Rabu, 16 Juli 2014

Kedaulatan Rakyat Bukan Sekadar Angka

                Kedaulatan Rakyat Bukan Sekadar Angka

J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS,  15 Juli 2014
                                                


Trajektori dinamika politik Indonesia pasca reformasi mengalami tingkat pendangkalan yang pesat sehingga demokrasi yang maknanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan otentik cukup diganti dengan sederet angka. Oleh sebab itu, medan politik sesak dengan politisi yang memburu jumlah perolehan suara dengan segala cara. Kedaulatan rakyat ditukar dengan kertas berangka (mata uang), bukan karya nyata dari sebuah gagasan atau cita-cita. Mereka para pemuja angka, menganggap angka sebagai barang keramat yang dapat mengubah kehidupan mereka secara tiba-tiba menjadi bergelimang harta dan kuasa. Semakin besar angka yang diperoleh semakin besar kekuasaannya.

Dalam persaingan yang sengit didorong oleh semangat dan praktik transaksi kepentingan, pertarungan politik yang seharusnya beradab menjadi persaingan merebut perolehan angka dengan saling membinasakan. Lawan politik yang seharusnya menjadi partner dalam memilih kebijakan paling baik bagi kemaslahatan rakyat dianggap sebagai musuh yang harus dilibas.

Ideologi pragmatisme yang berlebihan serta mengagungkan dan memuliakan materi bermuara kepada tindakan merayakan kedangkalan. Fenomena yang oleh Frank Furedi (2006) dalam bukunya, Where Have All the Intellectuals Gone?: Confronting 21st Century Philistinism, disebut philistinism: perilaku, kebiasaan, atau watak yang cenderung merendahkan etika dan budaya, anti intelektual, mengabaikan keindahan dan estetika, pongah, tetapi berwawasan sempit. Dalam perspektif ini angka lebih mulia daripada manusia. Kedaulatan rakyat seakan lumpuh oleh kedaulatan uang (Khrematokrasi, Setya Wibowo, A; Basis, nomor 05-06, 2014). Membiarkan pemuliaan kedangkalan berarti menyediakan jalan lapang menuju negara otoritarian atau anarki sosial.

Ekspektasi pemilih dapat ditelusuri melalui perdebatan tentang studi perilaku memilih (voting behaviour). Terdapat tiga mazhab berbeda. Pertama, aliran sosiologi, biasa disebut paham Columbia; kedua, mazhab psikologi, biasa disebut aliran Michigan; dan ketiga, teori pilihan rasional (rational choice theory). Oleh sebab itu, alasan memilih sangat beragam: sentimen, persepsi, kalkulasi rasional, intuisi, dan lain-lain. Namun, perbedaan tersebut disatukan oleh satu variabel yang sangat fundamental: harapan pemilih adalah memperoleh kehidupan lebih baik.

Dalam Pilpres 2014, dari 12 pollster yang melakukan hitung cepat, delapan lembaga menghasilkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang; empat yang lain hasilnya Prabowo-Hatta unggul. Persaingan sengit yang dipicu oleh retorika, demagogi, dan agitasi politik dikhawatirkan dapat memproduksi pembela fanatik dan akan memicu konflik di tingkat akar rumput. Sangat disayangkan perdebatan tersebut hanya terbatas pada metodologi dan sumber dana; tidak menyentuh persoalan yang sangat mendasar bahwa di balik angka-angka tersebut, termasuk hasil hitungan suara yang akan diumumkan oleh KPU tanggal 22 Juli 2014, memuat harapan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia untuk segera dapat menikmati hidup sejahtera. Tidak sedikit pemilih yang harus berjalan kaki berkilometer atau medan yang sangat sulit untuk menyampaikan harapan dengan memilih pasangan capres-cawapres pilihannya. Harapan dari pemegang tertinggi kedaulatan.

Pada Pilpres 2014 rakyat harus menjadi pemenang sesungguhnya, siapa pun pasangan capres-cawapres yang memperoleh suara terbanyak. Oleh sebab itu, pilpres bukan pertarungan hidup atau mati untuk merebut kedudukan politik. Maka, pertarungan hancur-hancuran, tiji tibeh (mati siji mati kabeh atau mati satu mati semua), harus disingkirkan jauh-jauh dari niat dan pikiran. Untuk itu, kedua kubu jangan ”girang-girang gumuyu”, mengumbar kegembiraan yang belum pasti terjadi. Sebaiknya, berjiwa kesatria dan mempersiapkan diri menerima dengan ikhlas putusan rakyat.

Bagi pasangan capres-cawapres yang menang, harus selalu ingat bahwa rakyat bukan hanya memerlukan presiden. Rakyat mendambakan pemimpin yang dengan karya nyata dapat menggugah nurani, bukan emosi, seluruh komponen bangsa untuk bangkit dan melakukan perubahan. Selain itu, rakyat juga memerlukan pemimpin yang mempunyai semangat petarung yang pantang menyerah memadamkan orgy korupsi yang telah merusak saraf tubuh negara sehingga eksistensi negara nyaris tiada. Indonesia memerlukan pemimpin yang memanusiakan manusia, bukan menjadikan insan manusia sekadar agregat angka; serta melaksanakan mandat kekuasaan dari rakyat dengan adil, melayani, bijak bestari, dan legawa demi kemaslahatan rakyat. Harapan sangat besar dilimpahkan kepada pasangan capres-cawapres yang akan memenangi kompetisi. Tidak berlebihan kalau para pelaku yang memanipulasi data pilpres adalah pelaku kejahatan luar biasa.

Bulan Ramadhan yang suci dan penuh berkah ini merupakan kesempatan sangat baik untuk melakukan ijtihad, terutama berkenaan dengan menata hidup bersama melalui proses kompetisi politik agar menghasilkan pemegang kekuasaan yang amanah. Rivalitas politik adalah bagian dari mengukir peradaban kekuasaan yang memuliakan dan mendahulukan kepentingan rakyat. Kalah atau menang harus dikembalikan kepada pemilik kedaulatan, yaitu rakyat. Kalau setiap kompetisi politik selalu menuju pada kemenangan rakyat, kualitas kehidupan politik dapat dipastikan semakin menyuburkan budaya politik yang beradab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar