Rabu, 02 Oktober 2013

Menyapu Korupsi di Parlemen Absolut

Menyapu Korupsi di Parlemen Absolut
Emerson Yuntho  ;  Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
JAWA POS, 02 Oktober 2013



Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau parlemen kembali mendapat soroton negatif dari publik. Adnan Pandu Praja, wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada September 2013 telah menyebutkan, parlemen, selain kepolisian, menjadi salah satu institusi yang paling korup di Indonesia. Adnan melansir hasil survei persepsi korupsi Transparency International Indonesia 2013. 

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sedikitnya sudah ada 65 legislator di Senayan yang tersangkut kasus korupsi. Sejumlah anggota DPR sudah divonis bersalah karena melakukan korupsi. Misalnya saja M. Nazaruddin, mantan anggota Komisi III DPR dalam kasus korupsi pembangunan fasilitas wisma atlet SEA Games. Lalu, ada Angelina Sondakh, anggota Banggar DPR yang tersangkut korupsi anggaran di Kementerian Pendidikan dan Ke­menpora, serta Zulkarnaen Djabar, anggota Komisi VIII DPR yang tersandung korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama. 

Titik rawan korupsi parlemen berada pada tiga fungsi utama dan tugas DPR, yakni di bidang pengawasan, penyusunan undang-undang (legislasi), dan anggaran. Secara umum, fenomena suap yang menimpa politisi Senayan biasanya muncul pada saat seperti proses legislasi, penanganan kasus, pemekaran wilayah, kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah, pembahasan anggaran, pengambilan suatu kebijakan oleh DPR atau komisi, studi banding ke luar negeri, persiapan rapat dengar pendapat dengan BUMN atau instansi swasta lain, serta proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pejabat publik. 

Salah satu faktor pendukung suburnya korupsi di parlemen adalah kekuasaan DPR yang nyaris absolut. Sebab, tak ada lembaga resmi lain yang mengawasi dan dapat memberikan sanksi. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR juga terkesan seadanya dan hanya mengandalkan badan kehormatan (BK). Namun, kinerja BK DPR sering dinilai meragukan karena adanya tarik ulur kepentingan dari tiap-tiap parpol. Keberadaan BK DPR saat ini terkesan sebatas "badan kosmetik" untuk menunjukkan kesan ke publik bahwa mereka serius menangani politisi nakal. 

Selain itu berulangnya kejadian suap yang melibatkan politisi menunjukkan adanya permasalahan mendasar dari hampir semua anggota parlemen kita, yaitu mengenai aspek integritas. 

Mayoritas parpol di negeri ini tidak pernah melakukan seleksi secara ketat atau bahkan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi para calon legislator yang akan mewakili partai. Loyalitas dan kemampuan keuangan (finansial) sering menjadi faktor yang menentukan diterima atau tidaknya seorang menjadi kader atau calon legislator. Kriteria kualitas dan integritas bukanlah prioritas utama dan sering dikesampingkan. 

Upaya bersih-bersih korupsi parlemen oleh KPK juga tidak dilihat dari sisi positif, yaitu mendorong pemulihan citra dan kehormatan DPR, namun justru dipandang secara negatif karena menjadi ancaman bagi sebagian anggota dewan yang katanya terhormat 

Hal tersebut menimbulkan kesan serta pesan bahwa DPR dan parpol belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi di republik ini. Padahal, dalam sejarah, seperti terjadi di banyak negara, misalnya ­Inggris dan Tiongkok, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak pernah lepas dari peran parlemen dan parpol. 

Setidaknya ada empat upaya yang dapat dilakukan dalam membersihkan korupsi di parlemen. Pertama, institusi DPR perlu memperkuat fungsi dan peran BK DPR dalam melakukan pengawasan dan menjaga kehormatan, membuat etika dan sanksi yang tegas kepada anggota yang dinilai justru merusak citra DPR. Selain itu, DPR tidak perlu malu untuk melibatkan berbagai kalangan seperti KPK, media, maupun masyarakat guna bersama-sama melakukan kontrol terhadap anggota dewan. 

Kedua, parpol semestinya lebih selektif dalam merekrut dan menempatkan para kadernya. Uji kelayakan dan kepatutan secara internal partai menjadi layak dilakukan sebelum menentukan orang-orang untuk mewakili partainya sebagai legislator di DPR atau DPRD. Aspek kualitas dan integritas harus menjadi kiteria utama dalam memilih seseorang sebagai wakil rakyat. Parpol juga harus tegas menindak kadernya yang melanggar aturan internal partai dan terlibat praktik korupsi. 

Ketiga, memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih politisi yang nanti menjadi wakilnya di DPR. Politisi yang korup dan parpol yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi sudah selayaknya tidak dipilih lagi pada Pemilihan Umum 2014. 

Keempat, memberikan dukungan penuh terhadap KPK dalam melakukan upaya pencegahan dan penindakan terhadap praktik korup di parlemen. Partai politik juga sebaiknya tidak perlu membela kadernya yang tersangkut kasus korupsi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar