Etika
(Komunikasi) Politik
William
Chang ; Pengajar Etika Sosial
di STIE Widya Dharma, Pontianak
|
KOMPAS,
30 Juni 2014
MESKI semua pihak sudah
menyerukan kampanye bersih dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan
pentingnya berkampanye secara etis, kampanye hitam masih saja bermunculan.
Hampir setiap hari muncul informasi buruk atau iklan yang memojokkan,
terutama terhadap pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Saling mengejek dan menyindir
membuat orang jadi bermusuhan. Sangat terasa degradasi sikap saling
menghargai dan menghormati sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang
menantikan presiden-wakil presiden yang nasionalis, bersih, dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat.
Haruskah keretakan sosial muncul
dalam seluruh proses demokrasi menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014?
Bukankah gaya retorika sarkastik hanya akan melahirkan konflik laten di
kalangan parpol dan masyarakat akar rumput?
Antonio Pasquali dalam The Moral Dimension of Communicating
(1997) menekankan pentingnya perbendaharaan kata dalam dunia komunikasi
(politik), terutama dalam masyarakat majemuk. Prasyarat ketepatan semantik
amat diperlukan dalam proses mengusahakan moralitas baru komunikasi.
Khazanah kata-kata politik
acapkali dipelesetkan dan diperalat pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Badan politik dan lembaga-lembaga legal dicegah supaya tidak menghakimi salah
satu segmen tubuh sosial.
Dalam konteks persaingan politik
ini, keberadaban politik sangat diperlukan. Peran ketiga pilar nilai dasar
kebenaran (epistemologi), kebaikan (etika), dan keindahan (estetika) termasuk
asas hakiki keberadaban manusia. Integritas ketiga unsur ini menunjukkan
harmoni internal dalam hidup sosial, politik, agama, kebudayaan, dan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat majemuk, peran ketiga disiplin ini justru akan
memperkokoh kebersamaan.
Jika salah satu batu sendi
(kebenaran, kebaikan, dan keindahan) digeser, secara psikologis akan timbul
disintegrasi. Muncul saling tuduh, saling curiga, dan saling menyalahkan.
Kejahatan dalam bentuk tindak kekerasan akan meletus kalau rambu-rambu saling
menghargai dilanggar.
Kontrak sosial
Setiap kampanye pada hakikatnya
adalah kontrak sosial lisan. Sadar atau tidak, setiap juru kampanye (jurkam)
mengungkapkan opini dan aspirasi politik yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam perkataan terkandung janji-janji, harapan, dan penantian yang menuntut
perwujudan.
Prinsip-prinsip dasar sebuah
kontrak sosial baru dalam komunikasi tidak berbeda dari yang termuat dalam
artikel 19 Deklarasi Hak-hak Manusia (1988) atau Perjanjian Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1988). Hak-hak yang sama setiap manusia
dijamin untuk mengemukakan pesan-pesannya melalui sarana komunikasi sosial.
Tidak ada pihak yang bisa atau berhak meneror kelompok lain dalam
menyampaikan aspirasi mereka.
Yang tak terlalaikan adalah
struktur kemajemukan sosial dalam masyarakat yang sedang dihadapi. Segala
bentuk orasi dan pembicaraan yang tidak disiapkan dengan matang bisa
mendatangkan dua kemungkinan, yaitu berkah atau musibah. Dalam era modern
ini, setiap perkataan dan gerak-gerik bisa direkam dan diputar ulang,
sehingga setiap orang bisa melihat dan menyaksikan apa yang dituturkan
sebelumnya.
Sangat penting untuk mengingat
kembali sejarah komunikasi massa dari kalangan militer yang agresif dan
komersial. Yang ditekankan adalah perebutan kekuasaan, pembagian kekuasaan,
sistem komando, pembagian jatah kekayaan alam, dan sistem konflik untuk
melestarikan kekuasaan.
Langgam komunikasi ini secara
tidak sadar akan menjadi sebuah kontrak sosial yang harus dihadapi.
Masalahnya, apakah masyarakat sipil sungguh siap berhadapan dengan seorang
pemimpin yang cenderung mendikte dan menunjuk dengan tongkatnya?
Rakyat menentukan
Etika (komunikasi) politik
mengingatkan bahwa pilpres bukan monopoli parpol. Setiap warga negara
memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan suaranya kepada calon presiden
terbaik, yang bersih, bertanggung jawab, berjiwa manajerial, dan rela mengorbankan
diri demi kepentingan nusa-bangsa.
Suara sejumlah pengurus parpol
tidak dengan sendirinya identik dengan keputusan hati nurani yang bersih dan
tidak sesat. Justru dalam pilpres yang paling berperan adalah setiap warga
negara.
Geopolitik Indonesia adalah
sebuah kemajemukan sosial yang masih dicengkam ketidakpastian hukum. Tumpukan
perkara hukum yang belum diselesaikan dari pusat hingga ke daerah adalah
sebuah pekerjaan rumah raksasa yang perlu segera dituntaskan. Sistem
birokrasi yang ambudarul dan koruptif tidak bisa dipertahankan dalam era yang
kian kritis dan maju. Ketidakpastian hukum membuat rakyat tidak pernah hidup
dan berkarya dengan tenang.
Geopolitik dan etika
(komunikasi) politik saling berhubungan dan langsung menyentuh keberadaan
seluruh rakyat Indonesia. Kebenaran realitas capres dan cawapres seharusnya
disingkapkan kepada khalayak ramai. Masalahnya, apakah masalah-masalah hakiki
dan penting ini sudah dikomunikasikan melalui forum kampanye? Jika belum
disoroti oleh jurkam, ini berarti keetisan komunikasi politik bisa
dipertanyakan.
Dengan mencermati etisitas
(komunikasi) politik, segenap rakyat Indonesia bisa menentukan pilihan yang
tepat. Sejauh manakah permainan kata-kata selama kampanye pilpres itu benar,
jujur, apa adanya, dan sungguh-sungguh bisa diwujudkan demi kesejahteraan
rakyat Indonesia? Benarkah kampanye politik selama ini mencerminkan discretio (kebajikan moral berupa
kebijaksanaan) seorang pemimpin? Apakah yang diteriakkan selama kampanye
pilpres sungguh kebenaran?
Biarlah rakyat yang memilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar