Papua
(Harus Jadi) Tanah Damai
Teuku Kemal Fasya ;
Antropolog Aceh
|
KOMPAS,
16 Juli 2014
BERKAT undangan untuk
menghadiri Konferensi Nasional Jaringan Antariman VI, saya akhirnya
menjejakkan kaki ke tanah Papua untuk pertama kali. Beberapa kali telah
menulis Papua, tetapi mata dan hati yang mengalami perjumpaan langsung
membuat keberpihakan semakin mendalam.
Konferensi dilaksanakan di
sebuah hotel hampir bangkrut, Hotel Sentani Indah. Meskipun tak lagi indah,
hotel itu memiliki arti khusus bagi masyarakat Papua. Hampir 12 tahun lalu
(September 2002) di tempat yang sama pernah dilaksanakan pertemuan para tokoh
yang menghasilkan rumusan ”Papua Zona Damai”.
Istilah itu kini berubah
menjadi ”Papua Tanah Damai” yang menjadi titik gerakan moral-sosial untuk
menghentikan segala bentuk kekerasan dan manipulasi di bumi Cenderawasih.
Setiap 5 Mei sejak 2005, aksi damai diperingati oleh seluruh umat beragama
melalui event-event sakral dan kesenian.
Konferensi yang
dilaksanakan pada 19-23 Mei 2014 itu juga melahirkan beberapa rekomendasi, di
antaranya mendesak segera dilakukan dialog untuk penyelesaian masalah Papua
secara komprehensif, termasuk tidak mendukung calon presiden yang memiliki
rekam jejak sebagai pelaku kekerasan dan kejahatan HAM di masa lalu.
”Status
quo”
Hingga hari-hari terakhir
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi Papua (termasuk Papua Barat)
masih status quo. Tak banyak perbaikan substansial yang memenangkan hati dan
pikiran rakyat. Pendekatan kesejahteraan melalui proyek ”otonomi khusus”
selama lebih dari 10 tahun malah menjadi distorsi dan memperburuk situasi.
Pernah pemerintahan SBY
mewacanakan komunikasi konstruktif untuk Papua. Pemilihan istilah ”komunikasi
konstruktif” mungkin untuk menghindari istilah dialog yang terkesan ”seram”.
Sayangnya, sampai hari ini metode dan strategi konstruktif yang mau dipilih
tak pernah nyata.
Pendekatan parsial dan
berbasis pada representasi formal terbukti tumpul. Elite-elite lokal
pemerintahan yang dipilih melalui pilkada dan pemilu legislatif ternyata
gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat berpopulasi empat juta jiwa
itu (Papua dan Papua Barat).
Di sisi lain, suara-suara
yang muncul di luar dianggap ilegal. Dapuk rasional yang ditabalkan adalah
Papua terlalu majemuk dan terlalu rumit untuk harus menampung semua suara.
Kerumitan itu bukan saja secara etnografis, melainkan juga secara kultural
dan politis. Padahal, menghindari suara-suara itu sama dengan mengidolakan pendekatan
lama.
Pendekatan pada basis
representasi formal telah gagal bagi masyarakat yang komunalistik itu.
Momentum politik elektoral yang bertubuh liberal-kapitalistik terbukti majal,
tak mampu mengiris representasi yang tepercaya. Pelanggaran dan gugatan
Pemilu 9 April 2014 dari Papua termasuk terbanyak di Mahkamah Konstitusi
(Kompas.com, 12 Mei).
Di sisi lain, pembentukan
Majelis Rakyat Papua (MRP) yang ingin dijadikan obat representasi pelan-pelan
malah semakin ciut akibat pembentukan kelembagaan adat lain yang dipaksakan
dari atas. Representasi adat pro Jakarta itu menambah runyam dan membuat
suara Papua semakin kabur.
Poskolonial
Salah satu momentum
”ketidaksetiaan Indonesia” terhadap Papua adalah membiarkan banyak kasus
pelanggaran HAM, kultural, dan lingkungan, dan menganggapnya sebagai pilihan
niscaya.
Kasus kekerasan bahkan
masih sering terjadi hingga sekarang. Indonesia Police Watch pada 2013
mencatat sedikitnya 19 orang tewas, baik dari sipil maupun aparat keamanan
(Kompas, 12 Mei).
Salah satu yang paling
diingat adalah kasus pembunuhan ”bapak adat” Dhortheys Hiyo Eluway. Kasus
ditutup dengan menghukum perwira menengah militer dan memutus garis komando
lebih tinggi.
Namun, ingatan publik tak
akan pernah mudah ditutup. Setiap orang dari atau menuju Bandara Sentani akan
selalu melihat makam Theys. Ini bukti pemerintah tidak sungguh-sungguh
memercayai tokoh lokal kritis yang memerahkan telinga.
Belum lagi jika dihitung
kejahatan korporatokrasi. Perusahaan multinasional yang mulai menjamur sejak
awal Orde Baru hanya berhasrat pada bumi dan isi perutnya, tetapi tidak bagi
manusia yang hidup di atasnya.
Simbol Freeport sebagai
”tuan kemiskinan” (the lord of poverty)—memakai istilah Graham Hancock—lebih
nyata di pikiran masyarakat Papua dibandingkan dengan keberhasilannya
membangun daerah itu.
Meskipun susah, Pemerintah
Indonesia harus mengambil ”jalan poskolonial” untuk menyelesaikan masalah
Papua. Cara itu adalah dengan lebih merendahkan suara Jakarta dan lebih
menghormati suara masyarakat Papua, termasuk nilai-nilai otentik lokal.
Jika Jakarta mengingat 1
Mei 1963 sebagai hari Papua masuk ke pangkuan ibu pertiwi, bisakah dengan
pikiran terbuka juga menghargai hari kemerdekaan Papua dari kolonialisasi
Belanda 1 Desember 1961? (I Ngurah Suryawan, 2013). Cara beradab harus
dijadikan panglima, menggeser cara kekerasan yang ketinggalan zaman dan terus
gagal.
Dengan mental bangsa yang
makin dewasa, Indonesia seharusnya mampu mengambil jalan tengah dalam
mengonstruksikan kesejarahan, kultural, dan politik Papua tanpa terlalu
didominasi narasi Senayan dan Merdeka Utara.
Kita sebenarnya memiliki
kematangan memperlakukan daerah terluka, seperti kisah sukses periode pertama
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang mengakomodasi tuntutan Aceh melalui
dialog tripartit di Helsinki, Finlandia.
Pertanyaan tulus kesekian,
bisakah pemerintahan SBY-Boediono mengakomodasi dialog bagi penyelesaian
masalah-masalah Papua secara komprehensif? Ini akan menjadi warisan terakhir
yang temalinya akan kokoh bagi perwujudan mimpi Papua tanah damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar