Ahok
dan Benyamin S
JJ Rizal ;
Sejarawan
|
KORAN
TEMPO, 07 Juli 2014
Sungguh ironis, di Jakarta dalam periode yang panjang, para pejabatnya
sering melupakan peran penting seniman. Bahkan dalam suasana ulang tahun
Jakarta ke-487 lalu, ketika menguat penghormatan kepada keistimewaan seni
budaya Betawi-Jakarta serta tokoh-tokoh yang mendedikasikan hidupnya untuk
itu, justru hal yang memilukan terjadi. Benyamin S., sebagai seniman ikon
nomor wahid dan manisfestasi tradisi budaya Betawi-Jakarta, mengalami
penghinaan luar biasa dalam acara YKS produksi Trans TV. Anehnya, tidak terdengar
suara protes dari pemerintah Jakarta.
Mungkin Pemerintah Kota Jakarta masih belum mengubah wajahnya dari masa
kompeni yang, disebut sejarawan Leonard Blusse, berwajah konsumtif. Sebab,
pejabatnya lebih memperhatikan pedagang daripada seniman yang telah membuat
sajak, lagu, lukisan, dan cerita yang membuat Batavia sohor di dunia dengan
sebutan Koningin het van Oosten atau Ratu di Timur.
Setelah kemerdekaan, Asrul Sani termasuk yang jengkel melihat wajah
abai pemerintah terhadap seniman. Saking jengkelnya, ia menulis "Surat
Terbuka bagi Wali Kota Baru" di majalah Siasat, 3 Januari 1954. Ia
menyatakan pemerintah Jakarta mempunyai "wajah pejabat". Asrul
protes karena banyak seniman bekerja keras menampilkan Jakarta sebagai sumber
ilham dan tempat tinggal, tapi Pemerintah Kota saat itu kurang menghargai
seniman serta mendorong kehidupan kebudayaan.
Asrul kecewa, ketika pada 28 April 1949 Chairil Anwar melepaskan nyawa
dan diantar ke pekuburan di Karet, pemimpin Jakarta Sastromuljono tidak
memberikan perhatian. Padahal rombongan pengantar jenazah penyair terkemuka
yang banyak meninggalkan nyanyian tentang Kota Jakarta itu lewat di depan
rumahnya. Kekecewaan yang sama sebelumnya disampaikan Rosihan Anwar. Ia
menyesalkan ketidaktahuan pemimpin Jakarta tentang posisi penting Chairil.
Perlu satu dasawarsa lebih Jakarta memiliki pemimpin sesuai dengan
harapan Asrul dan Rosihan itu. Pada 1966, Ali Sadikin diangkat. Meskipun ia
mengaku tak tahu banyak kesenian serta kenal seniman, tetapi baginya seniman
penting untuk membangun kota yang beradab. Karena itulah, sejak 1968, ia
memfasilitasi seniman dengan mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM), Akademi
Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Institut Kesenian Jakarta (IKJ),
Sinematek, dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Ia pun dikenang sebagai
gubernur yang bergaul erat dengan seniman, juga mendengarkan saran-saran
mereka dalam pembangunan Jakarta. Kisah itu dapat dibaca dalam biografinya,
Bang Ali demi Jakarta dan Empu Ali Sadikin 80 Tahun.
Buku yang terakhir itu terbit sebagai bagian dari acara penganugerahan
gelar "Empu Peradaban Kota" kepada Bang Ali oleh IKJ pada 25
Januari 2006. Ajip Rosidi menyatakan gelar itu diberikan agar pemimpin
Jakarta ingat pentingnya kesenian dalam membantu menjauhkan Jakarta dari
wajah kota yang tak beradab. Sebab, kesenian meningkatkan kepekaan, mendorong
pemikiran kritis, berkontribusi merumuskan acuan-acuan kehidupan yang baik
dan membaik.
Ada yang berlanjut ada yang berubah, Jakarta muncul dengan aneka wajah.
Tetapi, soal perhatian terhadap seniman, Jakarta tampak masih enggan melepas
wajah kota konsumtif yang dikatakan Blusse, wajah kota pejabat yang disebut
Asrul, dan wajah kota tak beradab yang dinyatakan Ajip. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar