Senin, 14 Juli 2014

Menuju Keabadian

                                                   Menuju Keabadian

Zen RS  ;   Chief editor di Pandit Football Indonesia, novelnya ”Jalan Lain ke Tulehu: Sepak Bola & Ingatan yang Mengejar” baru saja terbit
JAWA POS, 13 Juli 2014
                                                


ADA lelucon menarik tentang Lionel Messi dan Che Guevara: lahir di kota yang sama, lalu meninggalkan tempat kelahiran di masa kecil, menderita penyakit sejak kecil, sama-sama merantau ke luar negeri, dan sama-sama tak berguna di dalam negeri.

Dua manusia yang selisih usianya 51 tahun ini memang dilahirkan di kota yang sama: Rosario. Kota yang padat dan sarat gedung-gedung dengan kekayaan arsitektural yang bersejarah ini merupakan ibu kota Provinsi Santa Fe. Rosario berada di barat laut ibu kota Argentina, Buenos Aires. Jarak dua kota itu sekitar 300 km.

Keduanya juga tidak lama menetap di Rosario. Che yang dilahirkan pada 14 Juni 1928 hijrah bersama keluarganya ke Alta Gracia yang berada di wilayah Provinsi Cordoba saat baru berusia empat tahun. Sementara Messi yang dilahirkan pada 24 Juni 1987 tinggal lebih lama di Rosario daripada Che. Messi baru meninggalkan Rosario setelah didiagnosis menderita penyakit kekurangan hormon pertumbuhan yang membuat posturnya sukar berkembang saat berusia sebelas tahun. Bersama orang tuanya, Messi hijrah ke Barcelona yang menyanggupi membiayai pengobatan dan terapi yang dibutuhkan.

Jika penyakit kekurangan hormon membuat Messi meninggalkan Rosario dan Argentina, penyakit asma yang diderita Che membuatnya tertarik pada bidang kedokteran dan akhirnya mengambil studi kedokteran di bangku kuliah. Ketertarikannya pada dunia kedokteran membuat Che muda memutuskan untuk melakukan perjalanan legendaris mengelilingi Amerika Latin. Dalam dua seri perjalanan mengelilingi Amerika Latin itulah, Che menjumpai banyak realitas sosial yang pahit. Selepas lulus studi kedokteran, Che memutuskan untuk bekerja di Guatemala dan di sanalah awal karir revolusionernya dimulai.

Sejak itu, sebagaimana Messi, lelaki yang kini dijuluki El Comandante tersebut menghabiskan nyaris seluruh sisa hidupnya di luar negeri. Bukan untuk bekerja sebagai dokter atau sekadar bertualang, melainkan menjadi gerilyawan penuh waktu yang membantu perjuangan para revolusioner di berbagai negara untuk menumbangkan rezim-rezim militer nan diktator. Karya monumental Che sebagai gerilyawan tentu saja adalah ikut membantu Fidel Castro dkk menumbangkan rezim militer yang dipimpin Jenderal Fulgencio Batista.

Ini pula yang terjadi pada Messi. Bermain untuk Barcelona berarti ikut membela panji-panji Catalan, bangsa yang sering dianggap atau menganggap dirinya sebagai korban penindasan Spanyol, khususnya rezim fasis Jenderal Franco. Bagi bangsa Catalan, FC Barcelona bukan sekadar klub sepak bola, melainkan juga representasi identitas suatu bangsa yang tertindas dan ditindas. Inilah yang melatarbelakangi klaim bangsa Catalan bahwa Barcelona adalah mas que un club (bukan sekadar klub sepak bola). Bukan sekali dua kali pula di Nou Camp, kandang Barcelona, terbentang spanduk bertulisan ”Catalonia Is Not Spain”.

Begitu Messi muncul berseragam Barcelona, dengan cepat tim ini mengambil alih dominasi Real Madrid (klub yang selalu mereka identifikasi sebagai ”pusat yang menindas”). Sejak kemunculan Messi di tim utama Barcelona pada 2004, tercatat Barcelona sudah meraih 6 gelar juara La Liga dan 3 gelar juara Liga Champions.

Dalam istilah lain: Messi berhasil membantu bangsa Catalonia ”memerdekakan” diri dari pusat yang menindas –sebagaimana Che membantu Castro dkk membebaskan rakyat Kuba dari penindasan rezim Fulgencio Batista.

Hanya, kembali ke lelucon yang saya singgung di paragraf pembuka, Che dan Messi ”diledek” tidak pernah memberikan kontribusi yang berarti bagi tanah airnya. Sampai wafatnya di Bolivia pada 1967, dalam perjuangan gerilya membantu kelompok revolusioner, Che nyaris tak berkiprah di Argentina.

Begitu juga Messi: dia dianggap belum memberikan sesuatu yang berharga bagi Argentina. Sesuatu yang berharga bagi sepak bola Argentina tentu bukan trofi di level junior seperti emas Olimpiade 2008 atau juara dunia U-20 pada 2005. Melainkan sesuatu yang setara dengan sejarah hebat sepak bola Argentina: trofi Piala Dunia. Bahkan, mempersembahkan trofi Copa America sekalipun Messi belum sanggup. Dalam dua gelaran Piala Dunia yang pernah diikuti Messi, 2006 dan 2010, jangankan membawa Argentina juara, Messi benar-benar redup dan bahkan hanya bisa mencetak satu gol!

Banyak yang menganggap Messi tidak pernah bermain optimal untuk negaranya dibanding saat memperkuat ”timnas Catalonia”. Apa yang sudah diberikan dan didapatkan Messi selama di Barcelona dianggap tak sebanding dengan kontribusinya untuk Argentina. Ada semacam rasa cemburu: kenapa di Barcelona dia begitu getol mempersembahkan trofi, sedangkan untuk negaranya sendiri tidak?

Dan, di hadapan perkara untuk memberikan trofi besar bagi tanah airnya, tidak bisa tidak Messi akan selalu dibandingkan dengan pendahulunya: Diego Armando Maradona. Selamanya Maradona akan dikenang dan menjadi pahlawan Argentina bukan semata karena skill dan kemampuannya, melainkan juga karena hal sederhana yang terasa begitu sulit diraih Messi selama ini: memimpin dan membawa Argentina menjadi juara dunia.

Sudah menjadi legenda sekaligus cerita rakyat di Argentina bagaimana Maradona nyaris sendirian memberikan gelar juara dunia 1986. Maradona memberikan segala yang dia punya, baik dengan cara yang amat indah (seperti gol solo run ke gawang Inggris di perempat final Piala Dunia 1986 atau umpan luar biasa mengejutkan yang mengawali gol Jorge Burruchaga yang jadi penentu kemenangan di final 1986 vs Jerman Barat) maupun cara yang begitu licik (mencetak gol dengan tangan ke gawang Inggris).

Sepanjang gelaran Piala Dunia 1986 itu, Argentina melalui tujuh pertandingan. Maradona bermain di semua pertandingan, menjadi pemain yang paling banyak dilanggar lawan, menjadi pemain yang paling banyak berhasil melewati lawan. Sepanjang turnamen di Meksiko itu, Maradona mencetak 5 gol dan 5 assist.

Semua kombinasi tersebut tidak hanya menjadikan Maradona pemain terbaik di Meksiko 1986, tapi juga sering diakui sebagai pemain yang nyaris sendirian menjuarai Piala Dunia (mungkin bisa dibandingkan dengan Garrincha di Piala Dunia 1962). Itulah yang membuat Maradona, sebesar apa pun dia membuat ulah dan kontroversi, akan selalu dikenang dalam memori kolektif bangsa Argentina.

Tidak ada yang meragukan kualitas Messi. Beberapa kalangan bahkan menganggap skill Messi lebih baik daripada Maradona. Tapi, tanpa trofi Piala Dunia, Messi akan selalu berada di bawah bayang-bayang Maradona. Bukan dalam soal skill dan kemampuan mengolah si kulit bundar, namun dalam soal posisinya di memori kolektif bangsa Negeri Tango.

Messi selangkah lagi bisa sejajar dengan Maradona. Jika berhasil membawa Argentina mengalahkan Jerman di final Piala Dunia 2014, Messi bisa merasuk ke dalam memori kolektif bangsanya sebagai pemain kedua Argentina yang nyaris sendirian memenangkan trofi Piala Dunia.

Dari enam laga yang sudah dilalui, Argentina baru mencetak tujuh gol (di waktu normal). Messi sendiri mencetak separo lebih dari semua gol Argentina itu. Tercatat, dia sudah mencetak 4 gol dan 1 assist. Semua gol Messi itu menjadi penentu kemenangan Argentina (3 laga di babak grup dan 1 laga vs Swiss di perdelapan final). Siapa pun yang mengikuti laga-laga Argentina tahu, tanpa Messi, tim berjuluk Albiceleste ini bahkan tak akan bisa mengalahkan tim ”ecek-ecek” Aljazair.

Semua itu hanya bisa disempurnakan jika Argentina mengalahkan Jerman di final. Jika itu terjadi, Messi akan menjadi abadi dalam memori bangsa Argentina dan dengan itu pula dia menemani Maradona di keabadian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar