Pemimpin
Baru di Bulan Ramadan
Bambang
Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI; Presidium
Nasional KAHMI 2012-2017, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 30 Juni 2014
Republik
Indonesia kembali hamil tua. Dari rahimnya segera lahir pemimpin baru dalam
hitungan hari. Tidaklah mengada-ada untuk mengatakan bahwa kehadiran pemimpin
baru Indonesia itu sebagai berkah dan rida Allah SWT, karena dia sudah bisa
menampakkan diri di bulan suci Ramadan 1435 Hijriah ini.
Rakyat
akan menentukan pilihan pada 9 Juli 2014, atau hari kesepuluh ibadah puasa
Ramadan tahun ini. Berkat mekanisme hitung cepat (quick count), petang hari itu juga, atau paling lambat 10 Juli
2014 esok harinya, pemimpin terpilih sudah bisa diketahui. Perkiraan ini
tentu saja tidak bermaksud mendahului. Namun, mengacu pada pengalaman pilpres
terdahulu, pemenang Pilpres 2014 mestinya sudah bisa ditetapkan petang hari
itu juga, saat puluhan juta keluarga Indonesia sedang menyiapkan hidangan
buka puasa pada 9 Juli 2014 itu.
Berkah
Yang Mahakuasa memang berlimpah untuk bangsa ini. Ketika kampanye pilpres
kian memanas dan mulai membuat gelisah banyak orang, bulan puasa datang
menghampiri negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini. Sisi
lain dari bulan Ramadan adalah perintah kepada setiap muslim untuk kembali
fokus kepada Sang Pencipta dalam ritual puasa, menahan dahaga dan lapar.
Dahaga dan lapar tidak menyebabkan umat Muslim lemah, sebab kekuatan itu sejatinya
bersumber dari Allah SWT.
Maka,
ingar-bingar kampanye pilpres sudah mencapai puncaknya di penghujung Juni
2014. Hari-hari sepanjang bulan suci Ramadan di bulan Juli ini adalah
waktunya menahan diri dan menghalau semua nafsu dan berpikir jernih. Memang,
selain fokus beribadah, umat diwajibkan untuk tetap melaksanakan semua
kegiatan yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing individu. Namun,
semua kegiatan harus semata-mata bertujuan memuliakan Allah SWT.
Karena
masih dalam persiapan menuju pelaksanaan pilpres, bisa dipastikan bahwa
banyak komunitas akan berinisiatif menyelenggarakan doa bersama, memanjatkan
harapan agar bangsa ini diberi pemimpin yang amanah. Kalau suasana kebatinan
masyarakat sudah seperti itu, kampanye hitam, fitnah, hujatan, serta sumpah
serapah di ruang terbuka tidak boleh bergema sepanjang bulan suci ini. Tidak
berarti kampanye pilpres harus dihentikan. Dengan sisa waktu yang tidak banyak
lagi, kampanye memang harus berlanjut dan diintensifkan. Tetapi, mengikuti
asas kepatutan di bulan Ramadan, cara berkampanye tentu saja harus berubah
total.
Mengumpulkan
massa dan orasi di ruang terbuka tampaknya tidak memadai lagi. Idealnya, yang
dikedepankan kepada konstituen adalah pendekatan dialogis berlandaskan ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam
Islam). Jika pendekatannya dialogis, baik capres-cawapres maupun konstituen
akan tergiring membahas hal-hal konkret, dan terhindar dari keinginan
menyerang kandidat lain. Juga karena dialogis, tema yang dibahas lebih pada
program- program konkret yang berkait dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat
kebanyakan. Misalnya tentang politik pangan, papan, pendidikan hingga
kesehatan.
Tentu
saja program-program besar seperti pembangunan infrastruktur dan mewujudkan
pusat pertumbuhan baru di luar Jawa juga perlu didiskusikan. Momentum bulan
Ramadan hendaknya dimanfaatkan capres-cawapres untuk lebih mengampanyekan
pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, serta menerima perbedaan sebagai
anugerah. Dengan pola kampanye yang mengikuti asas kepatutan di bulan
Ramadan, Pilpres 2014 akan berjalan mulus dan damai.
Semua
elemen rakyat pada hakikatnya memang menginginkan pilpres berlangsung
sebagaimana mestinya dan mencerminkan derajat keadaban. Jadi, jangan nodai
bulan Ramadan dengan kepentingan sempit tak terpuji yang berkait pilpres.
Sebaliknya, gelisah dan cemas yang sempat tumbuh akibat kampanye yang kurang
beretika bisa terhapuskan berkat kekuatan bulan Ramadan.
Kegembiraan Ramadan
Kalau
pilpres sudah dipersepsikan sebagai kegembiraan politik, yang ditandai dengan
tingginya aktivitas ribuan relawan, maka keterpilihan pemimpin baru di bulan
suci ini pun layak dijadikan kegembiraan Ramadan. Utamanya karena Indonesia
telah merampungkan salah satu agenda strategis dengan selamat. Juga karena
rakyat Indonesia semakin dewasa melakoni demokrasi. Pemimpin terpilih pun
akan tampil elegan karena dia lahir dari suasana kondusif di bulan suci.
Siapa
pun dia pasti akan diterima sebagai anugerah. Tak banyak negara di kawasan
Asia yang bisa mengaktualisasikan demokrasi seperti yang dijalani Indonesia.
Indonesia tidak mungkin lagi mundur dari pencapaian yang tecermin dari
Pilpres 2014. Demokrasi akan terus bertumbuh. Ini sudah menjadi pilihan rakyat,
sehingga semua potensi gangguan yang coba mereduksi pencapaian itu akan kalah
dengan sendirinya. Belakangan beberapa kalangan sering bertanya apakah
suasana pasca Pilpres 2014 akan kondusif Pertanyaan ini menjadi sebuah
kewajaran karena pihak berwenang pun memprediksi kemungkinan terjadinya
gangguan keamanan.
Apalagi,
beberapa peristiwa berskala kecil sudah mendahuluinya, sebagaimana yang
terjadi di Yogyakarta. Isu tentang potensi rusuh pasca Pilpres 2014 memang
mulai menimbulkan ekses. Kecenderungan yang menggelisahkan ini mestinya tidak
ditoleransi. Karena itu, jajaran TNI, Polri, dan BIN perlu memberi jaminan
atau memastikan bahwa situasi pasca-Pilpres 2014 tetap kondusif.
Dalam
beberapa pekan terakhir ini pergunjingan mengenai kemungkinan terjadinya
rusuh pascapilpres semakin marak. Boleh jadi karena Polri pun sudah
memprediksi kemungkinan terjadinya benturan fisik antarpendukung pasangan
calon presiden-calon wakil presiden di beberapa kota. Situasi seperti ini
menggelisahkan, dan mestinya tidak ditoleransi. Eksesnya sangat nyata.
Pada
pekan terakhir Juni 2014, depresiasi rupiah berlanjut. Nilai tukar rupiah
sudah tembus Rp12.000, tepatnya Rp12.103 per dolar AS. Sepanjang pekan itu,
rupiah sudah terdepresiasi 1,56 persen terhadap dolar AS. Di Bursa Efek
Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari transaksi
terakhir, Jumat (276), terkoreksi 27,28 poin. Faktor utama yang memengaruhi
situasi pasar valuta dan saham akhir-akhir ini adalah dinamika politik menuju
pilpres yang terkesan tidak kondusif. Kalau isu itu dibiarkan menjadi
kenyataan, demokrasi Indonesia dipaksa melangkah mundur. Hal ini mestinya
tidak boleh terjadi. Syukur bahwa Polri, TNI dan BIN siaga dan terus memantau
dinamika publik.
Memantau
keadaan saja barangkali belum cukup. Sebagai langkah preventif, pihak
berwenang tampaknya perlu berinisiatif membangun komunikasi dengan tim
pemenangan masingmasing kubu capres-cawapres. Tak sekadar berkomunikasi,
mereka diajak bekerja sama mewujudkan suasana kondusif dan damai.
Masing-masing kubu harus menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik dan
keamanan dalam negeri. Mudah-mudahan, niat baik yang digagas di bulan suci
ini mendatangkan beribu manfaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar