Rabu, 16 Juli 2014

Di Tepi Jurang

                                                         Di Tepi Jurang

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  16 Juli 2014
                                                


MELIHAT Libya sekarang ini seperti melihat seorang bocah kecil yang berdiri di bibir jurang yang tanahnya retak-retak. Bergerak sedikit saja, tak ampun lagi si bocah akan terjun jatuh ke dalam jurang. Apakah bocah kecil itu nantinya akan mampu melangkah meninggalkan tepi jurang dan berjalan ke padang rumput yang hijau, yang di tengahnya ada danau berair bening dan mengalir sungai yang membawa air danau yang bening ke lembah bertanah subur?

Libya memang seperti bocah kecil itu setelah Revolusi 2011 yang mengakhiri rezim otoriter Moammar Khadafy, yang berkuasa sejak tahun 1969. Libya seperti lahir kembali dengan mengorbankan 30.000 anak bangsanya dalam perang saudara.

Namun, negeri berpenduduk 6,4 juta jiwa itu, yang dibantu pasukan NATO saat menyingkirkan Khadafy, tidak tumbuh seperti dua negara tetangganya: Tunisia dan Mesir. Kedua negara itu, dapat dikatakan relatif lebih tertata, sudah lebih dahulu bisa mengatasi persoalan-persoalannya walau belum semuanya. Sementara Libya masih terus dibelit persoalan, terutama pertarungan antara pemerintah baru yang lemah dan milisi bersenjata yang bersaing, serta memilih jalan perang dibandingkan duduk bersama, menyelesaikan masalah, dan membangun pemerintahan nasional bersatu yang baru.

Libya sekarang bagaikan negara yang tidak berhukum. Bagaimana bisa terjadi beberapa waktu lalu milisi bersenjata menyandera PM Ali Zeidan, yang setelah dibebaskan lari ke Jerman. BBC memberitakan, di Libya sekarang ini ada sekitar 1.700 kelompok milisi bersenjata. Misalnya, Tentara Nasional Libya, Dewan Militer Revolusioner Al-Zintan, Brigade Al-Qaqa, Brigade Al-Sawaiq, Brigade Mi- srata, Brigade Rifallah al-Sharia, dan Brigade Ansar al-Sharia.

Mereka memiliki tujuan berbeda-beda. Ideologi mereka pun berbeda-beda. Namun, uang dan kekuasaan menjadi tujuan utama mereka. Itulah sebabnya mereka berebut dan bertarung untuk menguasai sumur-sumur minyak.

Serangan terhadap Bandara Tripoli kemarin, sekurang-kurangnya menghancurkan 12 pesawat terbang, menjadi salah satu contoh korban pertarungan antarmilisi. Semula diharapkan pemilu—memilih 200 anggota parlemen—yang dilaksanakan pada 25 Juni lalu diharapkan mampu menjadi salah satu langkah untuk menciptakan perdamaian. Para anggota parlemen baru itu akan menggantikan para anggota parlemen yang dipilih pada Juli 2012, pemilu pertama dalam 40 tahun terakhir. Pemilu Juni lalu merupakan langkah penting dalam transisi Libya ke arah pemerintahan demokratik yang stabil.

Akan tetapi, kemungkinan harapan itu akan tinggal harapan selama masalah keamanan, masalah konflik, dan persaingan antarmilisi bersenjata belum bisa diselesaikan. Inilah persoalan terberat yang dihadapi Libya sekarang ini. Bagaimana menumbuhkan kesadaran bersama akan perlunya dibangun sebuah pemerintahan persatuan nasional, dan masing-masing pihak menyingkirkan kepentingannya. Apabila tidak demikian, Revolusi 2011 dan tersingkirnya Khadafy akan menjadi tidak berarti sama sekali. Dan, masa depan Libya pun suram. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar