Senin, 14 Juli 2014

Kesiapan Psikoedukatif Kurikulum

                           Kesiapan Psikoedukatif Kurikulum

Ari Kristianawati  ;   Guru SMANegeri 1 Sragen
SUARA MERDEKA,  14 Juli 2014
                                                


Menjelang tahun ajaran 2014/2015, Kemdikbud secara spartan menyelenggarakan sosialisasi dan penyiapan SDM dalam rangka penerapan Kurikulum 2013.

Kegiatan tersebut merupakan gerak dialektis keprograman untuk memantapkan tahapan sukses kerja implementasi kurikulum yang memiliki filosofi humaniora dan pembangunan karakter anak didik.

Kurikulum 2013 merupakan transformasi kurikulum pendidikan dengan memperhatikan visi pendidikan nasional dan juga berdasarkan kebutuhan objektif pendidikan yang mampu mengakselerasikan standar kualitas pendidikan, dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah. Kurikulum baru tersebut menekankan pembangunan karakter anak didik yang berdimensi sosio antroporeligius. Salah satu komponen penting dalam proyeksi keberhasilan kurikulum tersebut adalah guru (pendidik).

Guru yang menjadi subjek pembelajaran, idealnya meresapi substansi kurikulum dan mampu melaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar di ruang kelas. Kunci sukses penerapan kurikulum dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika guru mampu menjadi ’’penerjemah’’ kurikulum dalam penyampaian materi ajar. Fungsi penting guru dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 ditentukan oleh beberapa faktor yang mendukung.

Pertama; kesiapan infrastruktur pembelajaran di sekolah. Perlu menyiapkan infrastruktur dalam dimensi materi ajar, sarana pembelajaran, ketercukupan waktu pembelajaran, dan target capaian pembelajaran yang memperhatikan kondisi objektif serta jika memungkinkan mengadopsi nilai kearifan lokal dalam pemahaman pendidikan lingkungan. Kedua; kompetensi guru. Kompetensi guru dalam mengaktualisasikan kurikulum baru tersebut harus sesuai dengan disiplin keilmuan dan orientasi penyampaian ilmu/bidang studi.

Kompetensi guru ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya goodwill guru untuk senantiasa belajar mengembangkan pengetahuan terkait dengan pendidikan. Ketiga; pendelegasian hak otonomi bagi guru sebagai tenaga edukatif untuk mengembangkan kreativitas keilmuan dan pembelajaran.

Guru sudah waktunya diberikan hak otonom untuk menciptakan strategi pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan pada momen aktual pembelajaran. Yang paling penting saat ini di tengah situasi niscaya dan mendesak (conditio sine qua non) adalah kesiapan psikoedukatif dalam menyongsong pemberlakukan Kurikulum 2013 secara optimal. Kesiapan psikoedukatif menyentuh posisi atau eksistensi guru, siswa, birokrasi sekolah, dan birokrasi pendidikan.

Adapun kesiapan psikoedukatif bagi siswa adalah mereka arus mulai siap menerima input pembelajaran. Mereka juga harus aktif menggali ilmu pengetahuan dan materi pelajaran dari lini ruang kelas, lingkungan sekolah hingga di luar sekolah. Hakikat Kurikulum 2013 adalah pembangunan karakter siswa yang cerdas, inovatif, dan kreatif.

Kesiapan psikoedukatif bagi guru adalah memantapkan guru sebagai “pamong kurikulum” yang artinya ia akan menjadi subjek pelaksana pembelajaran di ruang kelas dan sekolah. Guru bisa mengembangkan potensi diri untuk merintis pembelajaran inovatif melalui kegiatan kerja intelektual, seperti menulis bahan ajar, membuat rencana pembelajaran dan sebagainya.

Perangkat Teknis

Sementara bagi pelaku birokrasi sekolah dan birokraasi pendidikan, harus siap menyiapkan perangkat teknis dan perangkat organik pendidikan. Jangan sampai pelaksanakaan kurikulum baru tersebut hanya menjadi terget proyek anggaran minus orientasi. Kurikulum tersebut menjadi payung keprograman dan penyusunan kegiatan pendukung sistem yang dilaksanakan birokrasi secara reguler dan terukur.

Diperlukan langkah dan kerja bersama guna mengakselerasi keberhasilan pemberlakuan Kurikulum 2013 sehingga pendidikan nasional menemukan titik untuk berada dalam jalur kompetensi pendidikan yang siap berkompetisi di percaturann global. Kesiapan psikoedukatif semua pemangku kepentingan pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah menjadi kata kunci keberhasilan pelaksanaannya. ●


k me3�ai�n' �� psikologis dan sosial sehingga mengganggu perkembangan potensi dirinya. ●



ma Per�(a �n' ��:p>


Mereka nyaris sempurna tampil sebagai ilmuwan profesional dalam mencari kebenaran dan objektivitas. Namun jangan kaget ketika ilmuwan tampil sebagai perseorangan dengan berbagai kepentingan, terlibat dalam proses suksesi kelembagaan, seperti pemilihan rektor dan sebagainya. Tiba-tiba saja mereka mengubah diri jadi insan politik dengan berbagai karakteristik. Misal membentuk kelompok-kelompok kepentingan untuk memenangkan tujuan politik. Nyaris sefasih politikus yang bekerja dalam lembaga politik.

Mereka juga kasak-kusuk ke atas dalam rangka menemukan legalitas ataupun legitimasi . Tak lupa membangun kedekatan dengan kelompok mahasiswa sebagai pressure group. Selain itu membangun citra negatif rival. Bahkan kalau perlu menempuh upaya hukum atau mengadu kepada pejabat hukum. ●


�+p<�n' ��> st�3'o�n' ��3.0pt;line-height:150%;font-family: "Arial","sans-serif";mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-bidi-font-weight: bold'> 

Suasana kompetitif, adu strategi, bahkan rivalitas destruktif yang memicu pecahnya konflik terpendam di grass roots membuat politik perebutan kekuasaan menjadi prestise, harga mati, tanpa menghargai prosesnya. Pola rivalitas inilah yang terbawa dalam atmosfer parlemen sehingga muncul keinginan kubu kontra untuk menjegal penguasaan suara di DPR oleh PDI-P lewat pembatasan syarat otomatis posisi ketua DPR.

Dengan begini, segera terlihat bahwa bukan semangat demokratislah yang melandasi revisi syarat pemilihan ketua DPR, tetapi semata-mata semangat perseteruan dan dendam politik yang membuncah dan membunuh demokrasi tanpa pertimbangan rasional. Bahayanya, mentalitas seperti ini sulit dihindari dan terus menjadi kultur laten bagi para politisi dalam interaksi-interaksi kebijakan, terlebih jika yang digodok agenda yang menyangkut hidup mati rakyat.

Selain itu, sulit dimengerti dasar penghapusan ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan, khususnya terkait dengan AKD. Ini seperti memperunyam manifestasi kesetaraan politik perempuan di parlemen. Padahal sebelumnya, sudah disepakati representasi perempuan sebagai bagian dari penguatan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk lewat kebijakan afirmatif kuota 30 persen.

Berbagai persoalan ketidakadilan dan kemiskinan yang menyandera bangsa ini antara lain disumbang ketimpangan peran dan penguasaan hak ekososbud antara laki-laki dan perempuan. Jangan-jangan demokrasi keadilan dan representatif di tangan DPR periode baru nanti justru mundur menakutkan hanya karena makin awetnya benturan politik kompromistik yang bersifat pragmatis dan jauh dari penggenapan kehendak publik.

Inilah poin-poin rawan yang bakal mengancam demokrasi ke depan. Semuanya makin runyam ketika faksionalisasi politik yang bersumber pada atmosfer kompetisi pemilu legislatif dan pilpres lalu terus terpelihara. Politik saling mengancing dukungan bakal terjadi dalam lima tahun ke depan. Semuanya butuh kehendak politik untuk keluar dari kebekuan dengan komitmen bersama membangun iklim politik rekonsiliatif, kerja sama berkualitas dan konstruktif bagi penghormatan hak daulat politik rakyat. Semoga pengajuan revisi RUU MD3 ke MK nantinya bisa memberi hasil positif bagi kebangkitan demokrasi dan parlemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar