Kamis, 17 Juli 2014

Menakar Suksesi Kurikulum 2013

                             Menakar Suksesi Kurikulum 2013

Nanang Martono  ;   Dosen Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto 
HALUAN,  16 Juli 2014
                                                


Bertepatan de­ngan awal tahun pelajaran 2013-2014, pemerintah bertekad bulat mene­rapkan kurikulum 2013 (K13). Di sisi lain, penerapan kuri­kulum baru ini masih menyi­sakan berbagai kontroversi.

Tidak siap

Banyak pihak menyang­sikan keberhasilan penerapan K13 di tahun ajaran ini. Keyakinan Mendikbud yang menjamin distribusi buku ajar K13 dan program pelatihan guru yang selesai sebelum minggu ke-2 Juli ini pun kembali mentah.
Terbukti beberapa daerah belum menerima buku ajar K13 yang notabene bisa dipe­roleh secara cuma-cuma untuk setiap sekolah. Jutaan guru sampai saat ini juga belum men­dapatkan jatah untuk mengi­kuti pelatihan K13. Beberapa guru juga baru dilatih beberapa hari sebelum masa tahun ajaran baru dimulai.

Ditambah lagi banyak sekolah yang tidak memiliki kesiapan secara fisik, dari sisi fasilitas dan sumber daya lainnya.Akibatnya be­berapa sekolah belum siap menerapkan K13 di awal tahun ajaran ini.

Dengan kondisi persiapan yang amburadul tersebut, ada kemungkinan masa depan K13 akan mengikuti pendahulunya: KBK dan KTSP. Kedua penda­hulu K13 tersebut bernasib sama, diterapkan hanya bebe­rapa tahun saja. Ini disebabkan penyusunan dan penerapannya yang serba instan tanpa kajian dan evaluasi yang mendalam.

Faktor lain, K13 disusun dan diterapkan di masa-masa akhir kepemimpinan SBY. Beberapa bulan lagi, rezim SBY akan diganti oleh kepemimpinan yang baru. Ada kemungkinan, para pejabat menteri di ling­kungan Kemendikbud akan memiliki pemikiran yang baru berkaitan dengan kurikulum dan kebijakan lainnya.

Kontestasi

Setiap kebijakan pemerintah adalah sarat dengan berbagai kepentingan yang menaungi produk kebijakan tersebut. Begitu halnya dengan pelun­curan K13 yang merupakan salah satu produk politik sebuah rezim kepemimpinan.

Pemerintah berkepentingan dengan K13 karena ingin menunjukkan hasil karya nyata. K13 dipandang sebagai instrumen yang mampu me­nun­jukkan keberhasilan kiner­janya. Selain K13, pemerintah juga menggunakan UN (Ujian Nasional) dengan tujuan yang sama. Peningkatan angka kelulusan, selalu diklain sebagai bukti keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Di sisi lain, pemerintah juga berkepentingan untuk meng­habiskan anggaran sekian triliun untuk menyukseskan K13. Kita belum tahu apakah ada upaya memainkan angga­ran K13 karena belum aduan berkenaan dengan dugaan korupsi di balik persiapan K13 ini. Namun yang jelas, mega­proyek K13 telah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.

Sebenarnya penggantian kurikulum bukanlah agenda mendesak yang harus dilak-sanakan pemerintah. Alokasi dana megaproyek ini seharus­nya dialokasikan untuk pembe­nahan fasilitas pendidikan, atau untuk peningkatan kualitas dan kinerja guru. Bagaimanapun baiknya sebuah kurikulum, keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh para pelaku di tingkat bawah, yaitu guru.

Masih banyak guru yang lebih suka menggunakan metode lama, meskipun mereka berbaju kurikulum baru yang dirancang sangat modern. Ini menunjukkan masih banyak guru yang tidak mau mengu­bah kebiasaan­me­nga­jarnya. Kemen­dikbud se­ha­rus­nya fokus pada kondisi ini dari­pada menawarkan kuriku­lum baru yang disusun sangat instan. Memperbaiki kinerja guru tidak cukup dengan memberikan tambahan insentif melalui sertifikasi guru.

Sejarah

Penerapan kurikulum di Indonesia relatif berlangsung dalam beberapa tahun saja. Sejak masa kemerdekaan, tercatat ada beberapa produk kurikulum: kurikulum 1947, kurikulum 1952, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kuri­kulum 1984, kurikulum 1994, KBK 2004, KTSP 2006.

Masa pergantian kurikulum tersebut semakin singkat pada masa reformasi. Pada masa Orde Baru, pergantian kuri­kulum relatif lama, 10 tahun sekali. KBK hanya berlangsung 3 sampai 4 tahun, KTSP hanya 5 sampai 6 tahun. Apakah dalam waktu singkat tersebut hasil implementasi sebuah kurikulum sudah terlihat? Tentu saja tidak.

Hasil implementasi kuriku­lum dapat dilihat ketika ada evaluasi pada lulusan yang menggunakan kurikulum tersebut. Ini dapat diketahui antara 5 sam­pai 10 tahun. Maka, bila im­ple­mentasi sebuah kurikulum ‘dirasa gagal’, maka tidak serta merta kurikulum selalu men­jadi produk yang salah. Ke­mung­­kinan ada faktor lain yang tidak mampu menye­suaikan diri, misalnya guru dan faktor pendukung proses pembelajaran lainnya. Akhirnya, bila sebuah kurikulum digu­nakan sebagai produk politik, maka imple­mentasinya hanya akan mengi­kuti pihak-pihak yang meng­hasilkan produk tersebut. Akibatnya, ganti menteri akan diikuti penggantian kuri­kulum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar