Kamis, 17 Oktober 2013

Idul Kurban dan Risalah Kemanusiaan

Idul Kurban dan Risalah Kemanusiaan
Asep Purnama Bahtiar  Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
TEMPO.CO, 16 Oktober 2013



Jika gaji dan penghasilan demikian sangat besar tapi masih juga melakukan korupsi dan merampok uang rakyat, maka tidak ada kata yang lebih tepat untuk menyebut sifat orang itu kecuali rakus dan tamak.

Agama dan segenap ajarannya, paling tidak dalam konteks Indonesia yang korup dan karut-marut dewasa ini, harus terus dibaca dan dimaknai secara produktif dan emansipatoris. Bila tidak, agama dengan segenap risalahnya yang kudus akan terkondisikan pada dua sisi. Pertama, diposisikan sebagai kabar suci dari langit yang tak tersentuh, sehingga tidak bisa membumi untuk merespons problem kemanusiaan. Kedua, dijadikan obyek dan instrumen yang dimanipulasi dan diperalat untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok-kelompok tertentu.

Bertalian dengan proposisi tersebut, maka Idul Kurban sebagai salah satu syariat Islam menjadi penting untuk dipetabumikan dalam alur spirit beragama yang sudi berdialog dengan problematika dan realitas kehidupan umat manusia. Semangat keagamaan ini sudah mendesak untuk diejawantahkan, karena kehidupan bangsa ini sudah lama menyimpang dari jalan yang lempang dan menikung dari jalur yang lurus. Korupsi yang merajalela dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, golongan dan partai seakan tidak mengenal kata berhenti. 

Kembali 

Dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya-dengan berbagai modus dan habitusnya-nyaris atau bahkan sudah kalis dari sentuhan tangan Yang Maharahman dan Maharahim. Walhasil, ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakwajaran hadir dalam berbagai relung kehidupan bangsa ini, padahal agama dan karunia Sang Pencipta di bumi Nusantara ini sejatinya diperuntukkan bagi kemakmuran bersama dan kemaslahatan hidup semua anak bangsa.

Sangat beralasan kalau banyak kalangan merasa begitu khawatir akan keselamatan bangsa dan keutuhan negara yang sudah mengidap simtom nir-adab ini. Keadaan yang kritis dan sarat ketidakramahan itu mengharuskan bangsa ini segera siuman dan sadar kembali ke jalan yang lurus dan ajek dalam sunah-Nya. Pikiran dan perasaannya tergerak untuk berempati dan membantu saudara-saudara sebangsa yang belum beruntung secara sosial-ekonomi. Itulah bagian dari kesadaran beragama yang hanif (tauhid) yang menjadi fondasi bagi terwujudnya solidaritas kemanusiaan yang mesti dirawat dan diruwat kepekaannya. 

Dalam momen Idul Kurban, kedua hal tersebut (kesadaran tauhid dan solidaritas kemanusiaan) menjadi bagian dari hikmah dan pelajaran moral yang harus dipetik dan dinyatalaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pesan agama ini sudah barang tentu tidak lepas dari kisah dan keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para utusan Allah, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Kedua nabi yang menjadi aktor utama dalam sejarah disyariatkannya kurban-sebagaimana direkam dalam kitab suci (Q.S. 37: 100-111)-adalah contoh dan teladan yang baik dalam keteguhan tauhid, iman dengan sebenar-benarnya kepada Allah yang Ahad. Karena keyakinan iman seperti itu pula, Nabi Ibrahim tetap tegar dan ikhlas menjalankan perintah Allah untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail.

Di samping itu, keteguhan tauhid Nabi Ibrahim juga memberikan efek pembebasan bagi kaumnya dari keyakinan dan perbuatan syirik serta kekuasaan tirani rezim Namruz. Karena itu, tidak berlebihan jika ajaran tauhid yang menjadi substansi risalah para nabi dan rasul, dan kemudian oleh Nabi Ibrahim, dilestarikan dan dilanjutkan hingga sampai pada kenabian Muhammad SAW, dipuji oleh Allah sebagai suri teladan yang baik bagi umat manusia (Q.S. 60: 4).

Risalah kemanusiaan

Itulah risalah kemanusiaan yang bertumpu dan berporos pada tauhid. Secara internal, nilai-nilai kemanusiaan itu adalah untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan pada diri manusia yang ingin menang sendiri, tamak, rakus, dan zalim. Kemudian secara eksternal nilai-nilai kemanusiaan itu akan bermuara pada sikap empati dan solider terhadap nasib saudara-saudara dan sesama umat manusia yang sedang ditimpa kesusahan atau bencana.

Dalam konteks kehidupan sekarang, risalah kemanusiaan tersebut patut direalisasi dengan mengambil tiga bentuk. Pertama, kejujuran dan integritas mutlak harus dimiliki oleh segenap komponen bangsa. Terlebih bagi para elite dan penentu kebijakan, karakter dan kepribadian ini sangat penting karena berpengaruh bagi kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini, Buya Syafii Maarif mengingatkan, agama atau iman yang berfungsi secara benar pasti akan mendorong pemeluknya untuk berperilaku lurus dan jujur. Juga orang yang beragama secara serius, pasti berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, tidak larut dalam kerancuan sistem nilai. 

Kedua, gaya hidup yang merasa cukup (qana'ah) sebagai antitesis ketamakan dan kerakusan. Jika gaji dan penghasilan demikian sangat besar tapi masih juga melakukan korupsi dan merampok uang rakyat, maka tidak ada kata yang lebih tepat untuk menyebut sifat orang itu kecuali rakus dan tamak. Dengan berkurban, selalu ada sebagian dari harta yang harus dikeluarkan berupa seekor kambing atau sapi, yang akan membangun kesadaran mengenai kenisbian segala hal yang dimiliki manusia. Karena itu, manusia harus belajar merasa cukup dengan yang dimilikinya dan mau berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan.

Ketiga, pandangan hidup dan sikap yang menghormati harkat dan martabat manusia sesuai dengan desain-Nya. Umat manusia harus terbebas dari belenggu keyakinan yang keliru dan ideologi palsu-yang kerap mengatasnamakan agama-ragam penindasan dan pemaksaan gaya hidup yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Dengan kata lain, di mana pun dan kapan pun serta atas nama apa saja, tidak boleh terjadi eksploitasi manusia atas sesama manusia (exploitation de l'homme par l'homme).

Penghormatan terhadap umat manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya itu pulalah yang sesungguhnya harus disadari oleh saudara-saudara kita yang sedang menunaikan ibadah haji di Mekah al-Mukaramah. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa: al-hajju 'arafatun (ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah), dan wukuf di Arafah ini merupakan puncak manasik haji. Salah satu hikmah dari sabda nabi tersebut tiada lain adalah mengingatkan manusia agar tetap menjaga tauhid dan memelihara nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana dulu pernah dikhotbahkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau menunaikan ibadah haji wada' (ibadah haji perpisahan).

Demikianlah Idul Kurban, 10 Zulhijah 1434 H, semoga memberikan inspirasi dan semangat bagi kita semua untuk beragama secara otentik dan tulus, bukan karena pamrih politik kekuasaan atau ekonomi, sehingga bisa mempertebal iman dan mempertajam kepekaan sosial kita bagi kepentingan sesama. Kehidupan dan risalah kemanusiaan itu kita jaga bersama dengan fondasi tauhid bagi kemaslahatan dan keadaban kehidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar