namun
pasca-2008, langkah Gus Dur seolah terhenti. Muhaimin, yang sebelumnya
bahu-membahu dengannya untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, menjadi
faktor tidak terduga yang membuatnya terjungkal.
Setelah
Gus Dur tidak lagi eksis, PKB tidak melulu dikelola dengan kharisma. Muhaimin
lebih memfokuskan diri pada mengembangkan strategi agar partai tetap stabil
dan keluar dari turbulence yang
disebabkan terutama oleh konflik internal. Pun Muhaimin tidak menghendaki
meluasnya gejala politik keluarga dalam partainya. Beberapa langkah penting
lain diambil, termasuk upaya kembali mendekati tokoh atau kiai NU.
Dalam
perkembangannya, Muhaimin menjelma menjadi pemimpin di masa kritis yang mampu
membawa perahu PKB tetap berlayar. Tidak itu saja, di tengah goncangan itu,
Muhaimin dapat meningkatkan lagi suara PKB.
Dapat
diibaratakan Gus Dur tampak seperti Soekarno dengan segenap kharisma dan
pemikirannya yang menjulang, yang dari situlah sumber utama legitimasi baginya.
Adapun Muhaimin lebih mendekati Soeharto yang sumber legitimasinya adalah
kemampuan menyelamatkan PKB dari krisis yang mematikan. Meski berbeda,
keduanya menyebabkan partai, sekali lagi, bertumpu pada orang kuat.
Identitas dan
kesisteman
Kondisi
di atas membawa dilema. Di satu sisi, orang kuat, dengan kelompok intinya,
telah membawa nilai-nilai baru yang pada akhirnya menumbuhkan identitas baru
dari PKB. Dalam kacamata Steven Levitsky (1998), situasi seperti ini
merupakan hakikat lain dari pelembagaan partai, yakni hadirnya identitas yang
dianut oleh partai dan anggotanya.
Identitas
PKB pasca-Gus Dur adalah sebuah identitas, yang secara mudahnya, merupakan
gabungan sikap antitesis plus "penghormatan terbatas" terhadap
pemikiran dan perilaku Gus Dur. Di satu sisi, perilaku manajerial Gus Dur
yang cenderung one man show dan beyond party’s constitution coba untuk
dinegasikan. Namun di sisi lain, PKB tetap mengakui sebagian besar ajaran Gus
Dur, termasuk misalnya dalam soal pluralisme sebagai prinsip-prinsip dasar
partai.
Identitas
semacam inilah yang dibangun oleh Muhaimin dan kelompoknya secara
komprehensif dalam partai, yang belakangan menjadi penumbuh kesadaran
kolektif bagi para pengurus dan pendukung PKB saat ini. Identitas ini menjadi
perekat, yang dalam batas-batas tertentu, dapat diandalkan untuk menjaga
stabilitas partai dan bahkan dalam meraih dukungan dalam pemilu.
Dalam
perkembangannya, dengan berdiri di atas identitas itulah PKB menjadi
institusi yang menjadi nyaris identik dengan "kemuhaiminan". Mereka
yang mencoba menolaknya akan terpental dan terhempas. Muktamar kali ini
menjadi cerminan betapa kuatnya keidentikan itu.
Namun
demikian, di sisi lain, dalam konteks pelembagaan partai, di sinilah
sebenarnya letak batu ujiannya. Tanpa pengelolaan yang baik, situasi ini pada
gilirannya akan mengembalikan PKB pada ketergantungan pada orang kuat.
Untuk
itu, partai perlu melakukan sebuah terobosan dengan misalnya memberikan
pembatasan jangka waktu atau periodisasi kepemimpinan partai. Sehingga pengembangan
idealisme dan kepentingan lain organisasi lebih berorientasi pada memajukan
eksistensi partai sebagai lembaga dan bukan mempertahankan eksistensi figur
tertentu.
Pun
perlu ada pemodernan kaderisasi yang ditopang oleh penguatan idealisme
pelembagaan sehingga muncul penghormatan maksimum pada sistem. Ujungnya
diharapkan agar muncul kesadaran untuk bergantung pada sistem dan bukan lagi
pada titah individu atau patron.
Dengan
situasi unik PKB, langkah-langkah strategis semacam itu harus dimulai di level
elite atau pimpinan. Oleh karenanya, Muhaimin dan jajaran elite saat ini
harus bersungguh-sungguh membangun upaya menghindari PKB dari personalisasi
partai di masa-masa yang akan datang. Jika tidak, partai ini hanya akan
terlepas dari mulut harimau untuk masuk ke dalam mulut buaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar