Pasar,
Pilpres, dan Harapan
Ahmad
Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance
|
JAWA
POS, 29 Juni 2014
DUA
perkembangan berikut penting dan mengubah banyak sekali wajah ekonomi-politik
Indonesia pasca-krisis ekonomi 1997–1998. Pertama, meski di sana-sini masih
disesaki intervensi pemerintah dalam perekonomian, secara umum aktivitas
ekonomi telah dilepas ke pasar. Peran negara terhadap perekonomian terus
berkurang, digantikan koordinasi lewat mekanisme pasar. Demikian pula,
sumbangan sektor swasta terhadap PDB (produk domestik bruto) kian besar
dibanding BUMN. Pendek kata, ekonomi yang diinisiasi masyarakat (baik
domestik maupun asing) makin besar porsinya.
Kedua,
demokrasi politik secara prosedural telah diadopsi secara menyeluruh. Bahkan,
Indonesia tergolong negara yang dianggap melakukan transisi ke arah demokrasi
yang relatif cepat. Tetapi, secara substantif demokrasi belum diisi dengan
pengetahuan, sistem meritokrasi (kompetensi), dan ketaatan hukum yang
mencukupi sehingga yang tampak di permukaan sebatas ritual pemilu dan hiruk
pikuk cakap kata.
Kepastian dan Kebijakan
Deskripsi
itu membuat dinamika perekonomian dengan mudah dikendalikan pasar. Market
bisa menentukan kebijakan ekonomi seperti apa yang sebaiknya diambil
pemerintah, program mana yang mesti didahulukan, maupun fakta milik siapa
yang boleh diungkapkan. Pemerintah, kerap kali, harus tersungkur berhadapan
dengan kehendak pasar tersebut. Tekanan mereka sangat kuat, bahkan sering
merupakan ”perintah” yang tak bisa dibantah pemerintah.
Pertanyaannya,
siapa yang dimaksud pasar tersebut? Apakah semua pelaku ekonomi di luar
pemerintah? Tentu tak sesederhana itu. Pelaku ekonomi pasar dalam pengertian
ekonomi sebetulnya bisa petani, pedagang kaki lima, nelayan, sektor informal,
banker, pialang saham, fund manager,
dan sebagainya. Tetapi, dalam realitasnya, pelaku pasar yang bisa memengaruhi
kebijakan dan perilaku pemerintah itu hanyalah segelintir orang yang berkutat
di sektor keuangan dan korporasi kakap yang bergerak di sektor riil.
Bagaimana
hubungan pemain pasar tersebut dalam ritual politik seperti pemilihan presiden-wakil
presiden (pilpres) sekarang? Secara objektif, pemain pasar berpengaruh itu
membutuhkan hal paling mendasar dalam bisnis, yakni kepastian. Kepastian
identik dengan stabilitas sehingga proyeksi ekonomi ke depan lebih mudah
dipetakan. Proyeksi sendiri merupakan pegangan mahapenting bagi pelaku
ekonomi karena hampir semua keputusan penting seperti ekspansi investasi
didasarkan kepada proyeksi tersebut.
Pada
saat masa pendaftaran pilpres digelar dan muncul dua pasangan
capres-cawapres, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf
Kalla, pasar langsung menyambut gembira karena hasil survei yang dilakukan
lembaga-lembaga survei yang cukup kredibel menempatkan salah satu pasangan
unggul jauh ketimbang kompetitornya. Bagi pemain pasar, kepastian tersebut
merupakan warta penting. Bayangannya, pilpres akan berjalan lebih mudah
sehingga tak perlu menghasilkan residu friksi yang tak perlu.
Di luar
itu, pasar juga punya kepentingan. Seperti yang telah disampaikan di muka,
kepentingan pasar tentu saja beragam, bergantung siapa yang dimaksud pemain
pasar tersebut. Namun, dengan penyederhanaan bahwa pasar banyak dipengaruhi
pelaku di sektor keuangan dan korporasi kakap (domestik maupun asing),
kepentingan pasar di sini direpresentasikan kepentingan pelaku pasar itu.
Tentu saja platform/kebijakan ekonomi dan rekam jejak kandidat yang dianggap
lebih banyak menyantuni kepentingan pasar itulah yang akan didukung.
Pada
saat Kadin mengundang para kandidat capres-cawapres untuk presentasi platform
ekonomi mereka, hal itu harus dibaca dalam konteks tersebut. Yaitu memastikan
siapa kandidat presiden/wakil presiden yang memihak kepentingan bisnis.
Realitas ini merupakan gejala yang wajar belaka seperti halnya kaum tani atau
nelayan yang mengharapkan kebijakan calon presiden yang memihak kepentingan
mereka.
Merawat Harapan
Jadi,
dua faktor itulah yang memengaruhi respons pasar terhadap peristiwa politik
semacam pilpres ini. Fakta yang sekarang terjadi, di mana beberapa variabel
ekonomi kembali menunjukkan gejala zig-zag,
seperti nilai tukar, dapat dianalisis dari faktor-faktor tersebut. Persaingan
yang makin ketat belakangan, tak terbayangkan sebelumnya, membuat ”kepastian”
yang disimpulkan pada masa pendaftaran capres/cawapres menjadi berkabut, tak
sejelas seperti sebelumnya. Pemberitaan masif dari masing-masing kubu yang difasilitasi
media cetak dan elektronik, media sosial, dan sebagainya membuat tafsir
terhadap kepastian harus direvisi. Akibatnya, proyeksi ekonomi ke depan
menjadi tak mudah dipetakan (ditambah dengan friksi yang makin tajam). Itulah
yang kemudian direspons pasar dengan sikap ”galau”, sebagian tecermin dari
pergerakan nilai tukar rupiah dan harga saham. Memang ada pengaruh faktor
teknis, misalnya fundamental ekonomi domestik, tetapi tak dapat dimungkiri
aspek politik cukup dominan.
Di luar
itu, secara subjektif terdapat penilaian yang bersumber dari interpretasi
terhadap kebijakan ekonomi masing-masing kandidat. Seperti dipaparkan di
awal, kandidat yang dianggap lebih mewakili kepentingan pasar pasti yang akan
dipilih. Sejauh ini saya tak melihat perbedaan yang tajam di antara dua
pasangan tersebut di bidang ekonomi, khususnya terkait dunia usaha, baik di
sektor keuangan maupun sektor riil. Keduanya memperjuangkan perubahan ekonomi
dengan istilah yang berlainan, tetapi memiliki akar pemahaman yang sama, yaitu
ekonomi kerakyatan dan ekonomi berdikari. Mereka sama-sama ingin memajukan
sektor bisnis meskipun mungkin prioritas dan caranya dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda. Dari sisi ini, respons pasar terhadap situasi
sekarang sebetulnya lebih didorong sebab terganggunya faktor ”kepastian”
ketimbang platform ekonomi. Pandangan Kadin, misalnya, secara bulat juga
tidak menunjukkan dukungan definitif kepada salah satu kandidat.
Di atas
segalanya, respons pasar terhadap peristiwa politik harus dianggap hal yang
biasa. Kasus tiga pilpres pasca-krisis ekonomi 1997–1998 juga tidak
memproduksi efek negatif setelah perhelatan usai. Barangkali hanya tiga
catatan yang perlu ditambahkan.
Pertama,
respons pasar itu biasanya hanya bekerja dalam jangka pendek. Begitu pilpres
rampung, pasar akan kembali ke titik keseimbangan.
Kedua,
pada saat pilpres usai, hal yang jauh lebih penting diperhatikan adalah agar
siapa pun yang terpilih nanti menyantuni seluruh kepentingan publik, bukan
hanya menafkahi pasar yang hanya sedikit pelakunya (namun dengan kekuatan
yang besar).
Ketiga,
perlunya pemahaman yang utuh kepada masyarakat bahwa pilpres hanyalah
instrumen politik untuk memilih pemimpin secara reguler sehingga apa pun
hasilnya harus diterima sebagai keniscayaan demokrasi.
Di sisi
lain, kandidat yang menang dan kalah juga harus memiliki mental kukuh untuk
berjuang memperbaiki republik tanpa merusak sendi-sendi demokrasi. Rakyat
layak memperoleh harapan ini, apalagi jika direalisasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar