Jumat, 18 Juli 2014

Papua (Harus Jadi) Tanah Damai

                             Papua (Harus Jadi) Tanah Damai

Teuku Kemal Fasya  ;   Antropolog Aceh
KOMPAS,  16 Juli 2014
                                                


BERKAT undangan untuk menghadiri Konferensi Nasional Jaringan Antariman VI, saya akhirnya menjejakkan kaki ke tanah Papua untuk pertama kali. Beberapa kali telah menulis Papua, tetapi mata dan hati yang mengalami perjumpaan langsung membuat keberpihakan semakin mendalam.

Konferensi dilaksanakan di sebuah hotel hampir bangkrut, Hotel Sentani Indah. Meskipun tak lagi indah, hotel itu memiliki arti khusus bagi masyarakat Papua. Hampir 12 tahun lalu (September 2002) di tempat yang sama pernah dilaksanakan pertemuan para tokoh yang menghasilkan rumusan ”Papua Zona Damai”.

Istilah itu kini berubah menjadi ”Papua Tanah Damai” yang menjadi titik gerakan moral-sosial untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan manipulasi di bumi Cenderawasih. Setiap 5 Mei sejak 2005, aksi damai diperingati oleh seluruh umat beragama melalui event-event sakral dan kesenian.

Konferensi yang dilaksanakan pada 19-23 Mei 2014 itu juga melahirkan beberapa rekomendasi, di antaranya mendesak segera dilakukan dialog untuk penyelesaian masalah Papua secara komprehensif, termasuk tidak mendukung calon presiden yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku kekerasan dan kejahatan HAM di masa lalu.

”Status quo”

Hingga hari-hari terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi Papua (termasuk Papua Barat) masih status quo. Tak banyak perbaikan substansial yang memenangkan hati dan pikiran rakyat. Pendekatan kesejahteraan melalui proyek ”otonomi khusus” selama lebih dari 10 tahun malah menjadi distorsi dan memperburuk situasi.

Pernah pemerintahan SBY mewacanakan komunikasi konstruktif untuk Papua. Pemilihan istilah ”komunikasi konstruktif” mungkin untuk menghindari istilah dialog yang terkesan ”seram”. Sayangnya, sampai hari ini metode dan strategi konstruktif yang mau dipilih tak pernah nyata.

Pendekatan parsial dan berbasis pada representasi formal terbukti tumpul. Elite-elite lokal pemerintahan yang dipilih melalui pilkada dan pemilu legislatif ternyata gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat berpopulasi empat juta jiwa itu (Papua dan Papua Barat).

Di sisi lain, suara-suara yang muncul di luar dianggap ilegal. Dapuk rasional yang ditabalkan adalah Papua terlalu majemuk dan terlalu rumit untuk harus menampung semua suara. Kerumitan itu bukan saja secara etnografis, melainkan juga secara kultural dan politis. Padahal, menghindari suara-suara itu sama dengan mengidolakan pendekatan lama.

Pendekatan pada basis representasi formal telah gagal bagi masyarakat yang komunalistik itu. Momentum politik elektoral yang bertubuh liberal-kapitalistik terbukti majal, tak mampu mengiris representasi yang tepercaya. Pelanggaran dan gugatan Pemilu 9 April 2014 dari Papua termasuk terbanyak di Mahkamah Konstitusi (Kompas.com, 12 Mei).

Di sisi lain, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang ingin dijadikan obat representasi pelan-pelan malah semakin ciut akibat pembentukan kelembagaan adat lain yang dipaksakan dari atas. Representasi adat pro Jakarta itu menambah runyam dan membuat suara Papua semakin kabur.

Poskolonial

Salah satu momentum ”ketidaksetiaan Indonesia” terhadap Papua adalah membiarkan banyak kasus pelanggaran HAM, kultural, dan lingkungan, dan menganggapnya sebagai pilihan niscaya.

Kasus kekerasan bahkan masih sering terjadi hingga sekarang. Indonesia Police Watch pada 2013 mencatat sedikitnya 19 orang tewas, baik dari sipil maupun aparat keamanan (Kompas, 12 Mei).

Salah satu yang paling diingat adalah kasus pembunuhan ”bapak adat” Dhortheys Hiyo Eluway. Kasus ditutup dengan menghukum perwira menengah militer dan memutus garis komando lebih tinggi.

Namun, ingatan publik tak akan pernah mudah ditutup. Setiap orang dari atau menuju Bandara Sentani akan selalu melihat makam Theys. Ini bukti pemerintah tidak sungguh-sungguh memercayai tokoh lokal kritis yang memerahkan telinga.

Belum lagi jika dihitung kejahatan korporatokrasi. Perusahaan multinasional yang mulai menjamur sejak awal Orde Baru hanya berhasrat pada bumi dan isi perutnya, tetapi tidak bagi manusia yang hidup di atasnya.

Simbol Freeport sebagai ”tuan kemiskinan” (the lord of poverty)—memakai istilah Graham Hancock—lebih nyata di pikiran masyarakat Papua dibandingkan dengan keberhasilannya membangun daerah itu.

Meskipun susah, Pemerintah Indonesia harus mengambil ”jalan poskolonial” untuk menyelesaikan masalah Papua. Cara itu adalah dengan lebih merendahkan suara Jakarta dan lebih menghormati suara masyarakat Papua, termasuk nilai-nilai otentik lokal.

Jika Jakarta mengingat 1 Mei 1963 sebagai hari Papua masuk ke pangkuan ibu pertiwi, bisakah dengan pikiran terbuka juga menghargai hari kemerdekaan Papua dari kolonialisasi Belanda 1 Desember 1961? (I Ngurah Suryawan, 2013). Cara beradab harus dijadikan panglima, menggeser cara kekerasan yang ketinggalan zaman dan terus gagal.

Dengan mental bangsa yang makin dewasa, Indonesia seharusnya mampu mengambil jalan tengah dalam mengonstruksikan kesejarahan, kultural, dan politik Papua tanpa terlalu didominasi narasi Senayan dan Merdeka Utara.

Kita sebenarnya memiliki kematangan memperlakukan daerah terluka, seperti kisah sukses periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang mengakomodasi tuntutan Aceh melalui dialog tripartit di Helsinki, Finlandia.

Pertanyaan tulus kesekian, bisakah pemerintahan SBY-Boediono mengakomodasi dialog bagi penyelesaian masalah-masalah Papua secara komprehensif? Ini akan menjadi warisan terakhir yang temalinya akan kokoh bagi perwujudan mimpi Papua tanah damai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar