|
MENJELANG 2014, ada banyak tindakan dan kebijakan irasional
yang dibuat para elite dan penguasa terkait pengelolaan Republik. Hal itu di
antaranya hukuman ringan bagi para koruptor di tengah masifnya tindak kejahatan
korupsi, dan kebijakan pemerintah yang kian menyudutkan rakyat.
Kasus korupsi yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi
semakin menggerus harapan bahwa kita bisa memerangi korupsi. Namun, bila dibaca
dengan kacamata tanda-tanda zaman, sejumlah tindakan dan kebijakan tak masuk
akal di atas mengisyaratkan adanya proses pembersihan masyarakat dari kekuatan
destruktif yang merusak peradaban.
Kehilangan
akal budi
Seorang teman mempertanyakan ke mana perginya akal sehat dan
akal budi ketika dua kelompok pelajar yang sedang tawuran menyiramkan air keras
ke jendela bus yang melintas dan membuat 16 penumpang terluka. Kejahatan para
pelajar berusia anak-anak itu tak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat kita
yang lagi sakit.
Kehilangan akal sehat dan akal budi tidak hanya tampak pada
intensitas tawuran para pelajar yang kian menakutkan, tetapi juga pada perilaku
elite dan penguasa yang miskin rasa malu.
Lihatlah bagaimana ulah para koruptor di lembaga DPR, partai,
pemerintahan, dan korporasi. Meski sudah bergelimang gaji besar, fasilitas, dan
kekayaan, mereka tetap saja menjarah uang rakyat. Hasil penjarahan menjadi
deretan perempuan, tumpukan rumah dan mobil mewah, serta beragam kebendaan
lainnya.
Media memberitakan 11 mobil supermewah berderet di rumah
Tubagus Chaeri Wardana, adik Gubernur Banten, yang terlibat kasus suap dalam
Pilkada Kabupaten Lebak. Padahal, lebih dari separuh rumah tangga di Kabupaten
Lebak adalah rumah tangga miskin, ribuan anak balita menderita kurang gizi dan
puluhan di antaranya meninggal akibat gizi buruk. Tak terbayang bagaimana para
koruptor bisa berganti mobil supermewah setiap hari di tengah rakyat yang
kelaparan. Ke mana akal sehat dan akal budi mereka?
Korupsi
terang-terangan
Miris bahwa korupsi dilakukan secara terang-terangan karena
mereka menganggap rakyat tak berdaya. Lihatlah bagaimana Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah membagi-bagi proyek kepada rekanan dan melazimkan setoran 30 persen
kepada pemberi proyek.
Dana hibah terus meningkat, dari Rp 24 miliar (2009) menjadi
Rp 200 miliar (2010), dan meningkat lagi Rp 340 miliar (2011). Indonesia
Corruption Watch (ICW) menengarai dana hibah itu dibagi-bagi kepada sejumlah
lembaga sosial yang dipimpin kerabat gubernur.
Rumah dinas Gubernur Banten yang dibangun dengan uang APBD
senilai Rp 16,4 miliar tak dihuni dan dibiarkan rusak. Gubernur tinggal di
rumah pribadi, tetapi negara harus membayar uang sewa rumah pribadi gubernur
sebesar Rp 250 juta per tahun. Tak heran bila APBD Provinsi Banten melonjak
dari Rp 200 miliar (tahun 2006) menjadi Rp 3,4 triliun (tahun 2011), sementara
rakyat Banten tetap saja terbelakang.
Kian banyaknya koruptor yang ditangkap KPK membuat rakyat
bisa berdiri tegak dan menyorakkan kemenangan. Sayangnya, riuh kemenangan ini
tak berlangsung lama dan akan berganti dengan senyum kemenangan para koruptor
yang mendapatkan hukuman ringan.
Kuasa para koruptor sudah menggurita dan mengubah trias
politika menjadi trias koruptika. Mereka berbagi ruang dan kewenangan dalam
berkorupsi. Itulah sebabnya mengapa koruptor berani bersumpah potong leher,
potong jari, dan gantung kepala. Hal itu disebabkan dengan trias koruptika,
rakyat tak punya kuasa menghukum mereka.
Bukan hanya korupsi, kebijakan pemerintah juga menjarah hak
rakyat. Arus deras investasi yang menjarah lahan, hutan, dan sumber penghidupan
rakyat kian mempersempit ruang hidup rakyat. Catatan BPN menunjukkan,
sedikitnya 56 persen properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2
persen penduduk. Akibatnya, konflik antarwarga, antara warga dan korporasi,
serta antara warga dan pemerintah kian luas. Intensitas dan ragam bentuk
kejahatan akibat tekanan ekonomi kian besar dan menakutkan.
Menjarah
rakyat
Penjarahan tanah, hutan, dan ruang hidup rakyat kian masif
dengan dikeluarkannya kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia (MP3EI). Pulau besar dan kecil dikapling-kapling dan diserahkan
pengelolaannya kepada korporasi. Rakyat kian sulit mengakses sumber daya
ekonomi. Di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, misalnya, dalam
satu kecamatan terdapat sedikitnya 20 perusahaan perkebunan sawit.
Dijadikannya pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan pembangunan,
dengan mengandalkan investasi (asing) dan konsumsi, membuat posisi rakyat kecil
tak lebih sebagai penghambat pembangunan. Tak heran, awal tahun 2013 Menteri
Pertanian membuat kejutan dengan menyampaikan harapan agar jumlah petani di
Indonesia makin berkurang. Dengan demikian, pemerintah kian leluasa mengimpor
pangan dan menerapkan kebijakan prokorporasi.
Belum lama ini, nelayan dilarang melaut ketika pemerintah
menjalankan program Sail Komodo untuk promosi pariwisata di NTT. Pemerintah
juga membiarkan sawah petani beralih fungsi dijarah korporasi.
Tidak heran ketika rakyat kesulitan mendapatkan pangan murah
akibat harga pangan terus melonjak,
Menteri Keuangan justru mengajak rakyat
giat berbelanja. Tidak ada empati sedikit pun terhadap kesulitan rakyat. Di
saat rakyat mendambakan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau,
pemerintah mengeluarkan kebijakan mobil murah. Bungkusnya atas nama
kesejahteraan rakyat, tetapi isinya tak lebih dari kepentingan kekuasaan
menjelang 2014.
Peradaban baru
Pada musim dingin tahun 1996 di Colorado, Amerika Serikat,
para pemimpin spiritual suku-suku asli di Benua Amerika berkumpul dan
menyampaikan deklarasi bahwa era lama telah berakhir dan bangsa manusia memasuki
zaman baru.
Era lama ditandai dominasi energi maskulin yang mengutamakan
persaingan, agresi, eksklusivitas, dominasi, dan eksploitasi alam. Bangsa
manusia memasuki peradaban baru di mana perempuan dan laki-laki memiliki
derajat sama. Peradaban baru ini ditandai energi feminin positif yang
mengutamakan kerja sama, non-agresi, inklusivitas, pelayanan, dan hidup
harmonis dengan alam.
Menurut deklarasi itu, lahirnya peradaban baru diawali dengan
era pembersihan besar-besaran yang hadir dalam rupa gempa bumi, gelombang
tinggi, letusan gunung berapi, tsunami, perubahan iklim, wabah penyakit,
konflik/kerusuhan, lumpuhnya sistem moneter, meluasnya migrasi paksa dan
berbagai bencana lainnya.
Selama masa pembersihan, Bumi melepaskan energi baru. Energi
ini getarannya membuat manusia yang energinya destruktif terhadap peradaban
akan kehilangan akal sehat dan melakukan kesalahan fatal yang menghancurkan
diri sendiri. Sebaliknya, mereka yang energinya konstruktif terhadap peradaban
justru akan semakin menonjol prestasi dan kebaikannya.
Dengan membaca tanda-tanda zaman, kita bisa menempatkan
terungkapnya demikian banyak kasus korupsi, gejala hilangnya akal sehat dan
akal budi para elite dan penguasa sebagai isyarat lahirnya Indonesia baru.
Republik tengah dibersihkan dari kekuatan destruktif yang merusak peradaban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar