Kamis, 04 September 2014

Dilema Pelembagaan PKB

Dilema Pelembagaan PKB

Firman Noor  ;   Research Center for Politics Indonesian Institute of Sciences
REPUBLIKA, 03 September 2014
                                      
                                                      

Setelah melalui aklamasi, Abdul Muhaimin Iskandar akhirnya terpilih kembali sebagai ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebuah hasil yang telah diprediksi sebelumnya, bahkan semenjak jauh-jauh hari. Tidak adanya pesaing yang benar-benar eksis, telihat dari kenyataan bahwa hanya ada satu saja kandidat dalam Muktamar 2014 ini, sedikit banyak menunjukkan kedudukan khusus Muhaimin di partai ini.

Dengan fenomena ini, PKB mengukuhkan kembali sebagai partai yang tidak dapat terlepas dari bayang-bayang patron. Partai ini, dalam sejarahnya, memang tidak menyisakan tempat bagi munculnya "matahari kembar" dalam setiap muktamar. Semua potensi faksi atau kandidat potensial telah dikebiri atau digerogoti sebelum berlangsungnya muktamar.

Pada satu dekade awal keberadaan PKB, muktamar secara substansi hanyalah sekadar formalitas pelegalan seorang kandidat tunggal ketua umum yang keterpilihannya telah dapat ditebak. Dapat dikatakan tidak ada sebuah kontestansi yang substantif dan berlangsung jauh dari dramaturgi di antara peserta muktamirin. Mengingat para peserta itu hanyalah mewakili sebuah faksi yang notabene adalah all chairperson’s men. Tidak mengherankan jika mereka yang tersingkir akan membuat muktamar tandingan.

Dalam konteks itulah dapat dipahami jika partai ini praktis hanya dipimpin oleh dua sosok saja, yakni Gus Dur (1998-2008) dan Muhaimin (2008-sekarang). Para mantan ketua umum lain praktis berada dalam bayang-bayang para "pimpinan legal", termasuk di dalamnya, Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab, Chairul Anam, hingga Ali Masykur Musa.

Kharisma versus stabilitas

Dalam perjalanannya, penyebab kokohnya eksistensi Gus Dur dan Muhaimin memang relatif berbeda. Pada masa Gus Dur, kekokohan itu terutama disebabkan oleh kharismanya yang demikian luar biasa. Yang menyebabkan dirinya memiliki legitimasi kultural dan politik untuk melakukan nyaris apa saja yang diinginkan.

Sayangnya, dalam perjalanannya posisi tersebut kerap berbenturan dengan perilaku Gus Dur yang kerap kali berada di atas konstitusi partainya sendiri. Pemecatan sepihak, misalnya, kerap terjadi yang pada akhirnya menerbitkan perlawanan dan meruntuhkan soliditas partai.

Pengelolaan kharisma yang tidak tepat justru menjadi bumerang bagi eksistensi PKB. Meski demikian, Gus Dur selalu keluar sebagai pemenang dalam setiap konflik internal yang sedikit banyak langsung ataupun tidak dia ciptakan sendiri.

Namun pasca-2008, langkah Gus Dur seolah terhenti. Muhaimin, yang sebelumnya bahu-membahu dengannya untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, menjadi faktor tidak terduga yang membuatnya terjungkal.

Setelah Gus Dur tidak lagi eksis, PKB tidak melulu dikelola dengan kharisma. Muhaimin lebih memfokuskan diri pada mengembangkan strategi agar partai tetap stabil dan keluar dari turbulence yang disebabkan terutama oleh konflik internal. Pun Muhaimin tidak menghendaki meluasnya gejala politik keluarga dalam partainya. Beberapa langkah penting lain diambil, termasuk upaya kembali mendekati tokoh atau kiai NU.

Dalam perkembangannya, Muhaimin menjelma menjadi pemimpin di masa kritis yang mampu membawa perahu PKB tetap berlayar. Tidak itu saja, di tengah goncangan itu, Muhaimin dapat meningkatkan lagi suara PKB.

Dapat diibaratakan Gus Dur tampak seperti Soekarno dengan segenap kharisma dan pemikirannya yang menjulang, yang dari situlah sumber utama legitimasi baginya. Adapun Muhaimin lebih mendekati Soeharto yang sumber legitimasinya adalah kemampuan menyelamatkan PKB dari krisis yang mematikan. Meski berbeda, keduanya menyebabkan partai, sekali lagi, bertumpu pada orang kuat.

Identitas dan kesisteman

Kondisi di atas membawa dilema. Di satu sisi, orang kuat, dengan kelompok intinya, telah membawa nilai-nilai baru yang pada akhirnya menumbuhkan identitas baru dari PKB. Dalam kacamata Steven Levitsky (1998), situasi seperti ini merupakan hakikat lain dari pelembagaan partai, yakni hadirnya identitas yang dianut oleh partai dan anggotanya.

Identitas PKB pasca-Gus Dur adalah sebuah identitas, yang secara mudahnya, merupakan gabungan sikap antitesis plus "penghormatan terbatas" terhadap pemikiran dan perilaku Gus Dur. Di satu sisi, perilaku manajerial Gus Dur yang cenderung one man show dan beyond party’s constitution coba untuk dinegasikan. Namun di sisi lain, PKB tetap mengakui sebagian besar ajaran Gus Dur, termasuk misalnya dalam soal pluralisme sebagai prinsip-prinsip dasar partai.

Identitas semacam inilah yang dibangun oleh Muhaimin dan kelompoknya secara komprehensif dalam partai, yang belakangan menjadi penumbuh kesadaran kolektif bagi para pengurus dan pendukung PKB saat ini. Identitas ini menjadi perekat, yang dalam batas-batas tertentu, dapat diandalkan untuk menjaga stabilitas partai dan bahkan dalam meraih dukungan dalam pemilu.

Dalam perkembangannya, dengan berdiri di atas identitas itulah PKB menjadi institusi yang menjadi nyaris identik dengan "kemuhaiminan". Mereka yang mencoba menolaknya akan terpental dan terhempas. Muktamar kali ini menjadi cerminan betapa kuatnya keidentikan itu.

Namun demikian, di sisi lain, dalam konteks pelembagaan partai, di sinilah sebenarnya letak batu ujiannya. Tanpa pengelolaan yang baik, situasi ini pada gilirannya akan mengembalikan PKB pada ketergantungan pada orang kuat.

Untuk itu, partai perlu melakukan sebuah terobosan dengan misalnya memberikan pembatasan jangka waktu atau periodisasi kepemimpinan partai. Sehingga pengembangan idealisme dan kepentingan lain organisasi lebih berorientasi pada memajukan eksistensi partai sebagai lembaga dan bukan mempertahankan eksistensi figur tertentu.

Pun perlu ada pemodernan kaderisasi yang ditopang oleh penguatan idealisme pelembagaan sehingga muncul penghormatan maksimum pada sistem. Ujungnya diharapkan agar muncul kesadaran untuk bergantung pada sistem dan bukan lagi pada titah individu atau patron.

Dengan situasi unik PKB, langkah-langkah strategis semacam itu harus dimulai di level elite atau pimpinan. Oleh karenanya, Muhaimin dan jajaran elite saat ini harus bersungguh-sungguh membangun upaya menghindari PKB dari personalisasi partai di masa-masa yang akan datang. Jika tidak, partai ini hanya akan terlepas dari mulut harimau untuk masuk ke dalam mulut buaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar