Jumat, 18 Juli 2014

Menolak Sengketa Pilkada

                                        Menolak Sengketa Pilkada

Bahrul Ilmi Yakup  ;   Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);
Ketua Pusat Kajian BUMN
KOMPAS,  14 Juli 2014
                                                


BERBEDA dengan milieu lembaga negara lain, seperti Komisi Yudisial atau Dewan Perwakilan Daerah yang cenderung meminta perluasan wewenang, Mahkamah Konstitusi justru mengamputasi wewenangnya untuk mengadili sengketa pemilihan umum kepala daerah. Ini termaktub dalam putusan MK No 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan MK tidak berwenang (lagi) mengadili sengketa pilkada masa mendatang. Mahkamah Agung juga menolak mengadili hal itu dengan alasan MA sudah menanggung beban berat.

Secara historis, berdasarkan ketentuan Pasal 106 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang mengadili sengketa pilkada pernah dipegang MA yang dilaksanakan oleh pengadilan tinggi untuk sengketa pilkada kabupaten/kota dan oleh MA untuk sengketa pemilihan gubernur.
Kemudian, beralih menjadi wewenang MK berdasarkan ketentuan Pasal 236C UU No 12/2008 tentang Perubahan UU No 32/2004 yang diafirmasi oleh ketentuan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Alasan utama DPR mengalihkan wewenang mengadili sengketa pilkada dari MA ke MK ada tiga. Pertama, aspek keamanan. Sengketa pilkada dianggap rawan keamanan sehingga wewenang dialihkan ke MK dengan mekanisme pengamanan lebih baik. Kedudukan MK di Jakarta dapat membatasi kekuatan massa yang akan dikerahkan.

Kedua, terkait dengan kualitas putusan putusan hakim di jajaran MA dalam sengketa pilkada.

Selama diadili MA dan jajarannya, hampir semua permohonan sengketa pilkada ditolak pengadilan sehingga berkembang opini bahwa pengadilan di bawah MA gagal memeriksa sengketa pilkada demi keadilan substantif para pihak.
Ketiga, sengketa pilkada merupakan ranah sengketa pemilu sehingga harus diadili oleh MK sebagai pemegang kewenangan mengadili sengketa pemilu. Maka, DPR memangkas wewenang MA mengadili sengketa pilkada dan mengalihkannya ke MK.

Cacat hukum

Sedari awal, pengalihan tersebut memang cacat hukum sebab tidak mengubah wewenang MK yang diatur Pasal 10 Ayat (1) UU No 24/2003.

Sayangnya, ketentuan Pasal 10 Ayat (1) tidak dibahas MK dalam mengadili pengujian Pasal 236C UU No/12 Tahun 2008, juga MK tidak membahas wewenangnya yang diatur Pasal 29 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kecuali disinggung selintas dalam pendapat berbeda Hakim Konstitusi Anwar Usman. Artinya, kualitas Putusan MK semakin cenderung tidak komprehensif dan cermat dalam memberi pertimbangan.

Kendati tidak mengadili sengketa pilkada dalam artian penghitungan suara, jajaran pengadilan di bawah MA, yaitu PTUN dan pengadilan umum, masih berwenang mengadili keputusan dan tindak pidana terkait proses pilkada.

Padahal, sebelumnya MA sendiri bingung apakah keputusan Komisi Pemilihan Umum yang terkait dengan proses pilkada menjadi wewenang PTUN atau tidak. Kebingungan itu diatasi MA dengan menegaskan bahwa keputusan KPU terkait proses pilkada menjadi wewenang PTUN.

Penolakan MA mengadili sengketa pilkada secara yuridis keliru. Peradilan di bawah MA saat ini berwenang mengadili sengketa yang terkait dengan proses pilkada.

Adapun penolakan MK mengadili sengketa pilkada secara yuridis sah dan mengikat sebab sudah diputuskan dalam putusan MK No 97/PUU-XI/2013 yang memangkas wewenang MK untuk mengadili sengketa pilkada kendati putusan tersebut tidak diambil secara bulat oleh sembilan hakim MK (HMK).

Ada tiga hakim MK yang berpendapat beda, mengacu pada Pasal 236C sebagai 
opened legal policyyang merupakan wewenang DPR pembuat UU. Bukan wewenang MK dalam pengujian UU.

Adapun pendapat enam HMK yang mengabulkan permohonan bahwa sengketa pilkada bukan wewenang MK didasarkan pada putusan MK No 1-2/PUU-XII yang memisahkan pilkada dari pemilu sehingga sengketa pilkada bukan merupakan sengketa pemilu yang menjadi wewenang MK.

Terlepas dari kelemahan yuridis atas sikap hukum MK dan MA yang menolak mengadili sengketa pilkada (dalam arti perolehan suara), secara normatif sengketa pilkada memang tidak lagi menjadi wewenang MK ataupun MA. Agar hukum tidak vakum, MK masih berwenang mengadili sebelum lahir UU (baru) yang mengatur masalah tersebut.

Opsi pengadilan

Sesuai ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, opsi pengadilan yang mengadili sengketa pilkada sebetulnya ada tiga, yaitu ditangani MA, MK, atau pengadilan khusus, yang dapat berada di lingkungan MA atau MK. Maka, sikap MK dan MA yang menolak mengadili SP merupakan sikap yang bertentangan dengan hukum dan konstitusi.

DPR dapat mempertimbangkan opsi pengadilan khusus dengan pertimbangan, pertama, UU Pengadilan Sengketa Pilkada (UUSP) harus membahas, mengintegrasi, dan mengharmonisasi norma hukum yang dimaksud sengketa pilkada. Dengan demikian, tidak ada pemisahan proses dengan perolehan suara.

Kedua, mendefinisikan wewenang pengadilan sengketa pilkada secara tepat, jelas, dan limitatif. Dengan demikian, tidak lagi ada ambiguitas kompetensi yang menyebabkan pengadilan menjadi mahal dan bertele serta tidak memberi keadilan.

Ketiga, menciptakan sistem dan menstrukturkan peradilan yang sederhana, cepat, murah, dengan memberi akses pencari keadilan.

Keempat, mengintegrasikan lembaga pengadilan yang saat ini mengadili sengketa pilkada. Dengan demikian, tidak ada lagi sengketa pilkada yang diadili PTUN, peradilan umum, Bawaslu, dan DKPP. Bawaslu dan DKPP sejatinya bukanlah lembaga pengadilan sehingga secara yuridis-konstitusional Bawaslu dan DKPP tidak berwenang menghukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar