Selasa, 08 Juli 2014

Ahok dan Benyamin S

                                              Ahok dan Benyamin S

JJ Rizal  ;   Sejarawan
KORAN TEMPO,  07 Juli 2014
                                                


Sungguh ironis, di Jakarta dalam periode yang panjang, para pejabatnya sering melupakan peran penting seniman. Bahkan dalam suasana ulang tahun Jakarta ke-487 lalu, ketika menguat penghormatan kepada keistimewaan seni budaya Betawi-Jakarta serta tokoh-tokoh yang mendedikasikan hidupnya untuk itu, justru hal yang memilukan terjadi. Benyamin S., sebagai seniman ikon nomor wahid dan manisfestasi tradisi budaya Betawi-Jakarta, mengalami penghinaan luar biasa dalam acara YKS produksi Trans TV. Anehnya, tidak terdengar suara protes dari pemerintah Jakarta.

Mungkin Pemerintah Kota Jakarta masih belum mengubah wajahnya dari masa kompeni yang, disebut sejarawan Leonard Blusse, berwajah konsumtif. Sebab, pejabatnya lebih memperhatikan pedagang daripada seniman yang telah membuat sajak, lagu, lukisan, dan cerita yang membuat Batavia sohor di dunia dengan sebutan Koningin het van Oosten atau Ratu di Timur.

Setelah kemerdekaan, Asrul Sani termasuk yang jengkel melihat wajah abai pemerintah terhadap seniman. Saking jengkelnya, ia menulis "Surat Terbuka bagi Wali Kota Baru" di majalah Siasat, 3 Januari 1954. Ia menyatakan pemerintah Jakarta mempunyai "wajah pejabat". Asrul protes karena banyak seniman bekerja keras menampilkan Jakarta sebagai sumber ilham dan tempat tinggal, tapi Pemerintah Kota saat itu kurang menghargai seniman serta mendorong kehidupan kebudayaan.

Asrul kecewa, ketika pada 28 April 1949 Chairil Anwar melepaskan nyawa dan diantar ke pekuburan di Karet, pemimpin Jakarta Sastromuljono tidak memberikan perhatian. Padahal rombongan pengantar jenazah penyair terkemuka yang banyak meninggalkan nyanyian tentang Kota Jakarta itu lewat di depan rumahnya. Kekecewaan yang sama sebelumnya disampaikan Rosihan Anwar. Ia menyesalkan ketidaktahuan pemimpin Jakarta tentang posisi penting Chairil.

Perlu satu dasawarsa lebih Jakarta memiliki pemimpin sesuai dengan harapan Asrul dan Rosihan itu. Pada 1966, Ali Sadikin diangkat. Meskipun ia mengaku tak tahu banyak kesenian serta kenal seniman, tetapi baginya seniman penting untuk membangun kota yang beradab. Karena itulah, sejak 1968, ia memfasilitasi seniman dengan mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM), Akademi Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Sinematek, dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Ia pun dikenang sebagai gubernur yang bergaul erat dengan seniman, juga mendengarkan saran-saran mereka dalam pembangunan Jakarta. Kisah itu dapat dibaca dalam biografinya, Bang Ali demi Jakarta dan Empu Ali Sadikin 80 Tahun.

Buku yang terakhir itu terbit sebagai bagian dari acara penganugerahan gelar "Empu Peradaban Kota" kepada Bang Ali oleh IKJ pada 25 Januari 2006. Ajip Rosidi menyatakan gelar itu diberikan agar pemimpin Jakarta ingat pentingnya kesenian dalam membantu menjauhkan Jakarta dari wajah kota yang tak beradab. Sebab, kesenian meningkatkan kepekaan, mendorong pemikiran kritis, berkontribusi merumuskan acuan-acuan kehidupan yang baik dan membaik.

Ada yang berlanjut ada yang berubah, Jakarta muncul dengan aneka wajah. Tetapi, soal perhatian terhadap seniman, Jakarta tampak masih enggan melepas wajah kota konsumtif yang dikatakan Blusse, wajah kota pejabat yang disebut Asrul, dan wajah kota tak beradab yang dinyatakan Ajip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar