Rabu, 16 Juli 2014

Menentukan Presiden Terpilih

                                  Menentukan Presiden Terpilih

Denny Indrayana  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS,  15 Juli 2014
                                                


Indonesia memasuki fase penting. Insya Allah tidak genting, terkait penentuan presiden terpilih 2014. Ketika hanya ada dua pasang calon presiden-calon wakil presiden, kampanye yang sangat dinamis, terbelah duanya dukungan media, khususnya televisi berita; sebenarnya tidak sulit memprediksi bahwa perbedaan perolehan suara yang ada akan sangat tipis.

Sayangnya, di tengah kompetisi yang ketat demikian, hitung cepat (quick count) yang dilakukan berbagai lembaga survei juga terbelah dua, padahal seharusnya tidak. Dengan metodologi statistik yang harusnya sama, hitung cepat sewajibnya menghasilkan prediksi hitungan suara yang tak berbeda.

Lima tahapan

Yang juga tidak boleh berbeda adalah: kesabaran revolusioner kita untuk menunggu hasil akhir Pilpres 2014. Mengacu kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tahapan dan Jadwal Pilpres 2014, setelah pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Juli yang lalu, mungkin masih ada lima tahapan lagi untuk Indonesia betul-betul mempunyai presiden terpilih.

Tahapan-tahapan tersebut: rekapitulasi penghitungan suara (10-22 Juli), penetapan hasil pilpres oleh KPU (21-22 Juli), perselisihan hasil pilpres melalui putusan Mahkamah Konstitusi (4-21 Agustus), penetapan hasil pilpres oleh KPU setelah putusan MK (22-24 Agustus 2014), dan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih (20 Oktober). Kita patut bersyukur karena hanya ada dua pasangan calon setelah putusan Mahkamah Konstitusi No 50/PUU-XII/2014, tak perlu ada pilpres putaran kedua, yang kalau ada tentunya membuat proses lebih lama.

Meski tanpa pilpres putaran kedua, melihat lima tahapan yang masih panjang demikian, tentu kita berdoa, presiden terpilih sudah dapat diketahui dalam tahapan yang lebih pendek, yaitu setelah penetapan hasil pilpres oleh KPU pada 22 Juli, tanpa harus ada perselisihan hasil pilpres di MK.

Hal demikian tentu adalah kondisi paling ideal. Itu artinya, proses rekapitulasi pada semua tingkatan berjalan lancar dan adil, tanpa masalah, tanpa kecurangan, sehingga hasil akhir perolehan suara yang ditetapkan KPU dapat diterima oleh kedua pasangan. Itu maknanya, pasangan yang kalah akan berjiwa besar dan legawa mengakui keunggulan pasangan capres lainnya sebagai pemenang. Hal demikian tentu bukanlah hal yang tidak mungkin. Dalam beberapa kesempatan, pasangan capres telah secara terbuka mengatakan bukan hanya siap untuk menang, tetapi juga siap untuk kalah.

Pada 22 Juli adalah kesempatan untuk konsisten melaksanakan janji siap kalah tersebut. Tentunya, jika rekapitulasi yang dilaksanakan KPU dilakukan dengan profesional, jujur, dan adil. Untuk itulah, kita harus ikut aktif mengawasi dan membantu KPU agar pelaksanaan rekapitulasi betul-betul berjalan tanpa intervensi dan kecurangan.

Kebesaran jiwa kandidat yang menerima kekalahan dalam kontestasi pemilihan pemimpin negeri ini bukanlah ahistoris. Meskipun jarang terjadi, kita masih ingat dan mencatat dengan tinta emas bagaimana Fauzi Bowo dengan penuh kebesaran jiwa menerima hasil rekapitulasi KPU DKI Jakarta, bahkan hasil quick count, dan mengakui kekalahannya dari Joko Widodo. Dengan demikian, Pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012 tidak perlu melalui tahapan perselisihan hasil pemilu di MK.

Sengketa di MK

Saya sungguh berdoa agar sejarah demikian kembali berulang pada Pilpres 2014. Akan sangat melegakan dan membanggakan ketika KPU telah bekerja melakukan rekapitulasi suara secara profesional, jujur, dan adil, pihak yang kalah legawa menerima dan pihak yang menang tidak jemawa tertawa.

Jika skenario ini yang terjadi, potensi konflik dapat lebih mudah dicegah dan rekonsiliasi di tengah warga bangsa setelah Pilpres 2014 dapat segera dimulai.

Namun, sayangnya, kita juga harus bersiap-siap jika ternyata penetapan suara dan pemenang pilpres oleh KPU pada 22 Juli tidak diterima salah satu pasangan capres. Maka, penentuan Presiden RI terpilih, sesuai aturan konstitusi kita, akan ditentukan oleh sembilan hakim konstitusi, atau lebih tepatnya, oleh minimal lima hakim konstitusi. Berdasarkan skenario ini, persidangan-persidangan di MK harus pula kita kawal agar berjalan dengan adil.

Yang harus kita pastikan adalah: putusan MK wajib sejalan dengan daulat rakyat yang telah diberikan pada 9 Juli 2014. Karena itu, sekali lagi, sangat penting untuk memastikan rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU adalah benar sehingga MK lebih mudah memutuskan, yaitu cukup dengan menguatkan penetapan pemenang pilpres berdasarkan hasil rekapitulasi 22 Juli. Tentu, akan sangat berbahaya jika putusan MK berbeda dengan rekapitulasi KPU yang dilakukan dengan akurat.

Sebaliknya, jika rekapitulasi KPU 22 Juli tidak tepat serta terdapat kecurangan yang memang berpengaruh pada penentuan pemenang pilpres, MK wajib memutuskan berbeda dengan hasil rekapitulasi KPU. Namun, skenario ini mengandung potensi konflik yang lebih besar, di samping juga sangat sulit pembuktiannya di dalam persidangan di MK yang dibatasi waktu hanya 14 hari kerja untuk memutuskan (Pasal 201 Ayat (3) UU Pilpres).

Dengan uraian di atas, perlu kembali ditegaskan bahwa penentuan presiden terpilih 2014 akan sangat ditentukan oleh kinerja rekapitulasi suara di KPU dan mungkin persidangan di MK. Semoga saja, perselisihan hasil suara di MK tidak terjadi karena kinerja profesional KPU diterima dengan jiwa besar oleh pasangan capres yang kalah. Jadi, pada 22 Juli kita dapat mengucapkan selamat datang kepada presiden terpilih, juga terima kasih kepada capres yang rela menerima kekalahan. Jika tidak, kita terpaksa harus menunggu lebih lama lagi hingga ada putusan MK pada 21 Agustus (Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014).

Akhirnya, mari kita terus berikhtiar dan berdoa, semoga pemungutan suara yang telah berjalan lancar pada 9 Juli dapat berlanjut dengan proses yang jujur, adil, dan damai hingga terpilihnya Presiden RI periode 2014-2019. Mari kita buktikan bahwa demokrasi di Indonesia sudah makin dewasa dan pada 2014 kita mampu menghentikan kutukan sejarah lama serta melahirkan sejarah baru peralihan kepresidenan secara lebih damai dan demokratis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar