Si
Lemah yang Perkasa
J Sumardianta ; Guru
|
KORAN
TEMPO, 11 Juli 2014
"Kebenaran
yang tidak diorganisasi akan dipecundangi kejahatan terorganisasi."
Anekdot Daud-Goliat merupakan risalah menggugah perihal arogansi yang
ditaklukkan kerendahan hati. Kesombongan dikalahkan kesederhanaan. Omong
kosong dimentahkan kerja nyata. Siasat dibabat oleh kerja keras, ikhlas, dan
tuntas. Partisipasi mempecundangi mobilisasi. Kesadaran merubuhkan
intimidasi.
Hari-hari ini, bangsa Indonesia sedang mengalami euforia sekaligus
galau menyongsong datangnya Daud dari Solo. Joko Widodo, berpasangan dengan
Jusuf Kalla, memenangi pemilu presiden (pilpres) 2014 versi hitung cepat
lembaga-lembaga survei kredibel. Pasangan Prabowo-Hatta yang dikalahkan
dengan skor tipis belum mau melempar handuk.
Pemilihan presiden kali ini memang pertarungan Daud menumbangkan
Goliat. Setidaknya ini terlihat dari dukungan partai koalisi yang menyokong
calon presiden masing-masing. Jokowi mewakili aspirasi rakyat jelata. Orang
tuanya berasal dari Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah. Sebelum menjadi Wali
Kota Solo dan Gubernur DKI, Jokowi seorang pengusaha mebel. Tampilan
sehari-harinya kurang ndayani (meyakinkan). Jangankan menjadi presiden RI,
menjadi Wali Kota Solo saja bagi kerabat dekatnya sudah pencapaian
mengejutkan.
Indonesia sedang memasuki babak baru sejarah kepemimpinan. Babak
pertama, Sukarno berasal dari kultur aristokrat Jawa. Babak kedua, Soeharto
mewakili junta militer. Babak ketiga, Jokowi merepresentasikan wong ndeso.
Jokowi merupakan antitesis dari kepemimpinan gagrak lama yang bertumpu pada
kekuatan priayi dan tentara yang cenderung disembah dan dilayani. Jokowi
datang untuk melayani. Dia tipe servant
leadership. Pemimpin pelayan ini bersenjatakan kejujuran, ugahari, dan
ketulusan.
Jokowi mempraktekkan gagasan kelimpahan (abundance living). Rival-rivalnya berkukuh dengan gagasan-gagasan
kelangkaan (scarcity). Jokowi
memperlakukan orang lain sebagai mitra pelengkap (complement). Para kompetitor memperlakukan Jokowi sebagai orang
yang akan menggantikan mereka (substitusi).
Pemilihan presiden 2014 sungguh menjalankan fungsi sirkulasi elite dan
pendidikan politik. Jokowi menawarkan kesegaran baru. Wong climen lan prasaja (orang kebanyakan) bisa menjadi presiden.
Inilah hikmah kemenangan rakyat jelata. Anak-anak dari latar belakang
keluarga biasa (bukan anak pejabat) boleh membangun mimpi yang tidak bertepi.
Asalkan punya otentisitas dan tahan menghadapi gempuran, mereka bisa menjadi
presiden.
Siasat tidak terpuji dilakukan buat melaknat Jokowi. Air bah sejarah
baru ini tak mungkin dibendung dengan sehelai jerami. Terlebih lagi bila
jerami hasil kerajinan anyam lembaga survei abal-abal yang diekspos terus
stasiun televisi penyebar kebencian dan kebohongan milik politikus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar