Kamis, 17 Juli 2014

Demokrasi atau Demokursi?

Demokrasi atau Demokursi?

R Siti Zuhro  ;   Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
REPUBLIKA,  15 Juli 2014
                                                


Kesemarakan dan sekaligus ketegangan pilpres tahun ini memang agak lain. Tak seperti yang sudah-sudah, peserta nya hanya dua pasang dan langsung saling berhadapan untuk satu putaran.

Entah karena saking bersemangat atau saling berebut yang tercepat, ketika sebagian besar wilayah Indonesia masih sibuk menghitung suara, sejumlah lembaga survei sudah menyelesaikan quick count-nya.

Hasil tersebut langsung ditanggapi satu kubu kandidat dengan mendeklarasikan kemenangannya. Kubu lainnya pun tak kalah gertak. Berdasarkan hasil quick count beberapa lembaga survei juga yang mengunggulkannya, mereka pun mendeklarasikan hal yang sama. Maka, tak ayal lagi rakyat pun jadi terkoyak, terapung di antara dua gelombang lautan emosi. Siaga I yang dinyatakan pemerintah sebelum hari "H" seolah memperoleh pembenarannya.

Perjalanan demokrasi Indonesia relatif sudah cukup panjang. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negeri ini telah meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam konstitusi. Sebagai bangsa yang majemuk, demokrasi merupakan pilihan yang tepat yang bisa menjamin kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sistem pemerintahan yang demokratis pada dasarnya menekankan makna "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Intinya adalah pemberdayaan rakyat. Karena alasan ini pula, partisipasi rakyat menjadi hal yang utama dalam demokrasi.
Pilpres langsung pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana bagi suksesi kepemimpinan dan terpilihnya pemimpin secara transparan dan akuntabel yang dikehendaki rakyat. Siapa pun pemenangnya harus diterima semua pihak dan disikapi dengan arif.

Sayangnya, kemuliaan nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya dihayati. Hal ini terlihat dari deklarasi saling klaim kemenangan secara dini. Demokrasi yang semestinya ditopang nilai-nilai mulia bangsa sendiri justru dikesampingkan.
Pilar penyangga demokrasi Dalam konteks pilpres, ada beberapa pilar penting demokrasi yang perlu disorot. Pertama, partai politik sebagai pilar utama demokrasi merupakan institusi penting penyedia calon pemimpin baik untuk legislatif maupun eksekutif. Untuk memerankan fungsi sebagai pilar demokrasi, partai politik harus menjadi partai kader yang fokus pada kaderisasi.

Kedua, media massa menjadi pilar utama dan berperan penting dalam proses demokratisasi. Bahkan, perannya semakin mengedepan ketika publik kecewadan kurang mempercayai partai. Celakanya, ternyata media sulit netral secara politik, termasuk media elektronik.

Seiring dengan media, lembaga survei juga berperan penting. Banyaknya jumlah lembaga survei menambah kesemarakan sejak pemilu 2014. Meskipun be berapa prinsip penting harus dipegang teguh, realitasnya lembaga-lembaga survei masih saja membingungkan dan mengecewakan publik.

Hasil lembaga survei dengan kerja yang profesional memang bisa merepresentasikan hasil yang mendekati kenyataan. Hasil quick count, misalnya, bisa sama dengan hasil real count.

Tetapi, adalah juga sebuah hal yang manusiawi bila hasil quick count bisa salah. Dalam aktivitas ilmiah, kesalahan dalam sebuah pekerjaan yang dinilai sudah dilakukan dengan proses yang benar merupakan hal yang biasa.

Benar-tidaknya hasil kerja lembaga survei tentu dapat dilihat pascapenetapan final hasil KPU. Maka, bila ada lembaga survei yang menyatakan dirinya lebih benar dari hasil final KPU, hal tersebut merupakan sebuah sikap yang tidak akademik karena seolah telah menyamakan dirinya dengan Tuhan.

Ketiga, civil society juga berperan penting dalam demokratisasi, khususnya dalam pilpres, melalui kehadirannya sebagai penyeimbang agar demokrasi tak terlalu bernuansa elitis. Civil society turut berperan mendorong munculnya banyak calon dalam pilpres dan pilkada.

Keempat, KPU dan Bawaslu memiliki otoritas dan tanggung jawab besar dalam menjalankan pilpres. Sukses tidaknya pilpres tergantung kedua institusi itu.
Namun, karena memori negatif publik terhadap Pilpres 2009, para penyelenggara pilpres dituntut lebih memperlihatkan kualitas kinerjanya demi meraih kembali kepercayaan rakyat. Tampaknya kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kekhawatiran masih membayangi hasil pilpres yang akan di umumkan 22 Juli nanti.

Karena itu, KPU dan Bawaslu harus menunjukkan kinerjanya yang maksimal dan profesional agar tak ada lagi sikap yang saling menyalahkan, saling menuduh, dan merasa benar sen diri.

Kelima, penegakan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari keberhasilan pilpres. Penegakan hukum tak hanya tecermin melalui antisipasi terhadap kemungkinan kerusuhan, tapi juga bagaimana menciptakan kepastian hukum dan keterikatan rakyat dan para elite pada hukum.

Bukan demokursi Dalam sistem demokrasi, kompetisi/kontestasi merupakan hal yang niscaya sebagaimana diwujudkan dalam pemilu. Pemilu seharusnya tak hanya bernuansa kompetisi saja, tapi juga pendalaman nilai-nilai dan substansi demokrasi. Sebab, pilpres bukan sekadar "demokursi", melainkan merupakan pengejawantahan "demokrasi".

Proses learning by doing yang dilalui Indonesia dalam melaksanakan demokrasi memang tidak mudah. Jalan menuju demokrasi yang substantif tampaknya masih cukup panjang.

Lesson learned yang bisa dipetik dari pilpres saat ini ada lah pentingnya kematangan/kedewasaan politik, terutama di kalangan elite. Di tengah kegersangan kedewasaan politik para elite politik saat ini, sayangnya nyaris tak ada "orang-orang suci" (negarawan) yang menjadi referensi moral bangsa. Ibarat pohon khuldi, dunia politik terlalu menggoda dan sulit ditaklukkan. Seperti halnya Adam, tak sedikit di antara "orang-orang suci" yang akhirnya turut terjerembab.
Pilpres 2014 bukanlah hari kiamat.

Bangsa Indonesia harus mampu membangun tradisi baru yang mengedepankan nilai-nilai positif, membenahi memori negatif supaya tak senantiasa dirundung perasaan ketakutan yang tak beralasan yang justru membuat demokrasi Indonesia mundur. Menjadi pihak yang mengawasi jalannya pemerintahan juga sama terhormatnya dengan yang memerintah.

Melalui pilpres, rakyat sudah memberikan suaranya, maka jangan lagi dustakan harapan mereka. Bangsa ini tidak hanya memerlukan politisi, tapi juga membutuhkan banyak "orang suci". ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar