Lembaga
Pendidikan Haramkan Rokok
S Sahala Tua Saragih ;
Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Universitas Padjajaran
|
SINAR
HARAPAN, 07 Juli 2014
Akal bulus pengusaha rokok di republik ini semakin lama semakin
agresif, intensif, dan cerdas. Berbagai strategi, metode, cara, akal, dan
ilmu mereka halalkan untuk terus meningkatkan jumlah konsumen rokok di negeri
ini. Biaya promosi (termasuk iklan) dan pemasarannya terus ditingkatkan.
Iklan-iklan kreatifnya berupaya keras melumpuhkan logika khalayak. Umumnya,
sasaran empuk industri rokok adalah kaum miskin dan remaja dari keluarga tak
miskin. Dari 75 juta penduduk Indonesia yang tergolong perokok aktif, lebih
dari 60 persen di antaranya tergolong orang miskin, termasuk anak mereka yang
masih kanak-kanak dan remaja.
Menurut Wakil Southeast Asian
Tobacco Control Alliance (Seatca) di Indonesia, Dr Widyastuti Suroyo,
industri rokok menjual efek adiktif kepada remaja sebab hari ini mereka
dianggap pelanggan hari esok. Remaja dan mahasiswa menjadi sumber perokok
pengganti (generasi penerus). "Jika
pelajar tak merokok, industri rokok bangkrut. Karena itu, remaja seolah
menjadi rekrutmen baru," ujar Widyastuti (Okezone.com, 26/5).
Ia mengemukakan, liberalisasi pemasaran rokok di Indonesia menyebabkan
jatuhnya korban perokok baru usia 10-14 tahun. Jumlahnya bahkan meningkat
empat kali lipat, sejak 2001 yang hanya 1 juta perokok muda menjadi 4 juta
pada 2010.
Prevalensi perokok dewasa dan anak-anak meningkat, tekanannya dalam
pendidikan. Sebanyak 70 persen perokok mulai merokok di bawah usia 18 tahun.
Industri rokok jelas bertentangan dengan perlindungan masyarakat.
Kemampuan para pengusaha rokok untuk “mengompaki” pemerintah hingga
kini terbukti sangat jitu. DPR dan presiden boleh terus-menerus membuat
berbagai undang-undang, peraturan, keputusan, dan instruksi tentang
pelarangan atau pembatasan konsumsi rokok, tetapi bagai bunyi peribahasa
lama, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Salah satu bukti konkretnya, hingga kini pemerintah Indonesia tidak mau
meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian
Tembakau atau Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC). Padahal, dulu Indonesia turut aktif menyusun isi
konvensi tersebut.
FCTC merupakan sebuah perjanjian internasional tentang kesehatan
masyarakat sebagai hasil negosiasi 192 negara anggota Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO). FCTC berisi dokumen berbasis bukti ilmiah yang menegaskan,
setiap orang berhak mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya.
Tujuan FCTC adalah melindungi generasi masa kini dan mendatang dari
dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial,
lingkungan, dan ekonomi. FCTC sudah diaksesi atau diratifikasi 177 negara, namun
Indonesia hingga detik ini tak mau mengaksesinya. Anda pasti tahu alasan
pemerintah enggan mengaksesinya. Ini pastilah berkat kepintaran para
pengusaha rokok mengompaki para pejabat tinggi pemerintahan.
Pemerintah juga masih membiarkan (memberlakukan) cukai rokok yang
sangat rendah (hanya 38-40 persen dari harga jual). Akibatnya, harga rokok
sangat murah. Rokok Kamboja, Filipina, dan Indonesia termurah di Asia
Tenggara. Itulah sebabnya kaum miskin, termasuk remaja miskin, mampu
mengonsumsi rokok.
Sebagai perbandingan, di Thailand cukai rokok sudah mencapai 80 persen.
Anehnya, cukai minuman keras di Indonesia mencapai 100 persen. Mengapa
pemerintah tak menetapkan cukai rokok 100 persen juga sehingga rokok menjadi
barang mahal?
Gara-gara ulah pemerintah yang tak mau meneken FCTC, Indonesia menjadi
sorotan tajam para pembicara dan peserta lokakarya regional, ASEAN, tentang
pajak dan perdagangan ilegal tembakau di Manila, Filipina, baru-baru ini.
Indonesia disebut sebagai masalah besar di kawasan ini karena pemerintahnya
tak mau mengaksesi FCTC.
Mengharamkan
Rokok
Dalam situasi buruk ini, apa yang mesti dilakukan? Upaya konkret apa
yang harus ditempuh untuk menyelamatkan generasi muda di republik ini? Kalau
memang pemerintah pusat; termasuk presiden, wakil presiden, dan menteri
kesehatan tak bernyali membatasi pemasaran rokok dan menaikkan cukai
(memahalkan) rokok, kita tentu masih bisa berharap kepada pemerintah daerah
kabupaten dan kota.
Kita berharap DPRD dan bupati/wali kota di setiap daerah mau membuat
peraturan daerah (perda) tentang pelarangan rokok masuk ke lembaga
pendidikan. Ini perlu didukung, didorong, bahkan didesak oleh
organisasi-organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dalam perda itu harus dinyatakan secara tegas, semua lembaga
pendidikan, termasuk lembaga kursus atau bimbingan belajar, dari yang
terendah hingga yang tertinggi harus mengharamkan rokok. Artinya, di sekolah
dan kampus (perguruan tinggi), siapa pun tidak boleh merokok. Dalam sekolah
dan kampus juga dilarang berjualan rokok. Bahkan di sekitar sekolah dan
kampus, kurang lebih 100 meter dari tepi kompleks sekolah/kampus, siapa pun
dilarang berdagang rokok.
Perusahaan rokok juga dilarang menjadi sponsor acara apa pun di sekolah
dan kampus. Selama ini, sering berbagai kegiatan, terutama acara hiburan, di
sekolah (SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan kampus) disponsori perusahaan
rokok. Celakanya, wujud kesponsorannya berupa pembagian rokok secara gratis
kepada para siswa dan mahasiswa. Tak sedikit siswa mulai belajar merokok
setelah memperoleh barang gratis tersebut.
Perguruan tinggi dilarang pula menerima bantuan dari perusahaan rokok
atau yayasan sosial yang dibentuk perusahaan rokok. Selama ini, tak sedikit
mahasiswa yang menerima beasiswa dari perusahaan-perusahaan rokok. Ini
merupakan salah satu realisasi program tanggung jawab sosial perusahaan rokok
yang bersangkutan.
Memang, bisa jadi sebagian di antara penerima beasiswa itu tak merokok.
Namun di mata mereka, citra dan industri rokok sangat baik.
Selain menolak beasiswa, kampus harus menolak bantuan lain, misalnya
biaya penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta hibah peralatan atau
fasilitas kegiatan akademik. Pokoknya, semua lembaga pendidikan wajib
mengharamkan segala sesuatu yang diberikan perusahaan rokok dan yayasan
sosial milik industri rokok.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar