Selasa, 08 Juli 2014

Lembaga Pendidikan Haramkan Rokok

                    Lembaga Pendidikan Haramkan Rokok

S Sahala Tua Saragih  ;   Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Universitas Padjajaran
SINAR HARAPAN,  07 Juli 2014
                                                


Akal bulus pengusaha rokok di republik ini semakin lama semakin agresif, intensif, dan cerdas. Berbagai strategi, metode, cara, akal, dan ilmu mereka halalkan untuk terus meningkatkan jumlah konsumen rokok di negeri ini. Biaya promosi (termasuk iklan) dan pemasarannya terus ditingkatkan. Iklan-iklan kreatifnya berupaya keras melumpuhkan logika khalayak. Umumnya, sasaran empuk industri rokok adalah kaum miskin dan remaja dari keluarga tak miskin. Dari 75 juta penduduk Indonesia yang tergolong perokok aktif, lebih dari 60 persen di antaranya tergolong orang miskin, termasuk anak mereka yang masih kanak-kanak dan remaja.

Menurut Wakil Southeast Asian Tobacco Control Alliance (Seatca) di Indonesia, Dr Widyastuti Suroyo, industri rokok menjual efek adiktif kepada remaja sebab hari ini mereka dianggap pelanggan hari esok. Remaja dan mahasiswa menjadi sumber perokok pengganti (generasi penerus). "Jika pelajar tak merokok, industri rokok bangkrut. Karena itu, remaja seolah menjadi rekrutmen baru," ujar Widyastuti (Okezone.com, 26/5).

Ia mengemukakan, liberalisasi pemasaran rokok di Indonesia menyebabkan jatuhnya korban perokok baru usia 10-14 tahun. Jumlahnya bahkan meningkat empat kali lipat, sejak 2001 yang hanya 1 juta perokok muda menjadi 4 juta pada 2010.

Prevalensi perokok dewasa dan anak-anak meningkat, tekanannya dalam pendidikan. Sebanyak 70 persen perokok mulai merokok di bawah usia 18 tahun. Industri rokok jelas bertentangan dengan perlindungan masyarakat.

Kemampuan para pengusaha rokok untuk “mengompaki” pemerintah hingga kini terbukti sangat jitu. DPR dan presiden boleh terus-menerus membuat berbagai undang-undang, peraturan, keputusan, dan instruksi tentang pelarangan atau pembatasan konsumsi rokok, tetapi bagai bunyi peribahasa lama, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Salah satu bukti konkretnya, hingga kini pemerintah Indonesia tidak mau meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal, dulu Indonesia turut aktif menyusun isi konvensi tersebut.

FCTC merupakan sebuah perjanjian internasional tentang kesehatan masyarakat sebagai hasil negosiasi 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). FCTC berisi dokumen berbasis bukti ilmiah yang menegaskan, setiap orang berhak mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya.

Tujuan FCTC adalah melindungi generasi masa kini dan mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi. FCTC sudah diaksesi atau diratifikasi 177 negara, namun Indonesia hingga detik ini tak mau mengaksesinya. Anda pasti tahu alasan pemerintah enggan mengaksesinya. Ini pastilah berkat kepintaran para pengusaha rokok mengompaki para pejabat tinggi pemerintahan.

Pemerintah juga masih membiarkan (memberlakukan) cukai rokok yang sangat rendah (hanya 38-40 persen dari harga jual). Akibatnya, harga rokok sangat murah. Rokok Kamboja, Filipina, dan Indonesia termurah di Asia Tenggara. Itulah sebabnya kaum miskin, termasuk remaja miskin, mampu mengonsumsi rokok.

Sebagai perbandingan, di Thailand cukai rokok sudah mencapai 80 persen. Anehnya, cukai minuman keras di Indonesia mencapai 100 persen. Mengapa pemerintah tak menetapkan cukai rokok 100 persen juga sehingga rokok menjadi barang mahal?

Gara-gara ulah pemerintah yang tak mau meneken FCTC, Indonesia menjadi sorotan tajam para pembicara dan peserta lokakarya regional, ASEAN, tentang pajak dan perdagangan ilegal tembakau di Manila, Filipina, baru-baru ini. Indonesia disebut sebagai masalah besar di kawasan ini karena pemerintahnya tak mau mengaksesi FCTC.

Mengharamkan Rokok

Dalam situasi buruk ini, apa yang mesti dilakukan? Upaya konkret apa yang harus ditempuh untuk menyelamatkan generasi muda di republik ini? Kalau memang pemerintah pusat; termasuk presiden, wakil presiden, dan menteri kesehatan tak bernyali membatasi pemasaran rokok dan menaikkan cukai (memahalkan) rokok, kita tentu masih bisa berharap kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota.

Kita berharap DPRD dan bupati/wali kota di setiap daerah mau membuat peraturan daerah (perda) tentang pelarangan rokok masuk ke lembaga pendidikan. Ini perlu didukung, didorong, bahkan didesak oleh organisasi-organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dalam perda itu harus dinyatakan secara tegas, semua lembaga pendidikan, termasuk lembaga kursus atau bimbingan belajar, dari yang terendah hingga yang tertinggi harus mengharamkan rokok. Artinya, di sekolah dan kampus (perguruan tinggi), siapa pun tidak boleh merokok. Dalam sekolah dan kampus juga dilarang berjualan rokok. Bahkan di sekitar sekolah dan kampus, kurang lebih 100 meter dari tepi kompleks sekolah/kampus, siapa pun dilarang berdagang rokok.

Perusahaan rokok juga dilarang menjadi sponsor acara apa pun di sekolah dan kampus. Selama ini, sering berbagai kegiatan, terutama acara hiburan, di sekolah (SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan kampus) disponsori perusahaan rokok. Celakanya, wujud kesponsorannya berupa pembagian rokok secara gratis kepada para siswa dan mahasiswa. Tak sedikit siswa mulai belajar merokok setelah memperoleh barang gratis tersebut.

Perguruan tinggi dilarang pula menerima bantuan dari perusahaan rokok atau yayasan sosial yang dibentuk perusahaan rokok. Selama ini, tak sedikit mahasiswa yang menerima beasiswa dari perusahaan-perusahaan rokok. Ini merupakan salah satu realisasi program tanggung jawab sosial perusahaan rokok yang bersangkutan.

Memang, bisa jadi sebagian di antara penerima beasiswa itu tak merokok. Namun di mata mereka, citra dan industri rokok sangat baik.

Selain menolak beasiswa, kampus harus menolak bantuan lain, misalnya biaya penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta hibah peralatan atau fasilitas kegiatan akademik. Pokoknya, semua lembaga pendidikan wajib mengharamkan segala sesuatu yang diberikan perusahaan rokok dan yayasan sosial milik industri rokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar