Kamis, 17 Juli 2014

Bijaksana Menyikapi Quick Count

Bijaksana Menyikapi Quick Count

Harianto  ;   Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi
REPUBLIKA,  15 Juli 2014
                                                


Seorang ibu hendak membeli beras. Di hadapannya ada beberapa kotak dengan gundukan beras. Ada selembar karton dengan tulisan harga di depan masing-masing kotak. Harga yang tercantum berbeda di setiap kotak. Di samping tulisan harga, ada karton bertuliskan jenis atau varietas beras. Si ibu meraup beras dari salah satu kotak, dan mengamati butir-butir beras di tangannya. Dia mencium beras itu. Proses yang sama dia lakukan di kotak beras lainnya. Setelah itu, si ibu memutuskan membeli tiga kilogram beras dari salah satu kotak yang bertu lis kan pandan wangi cianjur.

Apa yang dilakukan ibu tersebut saat meraup beras di tangan dan mengamatinya, adalah satu tindakan yang bisa dikategorikan sebagai quick count. Melalui contoh beras yang diambil, ibu itu dapat menarik kesimpulan kualitas beras. Prediksi atau perkiraan tentang kualitas beras di setiap kotak didasarkan indikator-indikator yang dapat dia amati di sampel beras di tangannya. Ibu itu secara cepat dapat melihat apakah beras yang ada di tangannya: (a) berbulir panjang atau pendek; (b) apakah ada kotoran yang berupa kerikil, kulit beras, debu atau lainnya; (c) berapa banyak beras yang patah; dan (d) adakah bercak-bercak putih seperti kapur. Dengan mencium aroma beras di tangannya, ibu ini bisa menduga apakah beras masih relatif baru atau sudah cukup lama disimpan, dan apakah beras beraroma atau tidak.

Hasil pengamatan ibu itu, berdasarkan segenggam beras di tangan, dapat secara akurat menggambarkan kualitas seluruh beras di kotak, dengan syarat seluruh isi kotak tercampur dengan baik (homogen). Kesimpulan ibu tersebut bisa salah jika kerikil atau kotoran cenderung mengelompok di bagian tertentu dalam kotak. Namun, ibu ini mengetahui bahwa penjual mengambil beras di bagian atas untuk ditimbang dan diserahkan ke pembeli, sehingga tidak perlu khawatir tentang kualitas beras di tumpukan bawah.

Besar kecilnya jumlah sampel tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator akurasi suatu survei. Sampel yang diambil hendaknya mewakili keragaman yang ada. Contoh sederhananya, untuk mengetahui apakah sebuah botol berisi kecap asin atau kecap manis, kita cukup ambil sampel setetes kecap dan mengecapnya. Tidak perlu ambil sampel satu sendok atau satu gelas kecap. Kita bisa lakukan pengambilan sampel seper ti itu karena tahu bahwa isi botol itu sepenuhnya homogen.

Quick count yang akurat secara sederhana dapat diilustrasikan seumpama kualitas printer. Dulu kita mengenal printer Dot Matrix dengan kerapatan titik-titik per inci kuadrat yang berbeda-beda. Titik-titik tersebut bisa diumpamakan sampel dalam survei. Meskipun printer memiliki kerapatan titik-titik yang rendah, saat mencetak gambar wajah seseorang kita tetap bisa mengenali siapa orang yang gambarnya dicetak. Memang wajah orang tersebut lebih buram jika dibandingkan dengan hasil cetak printer dengan kerapatan titik-titik lebih tinggi, namun hasilnya tetap merupakan wajah yang kita kenal.

Hasil quick count bisa tidak akurat mengambarkan hasil pilpres yang sebenarnya jika dalam desain pemilihan sampel, metode pengumpulan data, sam pai pada pelaksanaannya tidak dilaku kan dengan tepat dan benar. Hasil quick count hanyalah prediksi atau dugaan terhadap hasil penghitungan riil yang lengkap.

Sebagaimana prediksi, maka bisa tepat dan bisa meleset. Quick count dilakukan karena kita tidak sabar menunggu hasil penghitungan selesai seluruhnya, dan semoga bukan karena tidak percaya terhadap hasil penghitungan KPU. Harga yang harus dibayar untuk ketidak-sabaran tersebut adalah risiko adanya perbedaan hasil antara quick count dengan penghitungan riil yang lengkap.

Kredibilitas lembaga survei di Indonesia mulai diragukan saat berbagai hasil survei sebelum pemilu legislatif (pileg), berbeda jauh dengan hasil riil setelah pileg. Perbedaannya bahkan ada yang jauh di luar derajat akurasi yang dinyatakan lembaga survei bersangkutan. Berbagai dalih dan alasan dikemukakan mengapa terjadi ketidakakuratan tersebut, yang pada dasarnya semuanya semakin memperkuat bahwa hasil survei memang bisa tidak akurat. Survei yang dilakukan dengan tepat dan benar seharusnya memiliki daya prediksi akurat.

Namun, jika survei dimaksudkan juga untuk pembentukan opini tertentu, maka hasil survei tersebut akan sulit dipercaya akurasinya.

Dengan hasil quick count pilpres yang berbeda-beda, adalah bijaksana arahan presiden agar semua orang menunggu hasil perhitungan KPU. Juga sikap yang tepat jika KPU menyatakan tidak terpengaruh dan bahkan harus mengabaikan seluruh hasil quick count lembaga survei. Dengan perbedaan suara hasil quick count yang begitu tipis, secara statistik, maka berisiko tinggi mengandalkan hasil quick count yang berbeda-beda itu sebagai acuan hasil akhir.

Penghitungan riil oleh KPU yang akuntabel, akurat, dan melibatkan kedua pihak, seperti saran presiden, merupakan cara terbaik untuk memastikan hasil akhir pilpres yang benar-benar sama dengan suara rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar