|
Pengantar
Redaksi
Merayakan
Hari Kemerdekaan Ke-68 Republik Indonesia, Desk Opini ”Kompas” bersama Lingkar
Muda Indonesia (LMI) pada Kamis, 12 September 2013, menyelenggarakan Diskusi
Panel Seri Kedua 2013 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema ”Pemimpin yang
Menyelesaikan Masalah”, diskusi menampilkan pembicara Syamsuddin Haris
(peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik LIPI), Acep Iwan Saidi (Ketua
Forum Studi Kebudayaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), Rimawan Pradiptyo
(peneliti pada Penelitian dan Pelatihan Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UGM), dan Luky Djuniardi Djani (peneliti pada Institute for
Strategic Analysis). Hasil diskusi dirangkum Febri Diansyah dan Donal Fariz
dari LMI serta wartawan ”Kompas” Salomo Simanungkalit, diturunkan pada halaman
6 dan 7 hari ini.
KOMPAS dan Lingkar Muda Indonesia telah melakukan diskusi dengan tema yang sangat mudah diucapkan, tetapi sungguh sulit dibayangkan. Apalagi di tengah kepemimpinan Indonesia yang tampak tidak berdaya mengeluarkan bangsa ini dari benang kusut masalah, yang dilakukan seperti memoles masalah atau menyimpan kerumitan di bawah karpet.
Pemimpin yang
menyelesaikan masalah. Adakah? Bagaimana mencarinya? Atau pertanyaan yang paling
mendasar, apakah sistem seleksi kepemimpinan yang tersedia saat ini memberi
ruang untuk calon pemimpin muncul ke permukaan? Dan, apa sebenarnya yang
menjadi masalah bangsa ini sekarang?
Hal mendasar
ini hampir tidak pernah dibicarakan dalam diskursus perburuan pemimpin
akhir-akhir ini. Seperti diungkapkan Luky Djuniardi Djani, apa yang disebutnya
sebagai pendangkalan wacana. Hal-hal yang dibicarakan akhir-akhir ini cenderung
melompat dari aspek yang remeh-temeh, berputar dalam angka-angka survei tanpa
pernah mengetahui sebenarnya yang menjadi masalah dalam seleksi kepemimpinan
dan tantangan yang harus diselesaikan para pemimpin tersebut nantinya.
Ketidakpahaman ini membuat kita terjebak dalam kubangan persoalan tanpa pernah
tahu secara persis problematika yang sedang dihadapi. Ia menyindir, narasi yang
berkembang tidak lebih soal rakernas partai, konvensi, hingga blusukan.
Syamsuddin
Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pun menarik persoalan ini jauh ke
belakang. Bagaimana mungkin Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang
menyelesaikan masalah jika regulasi dan situasi politik tidak terjebak pada
kelangkaan dan ”tercemarnya” partai politik sebagai otoritas tunggal yang
mengatur sumber kepemimpinan? ”Jadi, walaupun parpol adalah agen utama sistem
demokrasi kita, saya berpendapat bahwa membiarkan parpol yang saat ini tengah
mengalami krisis kepercayaan publik sebagai satu-satunya institusi penentu
dalam seleksi pemimpin barangkali sudah waktunya dikoreksi,” ujarnya. Bahkan
kinerja partai politik justru adalah masalah itu sendiri.
Jika membaca
UUD 1945, memang partai politik ditempatkan sebagai otoritas tunggal yang dapat
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden serta sejumlah kewenangan lain
pemilihan pejabat publik yang diberikan kepada parlemen. Akar masalah inilah
yang sering luput dari pembicaraan tentang mencari pemimpin di Indonesia.
Karena itulah, Kompas dan Lingkar Muda Indonesia membahasnya dalam
sebuah diskusi terbuka.
Memetakan persoalan
Hal yang paling
banyak disorot oleh narasumber, selain mengkritik fondasi seleksi kepemimpinan,
adalah tentang mimpi Indonesia ke depan. Adakah calon pemimpin saat ini yang
punya mimpi tentang Indonesia ke depan? Bukan hanya lima tahun, melainkan 30
tahun ke depan atau lebih. Hampir tak ada. Sejumlah nama yang muncul tetap
berkutat pada wacana-wacana yang tidak substansial. Kegenitan dan nuansa
perebutan kekuasaan lebih menonjol ketimbang imaji tentang Indonesia. Inilah
yang disentil dalam presentasi Rimawan Pradiptyo. Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengurai kemelut masalah yang terjadi
dan bahkan kebutaan kita memahami realitas yang tampak, tetapi tak terpahami
dengan baik.
Sejumlah
ketidakpastian yang dibiarkan berkonsekuensi langsung terhadap perekonomian,
seperti peningkatan transactional cost. Perubahan struktural yang terjadi
pasca-reformasi adalah incompatibility. Kasus Indonesia mirip dengan yang
terjadi di Inggris pascaperang saudara 1651. Jadi, Indonesia terlambat lebih
dari 350 tahun. Analogi sederhana yang dapat digunakan adalah seperti mesin
Colt-T 120 yang dibungkus bodi Alphard. Pembahasan anggaran di parlemen adalah
salah satu contoh yang terbalik-balik. Kekuasaan DPR yang berlebihan hingga
satuan anggaran yang sangat rinci adalah bukti problematika yang bersifat
struktural dalam sistem anggaran Indonesia. Kenapa ini penting? Karena anggaran
yang dibahas dengan pengetahuan dan waktu yang tidak mencukupi di parlemen akan
berkonsekuensi langsung terhadap operasional negara ini setahun ke depan.
Anggaran yang dimaksud adalah ABPN.
Yang
diungkapkan Rimawan adalah masalah nyata yang harus diselesaikan segera oleh
para pemimpin. Betapa tidak, kebocoran anggaran atau korupsi yang marak terjadi
akhir-akhir ini justru dimulai dari pembahasan anggaran di DPR. Persekongkolan
antara oknum anggota DPR dari partai tertentu dan calo anggaran serta oknum
kementerian/lembaga menghasilkan anggaran yang alih-alih berorientasi kepada
kepentingan rakyat, tetapi justru menjadi sarana pembagian rente ekonomi.
Sejumlah kasus korupsi besar yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR dari
beberapa fraksi memperkuat analisis ini.
Sebutlah,
penyidikan kasus Hambalang di Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjerat mantan
Ketua Umum dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, pengadaan Al Quran yang
menjerat anggota DPR dari Fraksi Golkar, kasus DPID dengan terpidana dari
Fraksi PAN, suap dalam proyek Kementerian Pendidikan Nasional yang menjerat
mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, dan kasus lainnya. Jika
masalah pembahasan anggaran ini dapat diselesaikan dengan penataan kewenangan
dan pengawasan yang maksimal dalam pembahasan rancangan APBN, agaknya kita
telah dapat berjalan satu langkah ke depan.
Distribusi
sumber daya alam juga mendapat sorotan yang tajam. Penyebaran dan pengelolaan
wilayah tambang yang ditengarai dominan dikuasai perusahaan asing merupakan
pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pemimpin Indonesia ke depan. Hal ini
tentu tidak semata soal sikap antiasing, tetapi lebih dalam, ini adalah amanat
konstitusi. Mirip dengan regulasi tentang pembahasan anggaran yang dilaksanakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945),
ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 juga memberikan perintah yang jelas kepada
pemegang tampuk kekuasaan, yaitu ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Ada dua makna
yang sepatutnya dipahami secara jelas oleh para pemimpin, Pertama, penguasaan
bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara. Kedua, tujuan penggunaannya adalah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini tentulah dapat menjadi dasar
yang kuat untuk melakukan redistribusi wilayah pertambangan, eksplorasi dan
eksploitasi migas, serta aturan-aturan yang lebih teknis tentang pembagian
kewajiban dan keuntungan yang diterima negara dalam sektor sumber daya alam
ini. Menjadi pertanyaan, apakah pengurasan terhadap hasil bumi Indonesia telah
benar-benar memberikan sumbangan terhadap kemakmuran rakyat? Bagaimana para
pemimpin menjelaskan fenomena kemiskinan dan pelanggaran hak asasi yang justru
terjadi di sekitar kawasan tambang?
Alternatif dari kampung
Kembali pada
yang disinggung Syamsuddin Haris bahwa salah satu masalah kita adalah sumber
dan seleksi kepemimpinan yang terpusat pada kekuasaan partai politik. Padahal,
partai politik dengan organ dan para pengurusnya adalah masalah itu sendiri.
Maka, salah satu alternatif yang dapat dipikirkan untuk mencari mutiara di
dalam lumpur itu adalah dari daerah-daerah. Sejumlah kepala daerah yang
ternyata berhasil memimpin menempatkan rakyat sebagai pemilik republik (bukan
sekadar sebagai pelengkap penderita dan korban kampanye kosong) serta relatif
terhindar dari benang kusut rente ekonomi dapat menjadi alternatif sumber
kepemimpinan.
Meskipun memang
masih menjadi persoalan karena konstitusi tetap menempatkan partai politik
sebagai agen tunggal pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden (Pasal
6A Ayat (2) UUD 1945), agaknya hal ini dapat diseriusi mengingat kita jenuh
dengan dagelan dan kegenitan para bakal calon presiden yang nyaris setiap hari
mengisi ruang publik. Seperti ingin menghipnotis agar masyarakat melupakan
dosa, tanggung jawab, atau bahkan darah yang pernah tertumpah karenanya.
Mampukah kita mencari pemimpin yang sesungguhnya? Seperti diungkapkan Colin
Powell, leadership is solving problem. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar