Sabtu, 12 Juli 2014

Si Lemah yang Perkasa

                                             Si Lemah yang Perkasa

J Sumardianta  ;   Guru
KORAN TEMPO, 11 Juli 2014
                                                


"Kebenaran yang tidak diorganisasi akan dipecundangi kejahatan terorganisasi."

Anekdot Daud-Goliat merupakan risalah menggugah perihal arogansi yang ditaklukkan kerendahan hati. Kesombongan dikalahkan kesederhanaan. Omong kosong dimentahkan kerja nyata. Siasat dibabat oleh kerja keras, ikhlas, dan tuntas. Partisipasi mempecundangi mobilisasi. Kesadaran merubuhkan intimidasi.

Hari-hari ini, bangsa Indonesia sedang mengalami euforia sekaligus galau menyongsong datangnya Daud dari Solo. Joko Widodo, berpasangan dengan Jusuf Kalla, memenangi pemilu presiden (pilpres) 2014 versi hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel. Pasangan Prabowo-Hatta yang dikalahkan dengan skor tipis belum mau melempar handuk.

Pemilihan presiden kali ini memang pertarungan Daud menumbangkan Goliat. Setidaknya ini terlihat dari dukungan partai koalisi yang menyokong calon presiden masing-masing. Jokowi mewakili aspirasi rakyat jelata. Orang tuanya berasal dari Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah. Sebelum menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, Jokowi seorang pengusaha mebel. Tampilan sehari-harinya kurang ndayani (meyakinkan). Jangankan menjadi presiden RI, menjadi Wali Kota Solo saja bagi kerabat dekatnya sudah pencapaian mengejutkan.

Indonesia sedang memasuki babak baru sejarah kepemimpinan. Babak pertama, Sukarno berasal dari kultur aristokrat Jawa. Babak kedua, Soeharto mewakili junta militer. Babak ketiga, Jokowi merepresentasikan wong ndeso. Jokowi merupakan antitesis dari kepemimpinan gagrak lama yang bertumpu pada kekuatan priayi dan tentara yang cenderung disembah dan dilayani. Jokowi datang untuk melayani. Dia tipe servant leadership. Pemimpin pelayan ini bersenjatakan kejujuran, ugahari, dan ketulusan.

Jokowi mempraktekkan gagasan kelimpahan (abundance living). Rival-rivalnya berkukuh dengan gagasan-gagasan kelangkaan (scarcity). Jokowi memperlakukan orang lain sebagai mitra pelengkap (complement). Para kompetitor memperlakukan Jokowi sebagai orang yang akan menggantikan mereka (substitusi).

Pemilihan presiden 2014 sungguh menjalankan fungsi sirkulasi elite dan pendidikan politik. Jokowi menawarkan kesegaran baru. Wong climen lan prasaja (orang kebanyakan) bisa menjadi presiden. Inilah hikmah kemenangan rakyat jelata. Anak-anak dari latar belakang keluarga biasa (bukan anak pejabat) boleh membangun mimpi yang tidak bertepi. Asalkan punya otentisitas dan tahan menghadapi gempuran, mereka bisa menjadi presiden.

Siasat tidak terpuji dilakukan buat melaknat Jokowi. Air bah sejarah baru ini tak mungkin dibendung dengan sehelai jerami. Terlebih lagi bila jerami hasil kerajinan anyam lembaga survei abal-abal yang diekspos terus stasiun televisi penyebar kebencian dan kebohongan milik politikus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar