Merampas
Kuasa Senayan
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
17 Juli 2014
HANYA
berselang sehari dari pemungutan suara pemilu presiden dan wakil presiden,
Selasa (8/7), Sidang Paripurna DPR menyetujui perubahan Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
Berbeda
dari bayangan banyak pihak yang concern terhadap perkembangan lembaga
perwakilan, persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah tidak hanya
merevisi beberapa substansi, tetapi juga berujung pada kesepakatan mengganti
produk hukum yang dikenal sebagai UU MD3 ini.
Jamak
diketahui, keharusan melakukan perubahan disebabkan beberapa pasal UU No
27/2009 dinyatakan kehilangan validitas konstitusional karena bertentangan
dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Di antara contoh yang dapat dikemukakan,
DPR dan pemerintah harus mengadopsi substansi Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) No 92/PUU-X/2012 yang membatalkan beberapa pasal di dalam UU No 27/2009
karena mereduksi dan membatasi kewenangan DPD dalam proses legislasi.
Kebutuhan lain, pembatasan kewenangan DPR dalam membahas RAPBN sebagaimana
tertuang dalam Putusan MK No 35/PUU-XI/2013.
Apabila
dibaca penjelasan umum naskah hasil persetujuan, upaya mengadopsi putusan MK
No 92/PUU-X/2012, misalnya, dapat dilacak dengan mengembalikan roh Pasal 20
Ayat (2) UUD 1945 bahwa pembahasan RUU dilakukan DPR dan pemerintah serta DPD
menyangkut legislasi dalam Pasal 22D UUD 1945. Namun, dengan membaca secara
utuh hasil perubahan, semangat itu terasa setengah hati karena peran fraksi
muncul kembali di ujung pembahasan, yaitu ketika menyampaikan pendapat mini
akhir fraksi. Padahal, ketika tak lagi jadi bagian dalam pembahasan bersama,
fraksi kehilangan alasan untuk sampaikan pendapat akhir.
Sekiranya
langkah mengadopsi putusan MK menyebabkan lebih dari 50 persen substansi UU
No 27/2009 perlu diubah sehingga pergantian lebih tepat dari perubahan, jelas
bahwa pilihan DPR dan pemerintah memiliki basis argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Namun, apabila dibaca dengan cermat hasil naskah
pergantian yang telah disetujui, sebagian substansinya bergerak menuju agenda
lain. Paling tidak, agenda itu menjadi bentangan polarisasi politik setelah
pemilu anggota legislatif 9 April. Karena itu, dalam batas-batas tertentu,
sebagian substansi yang dihasilkan jadi upaya sistematis sejumlah politisi
untuk merampas kuasa politik di Senayan.
Salah
satu contoh yang patut dikemukakan adalah hapusnya Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara (BAKN) sebagai salah satu instrumen penting dalam
pengawasan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara. Dengan hapusnya BAKN, banyak kalangan percaya fungsi
pengawasan akan kehilangan elan karena kehilangan ketajaman melihat
kemungkinan adanya penyalahgunaan keuangan negara. Paling tidak dalam
beberapa tahun terakhir, BAKN mampu melakukan penajaman terhadap hasil audit
keuangan negara yang dilakukan dan dihasilkan BPK.
Boleh
jadi, agenda itu pula yang mendorong sejumlah kekuatan politik sengaja
memilih momen injury time pilpres.
Dengan momen itu, mayoritas kekuatan politik di DPR dan pemerintah sengaja
menghindari perdebatan yang lebih partisipatif dan terbuka dalam proses
pergantian UU No 27/2009. Artinya, jangankan ruang dan kesempatan untuk
adanya partisipasi publik yang lebih luas, sebagian dari kekuatan politik DPR
pun sengaja dibuat tidak berkutik untuk membawa pembahasan melewati perangkap
injury time. Buktinya, ketukan palu
persetujuan gagal dihentikan meskipun tiga fraksi (PDI-P, PKB, dan Hanura)
memilih langkah walk out.
Akrobat politik
Mulai
dari perjalanan waktu, rencana, hingga proses perubahan UU No 27/2009 dimulai
sejak sekitar satu tahun lalu. Dengan tidak terlalu banyaknya materi yang
harus diperbaiki, mestinya perubahan telah tuntas sebelum pelaksanaan pemilu
legislatif. Paling tidak, persetujuan bersama DPR dan pemerintah telah
dilakukan sebelum hasil pemungutan suara 9 April. Bagaimanapun, ketika pembahasan
masih saja berlangsung, sementara hasil pemilu legislatif telah diketahui,
politisasi dan upaya membajak substansi perubahan sulit dihindarkan.
Pertimbangan
untuk mempercepat penyelesaian proses perubahan ini tidak terlepas dari
pengalaman serupa lima tahun lalu. Pada saat itu, pembahasan substansi UU No
27/2009 masih berlangsung di tengah bentangan hasil pemilu legislatif 2009.
Karena itu, beberapa materi yang dihasilkan benar-benar menjadi cerminan
kalkulasi dan polarisasi politik antara Koalisi Kerakyatan dan Koalisi
Kebangsaan. Dalam batas-batas tertentu, jebakan yang sama kembali menghampiri
dinamika pergantian UU No 27/2009 pada saat komposisi sepuluh partai politik
penghuni Senayan 2014-2019 diketahui.
Salah
satu arena yang diperebutkan adalah desain aturan di sekitar pemilihan
pimpinan DPR. Sebagaimana dapat dibaca dalam naskah hasil persetujuan
bersama, Pasal 84 menyatakan pimpinan DPR terdiri dari satu ketua dan empat
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Selanjutnya ditegaskan, pimpinan
DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Substansi perubahan ini bertolak belakang dengan Pasal 82 UU No 27/2009 yang
menghendaki pimpinan DPR berasal dari parpol berdasar urutan perolehan kursi
terbanyak di DPR. Bahkan, untuk ketua DPR ditegaskan berasal dari parpol
peraih kursi terbanyak pertama di DPR.
Kesan
membajak substansi perubahan ini dapat dilacak dari semua dokumen yang
mengiringi pergantian UU No 27/2009. Di antara bukti yang menguatkan kesan
ini bahwa sejak semula naskah akademik yang menjelaskan alasan dan
pokok-pokok perubahan sama sekali tak pernah mencantumkan keinginan mengubah
mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Patut diduga, munculnya gagasan ”akrobatik”
mengubah mekanisme pemilihan pimpinan ini tak dapat dilepaskan dari
polarisasi kekuatan parpol pendukung pasangan capres dan cawapres.
Sebetulnya,
jika persetujuan ini terjadi jauh sebelum hasil pemilu legislatif diketahui
dan polarisasi politik pengajuan pasangan capres dan cawapres belum
terbentuk, perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR tak akan menimbulkan
kecurigaan yang luas. Namun, begitu semuanya terbaca dan terbentang ke
permukaan, tindakan akrobatik tersebut sulit dikatakan bukan merupakan bagian
dari strategi untuk merampas kuasa politik di Senayan. Merujuk fakta itu, tak
terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa PDI-P menjadi pihak yang paling
dirugikan dari perilaku akrobatik ini.
Selain
masalah itu, jika diletakkan dalam bingkai desain kelembagaan lembaga
perwakilan rakyat, perubahan mekanisme pengisian pimpinan DPR juga terjebak
dalam cara berpikir yang inkonsisten dan tidak linear. Dalam hal ini, naskah
pengganti UU No 27/2009 menggunakan cara pengisian yang berbeda antara
pimpinan legislatif pusat dan pimpinan legislatif di daerah. Cara berpikir
demikian bisa dilacak dengan pengaturan bahwa mekanisme pengisian pimpinan
DPRD tak berbeda dengan yang lama, yaitu berasal dari parpol berdasarkan
urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD. Bahkan, ketua DPRD tetap berasal
dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama.
Relasi DPR-presiden
Upaya
akrobatik mengubah mekanisme tersebut tentu saja tidak berhenti sampai pada
meraih posisi pimpinan dan ketua DPR saja. Dengan meletakkan dalam desain
pola hubungan eksekutif-legislatif dalam UUD 1945, langkah politik mengubah
pola ini hampir dapat dipastikan terkait dengan keinginan menciptakan pola
relasi DPR-presiden setelah Pemilu 2014. Sebagai kelompok yang ”memenangi”
pertarungan pergantian UU No 27/2009, parpol pendukung desain ini jelas
bergerak dalam bingkai hubungan DPR-presiden selama lima tahun ke depan.
Meski
proses persetujuan diambil sebelum dilakukan pemungutan suara pemilu presiden
dan wakil presiden, pendukung desain ini pasti telah memperkirakan dua
kemungkinan. Pertama, dengan komposisi suara mayoritas di DPR, apabila
pasangan Prabowo-Hatta berhasil meraih kursi RI 1 dan RI 2, mereka menjadi
lebih mudah memuluskan sekaligus menjalankan semua agenda pemerintah di DPR.
Boleh jadi, suara-suara berbeda dari kekuatan parpol lain hanya akan menjadi
aksesori dan pemanis proses politik di DPR. Bahkan, sangat mungkin kekuatan
politik di luar barisan pendukung gagasan ini hanya jadi penonton bekerjanya
”mesin” pendukung Prabowo-Hatta di DPR.
Kedua,
sekiranya Prabowo-Hatta gagal meraih suara mayoritas, sangat mungkin
pendukung gagasan ini berubah menjadi kelompok penghambat agenda-agenda
Jokowi-Kalla di DPR. Paling tidak, pendukung gagasan ini potensial mematrikan
suasana tegang relasi DPR-presiden selama lima tahun ke depan. Dengan
kemungkinan pilihan tersebut, Jokowi-Kalla akan selalu terbelenggu dengan
ketegangan yang nyaris tidak berkesudahan. Hal ini tidak bermakna bahwa jika
Prabowo-Hatta yang memenangi pemilu, pasangan ini akan terbebas dari
rongrongan kelompok pendukungnya sendiri. Bukankah pengalaman pemerintahan
SBY membuktikan betapa pragmatisnya pilihan politik pendukung koalisi.
Namun,
perlu dicatat, misalnya, dalam fungsi legislasi, posisi pimpinan DPR tak
selalu jadi penentu dalam pembahasan dan persetujuan bersama sebuah RUU.
Dalam posisi demikian, seberapa besar pun kekuatan parpol yang ada di DPR untuk
memuluskan penyelesaian RUU, semuanya tak akan terjadi jika presiden
(pemerintah) menolak ikut membahas dan menyetujui bersama RUU sebagaimana
termaktub dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Jadi, betapa pun lemahnya
dukungan parpol di DPR, posisi presiden sama kuatnya dengan 560 anggota DPR.
Begitu
pula dengan kemungkinan menggunakan ancaman pemakzulan, desain UUD 1945 tak
lagi memberi ruang dengan mudah dan sederhana untuk memakzulkan presiden.
Berkaca dari pengalaman relasi DPR-presiden dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, pembelahan kekuatan politik di DPR lebih banyak bersifat pragmatis.
Meskipun demikian, sebagian kekuatan yang bermain di balik layar akrobat
perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dalam perubahan UU No 27/2009 akan
selalu bertahan dalam posisi pragmatis. Karena itu, siapa saja yang terpilih
sebagai presiden dan wakil presiden, mereka tetap menjadi kekuatan kunci
untuk merampas kuasa politik Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar