Rabu, 02 Oktober 2013

Perlu Koreksi Pasar

Perlu Koreksi Pasar
Yeka Hendra Fatika  ;  Pengajar di Departemen Agribisnis IPB
KORAN JAKATA, 02 Oktober 2013



Fluktuasi pasokan serta harga kedelai dan daging sapi saat ini membuat publik miris. Pemerintah begitu lemah sehingga kasusnya terulang tiap tahun. Ada dugaan terjadi praktik kartel pangan. Mengusut dugaan kartel memang tidak mudah. Berbagai kasus dugaan kartel yang diajukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), banyak kalah di pengadilan pidana maupun perdata.

Namun, masyarakat hanya dapat berharap agar KPPU mampu membongkar dan mengusut dugaan kartel pangan. Kalau ditelisik lebih jauh, peluang dan keberadaan kartel pangan akibat salah desain kebijakan. Sistem kuota yang tidak transparan dan proporsional membuat peluang persengkongkolan dari beberapa importir besar untuk mengendalikan pasokan dan harga.

Pertanyaannya, apa kepentingan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi peluang secara terbuka akan terjadinya praktik persaingan yang tidak sehat ini? Jika benar, perlu ditelusur ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga, tidak hanya di KPPU.

KPPU perlu kerja ekstrakeras untuk membuktikan adanya kartel. Dengan payung hukum minim, KPPU sulit membuktikan kartel. Terlepas dengan ada tidaknya kartel pangan, dampak perilaku bisnis impor pangan tidak ada bedanya dengan sebuah praktik kartel, setidaknya kartel semu. Indikasinya jelas, distribusi pasokan dan fluktuasi harga dapat dikendalikan penguasa pasokan. Harga pangan yang terjadi tidak lagi mengikuti hukum permintaan dan pasokan, tetapi kepentingan para pemburu rente.

Sentuhan Orde Baru dalam mengurus pangan berubah haluannya sejak Indonesia menghadapi krisis ekonomi. Tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) mengharuskan Indonesia menyerahkan sepenuhnya urusan pangan pada mekanisme pasar. Harapannya, pelaku ekonomi baru bermunculan dan mampu berdaya saing. Harapan IMF tidak terjadi. Sebaliknya, yang tumbuh subur dan menggurita adalah pebisnis bermodal besar. Mereka mampu mengimpor pangan dalam jumlah besar.

Praktik persaingan usaha tidak sehat "berkat" pengaturan tata niaga pangan strategis diserahkan pada mekanisme pasar sebagaimana desakan letter of Intent IMF. Ini mengakibakan produk pertanian menurun dan defisit neraca perdagangan produk pertanian membengkak. Peningkatan anggaran di Kementerian Pertanian pun bukan solusi.

Kartel pangan semu terjadi karena struktur pasar tidak sempurna. Ini tercipta karena pemerintah gagal mengembangkan pertanian berdaya saing, menarik, dan menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Produksi tidak mencukupi peningkatan permintaan pangan yang naik karena jumlah penduduk bertambah.

Berkurangnya daya saing pertanian telah membentuk ikatan kuat antara pelaku yang tersisa di pasar pertanian setelah Bulog dikebiri. Kebanyakan dari pelaku pasar tersebut sebelumnya merupakan rekanan Bulog dan berjumlah relatif banyak. Setelah penyerahan urusan pangan ke mekanisme pasar, secara alamiah jumlah mereka semakin berkurang karena persaingan bisnis sesama importir. Proses persaingan antarimportir mengakibatkan posisi tawar terhadap pemasok makin menguat. Ini menghambat importir baru.

"Control oil and you control nations. Control food and you control the people," kata mantan Menlu Amerika Serikat, Henry Kissinger. Kutipan tersebut kunci utama kebijakan. Siapa yang menguasai pangan akan menguasai orang. Bayangkan, pemerintah mengetahui bahwa elastisitas transmisi harga komoditas pangan terlalu rendah. Kemudian, sistem rantai pasok komoditas pangan tidak efisien. Infrasruktur dan sistem logistik jauh dari memadai.

Biaya transaksi rantai pasok pangan amat tinggi hingga petani menghadapi dua titik ekstrem, oligopsoni di pasar produk pertanian dan oligopoli di pasar faktor produksi. Dalam kondisi ini, kartel pangan semu tumbuh subur. Selanjutnya, mereka mengendalikan pasar yang menyebabkan negara tidak kuasa memperbaiki struktur pasar. Setiap tawaran opsi kebijakan ditunggangi pemburu rente.

Mengapa hal ini dibiarkan? Pemerintah pada akhirnya ragu mengeluarkan kebijakan untuk menghapus kartel pangan karena telanjur besar. Bahkan, mereka menjadi perusahaan-perusahaan yang dipandang penting bagi ekonomi nasional. Kalau sudah demikian, kebijakan pemerintah menjadi setengah hati. Ini bukti pemerintah dikuasai dan dikendalikan kartel.

Solusi

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meredam dampak kartel pangan semu, di antaranya meningkatkan produksi dan efisiensi usaha tani serta tata niaga pangan di hulu. Kemudian, mendorong kebijakan pangan tropis berbasis lokal agar swasembada. Kebijakan ini harus ditopang dengan perluasan lahan, perbaikan infrastruktur. Juga harus ada pembenahan sistem informasi harga pasar, teknologi, dan mengoptimalkan peran badan penyuluh pertanian.

Mengoreksi ulang liberalisasi pasar dengan cara mengaji ulang berbagai perjanjian perdagangan bebas dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional. Tanpa ini, kebijakan produksi pangan tidak akan mendapat insentif apa pun dari pasar bebas.

Lalu, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator pangan melalui instrumen andal untuk menghadapi gejolak harga dan pasokan. Bulog sebagai instrumen kelembagaan harus diperkuat dengan memperluas kapasitasnya dalam mengelola pangan strategis. Dia disertai instrumen stabilisasi yang lengkap, termasuk kewenangan mengelola cadangan pangan pemerintah dan dukungan pembiayaan memadai.

Kapasitas KPPU ditingkatkan dengan mengamendemen UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jika terdapat indikasi penyelewengan kebijakan, KPK harus maju untuk memberantas kartel pangan ini. Tanpa harus menunggu terbukti tidaknya kartel pangan, pemerintah wajib mengoreksi pasar jika mekanismenya merugikan masyarakat. Kartel pangan jauh lebih merugikan daripada korupsi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar