Jumat, 04 Juli 2014

Ecosophy dan Capres Peduli SDA

                             Ecosophy dan Capres Peduli SDA

Hadi S Alikodra  ;   Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
KORAN SINDO,  02 Juli 2014
                                                


Lingkungan hidup beserta isinya (manusia, hewan, tumbuhan, air, batu, udara, cahaya, dan lain-lain) saling berinteraksi dalam suatu sistem yang dinamis dan kompleks.

Ia membentuk mata rantai kehidupan secara berkesinambungan. Interaksi yang bersifat timbal balik ini diperkenalkan Ernst Haekel, ahli biologi Jerman, tahun 1869 dengan menyebutnya sebagai ekologi. Kini, ekologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungannya secara sistemik dan menyeluruh. Itulah sebabnya para ahli lingkungan memandang perlunya melihat ekologi secara mendalam (deep ecology) & bukan ekologi permukaan yang dangkal (shallow ecology).

Dalam konteks inilah, ukuran- ukuran dimensi ekologi yang selama ini bertumpu pada interaksi organisme dengan lingkungannya perlu disempurnakan dengan pandangan yang lebih luas dan lebih mendalam. Hal ini menjadi sangat penting mengingat; (1) peran sumber daya alam (SDA) dan lingkungan sebagai penyangga sistem kehidupan, (2) semua benda ataupun hidupan di bumi ini mempunyai sifat intrinsic, dan (3) keanekaragaman hayati flora, fauna dan ekosistemnya harus mendapat penghargaan secara layak karena fungsinya yang sangat penting sebagai pendukung kehidupan manusia dan pembangunan. Paham ini dikenal sebagai ekologi dalam (deep ecology).

Arne Naess, seorang filosof dan pendaki gunung berkebangsaan Norwegia, memperkenalkan pendekatan deep ecology ini tahun 1973 setelah ia melakukan penelitian sekaligus penjelajahan alam secara luas. Dalam perkembangannya, ekologi pun telah menjadi landasan utama gerakan konservasi sebagai upaya umat manusia untuk menyelamatkan bumi beserta lingkungan hidupnya dari ancaman kehancuran.

Bumi kini sedang menghadapi krisis ekologi berkepanjangan, sehingga berbagai pihak terus mencari cara-cara baru untuk menyelamatkannya. Salah satu pendekatan yang sedang trendi, adalah pendekatan religius (moral dan spiritual). Pendekatan ini diharapkan mampu menggerakkan hati nurani manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan bumi secara menyeluruh. Gerakan religius itu, kini makin diterima berbagai kalangan, karena pendekatannya lebih menyentuh kepada pertanggungjawaban manusia (Homo sapiens) sebagai khalifah (makhluk yang berakal budi) untuk memberikan penghargaan kepada alam yang telah berjasa memberikan kehidupan.

Naess memperkenalkan pendekatan di atas sebagai paham ecosophy atau paham konservasi (Drengson, 1999). Paham ecosophy ini, tidak hanya memberikan landasan pada tanggung jawab etika dan moral, tapi juga memberikan tempat terhormat pada pengetahuan lokal (local knowledge) yang banyak tersebar di berbagai wilayah di dunia, termasuk Indonesia. Prinsip dasar ecosophy atau deep ecology adalah menyelamatkan SDA dan lingkungannya dari kerusakan dengan mengedepankan moral. Kenapa? Karena hanya moralitas yang mampu menghargai dan menjaga alam demi keberlanjutan umat manusia itu sendiri.

Sebagai umat beragama, kita juga seharusnya meyakini bahwa SDA di planet bumi ini adalah ciptaan Tuhan YME yang diperuntukkan bagi kesejahteraan makhluknya. Di pihak lain, Tuhan juga mengharuskan manusia untuk menjaganya secara bertanggung jawab dari berbagai ancaman kerusakan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi mempunyai kewajiban untuk memelihara sistem ekologi bumi sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan untuk mendukung kehidupan manusia dari generasi ke generasi bisa tercapai. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa SDA mempunyai keterbatasan untuk mendukung kebutuhan manusia, sedangkan kebutuhan manusia nyaris tak terbatas karena keserakahannya.

Pinjam kata-kata bijak Gandhi: Alam menyediakan kebutuhan manusia, tapi tidak untuk keserakahannya. Itulah sebabnya, kitab suci Alquran melarang manusia merusak alam untuk kepentingannya yang serakah (QS 2: 11,12) . Pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat yang kini mencapai tujuh miliar lebih telah menyebabkan cadangan SDA bumi kian tipis. Di samping itu, sistem cuaca yang kacau akibat perubahan iklim global telah berdampak pada perubahan sistem biologi dan sistem ekologi bumi.

Dampaknya: cadangan pangan pun terus menyusut dan manusia bisa mengalami krisis pangan yang amat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya. Menurut perhitungan WWF (World Wildlife Fund), sejak tahun 1966 ecological footptrint penduduk bumi sudah berlipat dua, jika setiap tahunnya konsumsi SDA makhluk bumi mendekati angka 1,25 planet bumi. Jika kondisi itu terus berlanjut, menurut WWF pada tahun 2030 dibutuhkan dua planet bumi untuk mencukupi kebutuhan umat manusia. Padahal planet bumi hanya satu. Solusinya: umat manusia harus serius menghemat SDA.

Untuk itulah harus ada upaya untuk meningkatkan produktivitas planet bumi namun tetap lestari, prokonservasi, dan pro-ekologi. WWF dalam analisisnya menyatakan: masalah SDA dan lingkungan hidup kini telah menjadi krisis lingkungan global yang berdampak serius terhadap keberlanjutan kehidupan manusia. Sebagai reaksi terhadap krisis ini, sejak abad ke-20 telah tumbuh dan berkembang gerakan penyelamatan alam dan lingkungan yang lebih mendasar dengan pendekatan ecoshopy, yaitu pendekatan filosofi penyelamatan bumi dengan memasukkan dimensi ekologi dan religius (Alikodra, 2012).

Naess memberikan definisi ecosophy sebagai filosofi yang pahamnya didasarkan atas ekologi yang harmoni dan seimbang (ecological harmony). Berarti ecosophy adalah filosofi yang mengusung pandangan bijak (wisdom) yang tertuang dalam norma, aturan, nilai (value), ataupun rumusan dalil (postulates) yang digunakan menjadi tuntunan manusia untuk menghargai alam lingkungannya. Sebagai makhluk beragama, pertanggungjawaban umat manusia terhadap kelestarian alam bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat nanti.

Dengan demikian, di titik akhir perjalanan hidupnya, manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Tuhan Sang Pencipta. Dan inilah yang disebut god spot (Agustian, 2001). God spot merupakan pilar penting bagi pelaksanaan ecosophy sekaligus sebagai landasan bagi penyempurnaan politik maupun kebijakan untuk memelihara dan menjaga SDA dari kerusakan (Drengson, 1999). Dengan demikian, paham ecosophy yang berlandaskan etika konservasi bertujuan membongkar cara pandang manusia yang keliru tentang dirinya, tentang alam dan Sang Pencipta; juga tentang tempat dirinya di alam dan cara memperlakukan alam.

Karena itu jika ecosophy ini diimplementasikan secara konsekuen, insya Allah akan membawa keselamatan umat manusia baik dunia maupun akhirat. Kita berharap, siapa pun capres yang terpilih, Prabowo Subianto atau Joko Widodo, peduli terhadap keberlanjutan dan kelestarian SDA. Indonesia, kata Prabowo Subianto, dalam Debat Capres 9 Juni lalu, adalah negara yang amat kaya SDA. Indonesia adalah negeri megabiodiversity yang luar biasa kaya dan kekayaan itu harus diselamatkan.

Agar penyelamatan SDA ini muncul dari hati nurani terdalam setiap warga negara Indonesia, maka kita perlu memberikan landasan ecosophy sebagai dasar pemikirannya. Dengan landasan ecosophy, motivasi penyelamatan SDA tidak hanya bersifat material semata-mata, tapi juga spiritual.

Dampaknya: penyelamatan ecosophy bukan saja merupakan tanggung jawab seorang warga negara terhadap tanah tumpah darahnya, tapi juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang hamba (manusia) terhadap Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar