Selasa, 01 Juli 2014

Etika (Komunikasi) Politik

Etika (Komunikasi) Politik

William Chang  ;   Pengajar Etika Sosial di STIE Widya Dharma, Pontianak
KOMPAS, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MESKI semua pihak sudah menyerukan kampanye bersih dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan pentingnya berkampanye secara etis, kampanye hitam masih saja bermunculan. Hampir setiap hari muncul informasi buruk atau iklan yang memojokkan, terutama terhadap pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Saling mengejek dan menyindir membuat orang jadi bermusuhan. Sangat terasa degradasi sikap saling menghargai dan menghormati sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang menantikan presiden-wakil presiden yang nasionalis, bersih, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat.

Haruskah keretakan sosial muncul dalam seluruh proses demokrasi menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014? Bukankah gaya retorika sarkastik hanya akan melahirkan konflik laten di kalangan parpol dan masyarakat akar rumput?
Antonio Pasquali dalam The Moral Dimension of Communicating (1997) menekankan pentingnya perbendaharaan kata dalam dunia komunikasi (politik), terutama dalam masyarakat majemuk. Prasyarat ketepatan semantik amat diperlukan dalam proses mengusahakan moralitas baru komunikasi.

Khazanah kata-kata politik acapkali dipelesetkan dan diperalat pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Badan politik dan lembaga-lembaga legal dicegah supaya tidak menghakimi salah satu segmen tubuh sosial.

Dalam konteks persaingan politik ini, keberadaban politik sangat diperlukan. Peran ketiga pilar nilai dasar kebenaran (epistemologi), kebaikan (etika), dan keindahan (estetika) termasuk asas hakiki keberadaban manusia. Integritas ketiga unsur ini menunjukkan harmoni internal dalam hidup sosial, politik, agama, kebudayaan, dan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat majemuk, peran ketiga disiplin ini justru akan memperkokoh kebersamaan.

Jika salah satu batu sendi (kebenaran, kebaikan, dan keindahan) digeser, secara psikologis akan timbul disintegrasi. Muncul saling tuduh, saling curiga, dan saling menyalahkan. Kejahatan dalam bentuk tindak kekerasan akan meletus kalau rambu-rambu saling menghargai dilanggar.

Kontrak sosial

Setiap kampanye pada hakikatnya adalah kontrak sosial lisan. Sadar atau tidak, setiap juru kampanye (jurkam) mengungkapkan opini dan aspirasi politik yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam perkataan terkandung janji-janji, harapan, dan penantian yang menuntut perwujudan.

Prinsip-prinsip dasar sebuah kontrak sosial baru dalam komunikasi tidak berbeda dari yang termuat dalam artikel 19 Deklarasi Hak-hak Manusia (1988) atau Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1988). Hak-hak yang sama setiap manusia dijamin untuk mengemukakan pesan-pesannya melalui sarana komunikasi sosial. Tidak ada pihak yang bisa atau berhak meneror kelompok lain dalam menyampaikan aspirasi mereka.

Yang tak terlalaikan adalah struktur kemajemukan sosial dalam masyarakat yang sedang dihadapi. Segala bentuk orasi dan pembicaraan yang tidak disiapkan dengan matang bisa mendatangkan dua kemungkinan, yaitu berkah atau musibah. Dalam era modern ini, setiap perkataan dan gerak-gerik bisa direkam dan diputar ulang, sehingga setiap orang bisa melihat dan menyaksikan apa yang dituturkan sebelumnya.

Sangat penting untuk mengingat kembali sejarah komunikasi massa dari kalangan militer yang agresif dan komersial. Yang ditekankan adalah perebutan kekuasaan, pembagian kekuasaan, sistem komando, pembagian jatah kekayaan alam, dan sistem konflik untuk melestarikan kekuasaan.

Langgam komunikasi ini secara tidak sadar akan menjadi sebuah kontrak sosial yang harus dihadapi. Masalahnya, apakah masyarakat sipil sungguh siap berhadapan dengan seorang pemimpin yang cenderung mendikte dan menunjuk dengan tongkatnya?

Rakyat menentukan

Etika (komunikasi) politik mengingatkan bahwa pilpres bukan monopoli parpol. Setiap warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan suaranya kepada calon presiden terbaik, yang bersih, bertanggung jawab, berjiwa manajerial, dan rela mengorbankan diri demi kepentingan nusa-bangsa.
Suara sejumlah pengurus parpol tidak dengan sendirinya identik dengan keputusan hati nurani yang bersih dan tidak sesat. Justru dalam pilpres yang paling berperan adalah setiap warga negara.

Geopolitik Indonesia adalah sebuah kemajemukan sosial yang masih dicengkam ketidakpastian hukum. Tumpukan perkara hukum yang belum diselesaikan dari pusat hingga ke daerah adalah sebuah pekerjaan rumah raksasa yang perlu segera dituntaskan. Sistem birokrasi yang ambudarul dan koruptif tidak bisa dipertahankan dalam era yang kian kritis dan maju. Ketidakpastian hukum membuat rakyat tidak pernah hidup dan berkarya dengan tenang.

Geopolitik dan etika (komunikasi) politik saling berhubungan dan langsung menyentuh keberadaan seluruh rakyat Indonesia. Kebenaran realitas capres dan cawapres seharusnya disingkapkan kepada khalayak ramai. Masalahnya, apakah masalah-masalah hakiki dan penting ini sudah dikomunikasikan melalui forum kampanye? Jika belum disoroti oleh jurkam, ini berarti keetisan komunikasi politik bisa dipertanyakan.

Dengan mencermati etisitas (komunikasi) politik, segenap rakyat Indonesia bisa menentukan pilihan yang tepat. Sejauh manakah permainan kata-kata selama kampanye pilpres itu benar, jujur, apa adanya, dan sungguh-sungguh bisa diwujudkan demi kesejahteraan rakyat Indonesia? Benarkah kampanye politik selama ini mencerminkan discretio (kebajikan moral berupa kebijaksanaan) seorang pemimpin? Apakah yang diteriakkan selama kampanye pilpres sungguh kebenaran?

Biarlah rakyat yang memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar