Rabu, 16 Oktober 2013

Refleksi G30S/PKI

Refleksi G30S/PKI
M Darmawan Komar  Aktivis Komando Kesiapsiagaan Muhammadiyah
(Kokam) Wilayah Surakarta
REPUBLIKA, 01 Oktober 2013


Tidak terasa, sudah 48 tahun peristiwa yang menggegerkan negeri ini berlangsung ketika PKI dengan Gerakan 30 September (G30S)-nya berusaha mengadakan kudeta terhadap Pemerintah RI yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Demikian juga untuk merenungkan kembali ketika meletus pemberontakan G30S tahun 1965 yang didalangi oleh PKI.

Bila kita lihat kembali sejarah semenjak Republik Indonesia merdeka, berbagai usaha pemberontakan dilakukan oleh mereka yang tidak puas dengan republik tercinta ini. Demikian juga dengan Partai Komunis Indonesai (PKI) paling tidak telah dua kali berusaha mengadakan kudeta terhadap pemerintah yang sah.
Dua pemberontakan dimaksud adalah peristiwa di tahun 1948 di mana PKI melakukan pemberontakan yang dipusat kan di Kota Madiun, Jawa timur, dengan Muso-nya. Demikian juga pada 1965, PKI berusaha kembali mengadakan kudeta terhadap Pemerintah RI yang sah di bawah kepemimpinan DN Aidit.

Tetapi syukurlah, kedua pemberontakan dimaksud dapat dipatahkan oleh aparat negara dalam waktu yang singkat. Dapat dibayangkan, manakala pemberontakan tersebut tidak segera dapat ditumpas, korban pun pasti akan berjatuhan untuk kedua belah pihak. Bantuan pasukan yang cepat dari Jakarta yang dikirimkan ke kota-kota Jawa Tengah dapat meminimalkan jatuhnya korban akibat keganasan yang dilakukan oleh para pemberontak.

Kota-kota yang menjadi basis PKI adalah antara lain Boyolali, Klaten, Semarang, Wonogiri, Solo, serta Sukohardjo. Tokoh pemberontak PKI, DN Aidit, tertangkap di daerah Sambeng, pinggiran Kota Solo, pada November 1965. Berbagai macam senjata dan amunisi di berbagai tempat ditemukan oleh aparat bersenjata dengan dibantu oleh para pendukung Pancasila yang antara lain meliputi Pemuda Muhamadiyah, Pemuda Marhaennis, Pemuda Anshor, Pemuda Katholik, dan lain sebagainya. Mereka bahu-membahu siang malam tanpa mengenal lelah bersama tentara yang didatangkan dari Jawa Barat mengadakan operasi kepada mereka yang terindikasi menjadi simpatisan anggota PKI.

Hasil dari kerja keras selama operasi ternyata di luar dugaan serta mencengangkan semua orang yang pada waktu itu menyaksikan beratus-ratus karung berisi amunisi berupa peluru, granat tangan, pencukil mata, dan berbagai senjata laras panjang buatan salah satu negara komunis, yakni RRC.
Selain jumlahnya yang sangat fantastis, peluru yang ditemukan bila untuk menghabisi rakyat di sekitar Solo yang bukan simpatisan PKI sudah mencukupi. Ini saking banyaknya peluru yang ditemukan oleh para aparat. Ada yang ditemukan di kandang ternak, di lereng sungai tepi Bengawan Solo, dan ada pula yang ditanam atau dimasukkan ke dalam sumur penduduk. 

Demikian juga sawah-sawah yang pemiliknya bukan orang PKI, dengan enaknya dipatoki dan ditulisi bahwa tanah ini telah menjadi milik nama seseorang yang terindikasi simpatisan PKI. Waktu itu kita juga tidak berani untuk membuang patok yang terpancang di sawah. Takut mereka marah dan tidak jarang hingga terjadi pembunuhan hanya karena masalah sepele. 

Tetapi anehnya, begitu PKI meletus, tanpa ada yang menyuruh patok-patok tersebut telah hilang dengan sendirinya. Siapa yang mencabuti dan membuangnya kembali tidak ada yang mengetahui. Berbagai dokumen juga ditemukan yang isinya siapa saja yang akan jadi sasaran pembantaian seandainya pemberontakan PKI dengan G30S-nya berhasil.

Tetapi anehnya, baik dokumen ataupun senjata yang ditemukan tersebut berada di lingkungan ataupun sekitar rumah warga yang sebetulnya tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi ketika itu. Asumsi kita saat itu, mereka kebanyakan tidak bisa membaca dan menulis apalagi mengetahui politik. Ini semua akibat kelihaian dari PKI dengan memanfaatkan rakyat sebagai tamengnya. 

Perlu kita ketahui, bahwasanya pada 1965 kita sedang mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Penduduk yang kandang ternaknya dijadikan tempat untuk menyimpan berbagai macam amunisi dengan dalih yang diberikan oleh PKI adalah untuk bersiap-siap melawan penjajah Malaysia. Padahal, tidaklah demikian apa yang terjadi sebenarnya.

Aparat tidak mau ambil risiko terlalu panjang. Akibatnya jelas, warga ataupun penduduk yang tempat tinggalnya ataupun pekarangan ditemukan senjata atau pun sebangsanya, tanpa ampun langsung saja diamankan oleh aparat pemerintah. Apa yang terjadi setelah itu dapat kita bayangkan sendiri, yang tidak perlu diceritakan kembali. Walaupun mereka meronta-ronta minta ampun dan telah tertipu oleh propaganda PKI, aparat tetap berkeyakinan bahwa mereka itu menjadi simpatisannya. Itulah yang namanya politik. Masyarakat yang tidak mengetahui apa-apa justru banyak yang menjadi korbannya. 
Akan tetapi sebaliknya, justru para tokoh-tokohnya banyak yang selamat. Dalam arti mereka hanya ditahan dalam jangka waktu yang cukup lama, puluhan tahun, tetapi pada akhirnya menghirup hawa bebas kembali

Mentalitas para tahanan anggota PKI sangatlah bagus. Bayangkan, dalam kurun yang cukup lama ditahan di Pulau Buru ataupun Nusakambangan Cilacap, mereka tetap tegar fisiknya. Dan itulah yang dimiliki para militan PKI terutama Pemuda Rakyatnya. Organisasi yang menjadi underbow-nya PKI, antara lain Gerwani untuk para wanitanya, BTI untuk para taninya, Lekra untuk keseniannya, dan lain sebagainya. Walaupun secara yuridis formal PKI telah dibubarkan, kita jangan lengah sedikit pun. 


Bila ada kesempatan, pasti mereka akan bergerak kembali berusaha menghidupkan ideologi mereka yang telah terpatri dengan jiwa dan keyakinan mereka. Walaupun tentunya untuk bangkit kembali tidak mudah, mengingat rakyat sudah tidak dapat dibodohi lagi. Tidak seperti yang dulu lagi. Bila suatu negara seringkali terjadi usaha kudeta, rakyat kebanyakan yang akan menderita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar