Selasa, 08 Oktober 2013

Pemimpin Penyelesai Masalah

Pemimpin yang Menyelesaikan Masalah
Pemimpin Penyelesai Masalah
KOMPAS, 08 Oktober 2013


Pengantar Redaksi
Merayakan Hari Kemerdekaan Ke-68 Republik Indonesia, Desk Opini ”Kompas” bersama Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada Kamis, 12 September 2013, menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Kedua 2013 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema ”Pemimpin yang Menyelesaikan Masalah”, diskusi menampilkan pembicara Syamsuddin Haris (peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik LIPI), Acep Iwan Saidi (Ketua Forum Studi Kebudayaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), Rimawan Pradiptyo (peneliti pada Penelitian dan Pelatihan Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM), dan Luky Djuniardi Djani (peneliti pada Institute for Strategic Analysis). Hasil diskusi dirangkum Febri Diansyah dan Donal Fariz dari LMI serta wartawan ”Kompas” Salomo Simanungkalit, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.

KOMPAS dan Lingkar Muda Indonesia telah melakukan diskusi dengan tema yang sangat mudah diucapkan, tetapi sungguh sulit dibayangkan. Apalagi di tengah kepemimpinan Indonesia yang tampak tidak berdaya mengeluarkan bangsa ini dari benang kusut masalah, yang dilakukan seperti memoles masalah atau menyimpan kerumitan di bawah karpet.

Pemimpin yang menyelesaikan masalah. Adakah? Bagaimana mencarinya? Atau pertanyaan yang paling mendasar, apakah sistem seleksi kepemimpinan yang tersedia saat ini memberi ruang untuk calon pemimpin muncul ke permukaan? Dan, apa sebenarnya yang menjadi masalah bangsa ini sekarang?
Hal mendasar ini hampir tidak pernah dibicarakan dalam diskursus perburuan pemimpin akhir-akhir ini. Seperti diungkapkan Luky Djuniardi Djani, apa yang disebutnya sebagai pendangkalan wacana. Hal-hal yang dibicarakan akhir-akhir ini cenderung melompat dari aspek yang remeh-temeh, berputar dalam angka-angka survei tanpa pernah mengetahui sebenarnya yang menjadi masalah dalam seleksi kepemimpinan dan tantangan yang harus diselesaikan para pemimpin tersebut nantinya. Ketidakpahaman ini membuat kita terjebak dalam kubangan persoalan tanpa pernah tahu secara persis problematika yang sedang dihadapi. Ia menyindir, narasi yang berkembang tidak lebih soal rakernas partai, konvensi, hingga blusukan.
Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pun menarik persoalan ini jauh ke belakang. Bagaimana mungkin Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang menyelesaikan masalah jika regulasi dan situasi politik tidak terjebak pada kelangkaan dan ”tercemarnya” partai politik sebagai otoritas tunggal yang mengatur sumber kepemimpinan? ”Jadi, walaupun parpol adalah agen utama sistem demokrasi kita, saya berpendapat bahwa membiarkan parpol yang saat ini tengah mengalami krisis kepercayaan publik sebagai satu-satunya institusi penentu dalam seleksi pemimpin barangkali sudah waktunya dikoreksi,” ujarnya. Bahkan kinerja partai politik justru adalah masalah itu sendiri.
Jika membaca UUD 1945, memang partai politik ditempatkan sebagai otoritas tunggal yang dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden serta sejumlah kewenangan lain pemilihan pejabat publik yang diberikan kepada parlemen. Akar masalah inilah yang sering luput dari pembicaraan tentang mencari pemimpin di Indonesia. Karena itulah, Kompas dan Lingkar Muda Indonesia membahasnya dalam sebuah diskusi terbuka.
Memetakan persoalan
Hal yang paling banyak disorot oleh narasumber, selain mengkritik fondasi seleksi kepemimpinan, adalah tentang mimpi Indonesia ke depan. Adakah calon pemimpin saat ini yang punya mimpi tentang Indonesia ke depan? Bukan hanya lima tahun, melainkan 30 tahun ke depan atau lebih. Hampir tak ada. Sejumlah nama yang muncul tetap berkutat pada wacana-wacana yang tidak substansial. Kegenitan dan nuansa perebutan kekuasaan lebih menonjol ketimbang imaji tentang Indonesia. Inilah yang disentil dalam presentasi Rimawan Pradiptyo. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengurai kemelut masalah yang terjadi dan bahkan kebutaan kita memahami realitas yang tampak, tetapi tak terpahami dengan baik.
Sejumlah ketidakpastian yang dibiarkan berkonsekuensi langsung terhadap perekonomian, seperti peningkatan transactional cost. Perubahan struktural yang terjadi pasca-reformasi adalah incompatibility. Kasus Indonesia mirip dengan yang terjadi di Inggris pascaperang saudara 1651. Jadi, Indonesia terlambat lebih dari 350 tahun. Analogi sederhana yang dapat digunakan adalah seperti mesin Colt-T 120 yang dibungkus bodi Alphard. Pembahasan anggaran di parlemen adalah salah satu contoh yang terbalik-balik. Kekuasaan DPR yang berlebihan hingga satuan anggaran yang sangat rinci adalah bukti problematika yang bersifat struktural dalam sistem anggaran Indonesia. Kenapa ini penting? Karena anggaran yang dibahas dengan pengetahuan dan waktu yang tidak mencukupi di parlemen akan berkonsekuensi langsung terhadap operasional negara ini setahun ke depan. Anggaran yang dimaksud adalah ABPN.
Yang diungkapkan Rimawan adalah masalah nyata yang harus diselesaikan segera oleh para pemimpin. Betapa tidak, kebocoran anggaran atau korupsi yang marak terjadi akhir-akhir ini justru dimulai dari pembahasan anggaran di DPR. Persekongkolan antara oknum anggota DPR dari partai tertentu dan calo anggaran serta oknum kementerian/lembaga menghasilkan anggaran yang alih-alih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tetapi justru menjadi sarana pembagian rente ekonomi. Sejumlah kasus korupsi besar yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR dari beberapa fraksi memperkuat analisis ini.
Sebutlah, penyidikan kasus Hambalang di Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjerat mantan Ketua Umum dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, pengadaan Al Quran yang menjerat anggota DPR dari Fraksi Golkar, kasus DPID dengan terpidana dari Fraksi PAN, suap dalam proyek Kementerian Pendidikan Nasional yang menjerat mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, dan kasus lainnya. Jika masalah pembahasan anggaran ini dapat diselesaikan dengan penataan kewenangan dan pengawasan yang maksimal dalam pembahasan rancangan APBN, agaknya kita telah dapat berjalan satu langkah ke depan.
Distribusi sumber daya alam juga mendapat sorotan yang tajam. Penyebaran dan pengelolaan wilayah tambang yang ditengarai dominan dikuasai perusahaan asing merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pemimpin Indonesia ke depan. Hal ini tentu tidak semata soal sikap antiasing, tetapi lebih dalam, ini adalah amanat konstitusi. Mirip dengan regulasi tentang pembahasan anggaran yang dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945), ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 juga memberikan perintah yang jelas kepada pemegang tampuk kekuasaan, yaitu ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Ada dua makna yang sepatutnya dipahami secara jelas oleh para pemimpin, Pertama, penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara. Kedua, tujuan penggunaannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini tentulah dapat menjadi dasar yang kuat untuk melakukan redistribusi wilayah pertambangan, eksplorasi dan eksploitasi migas, serta aturan-aturan yang lebih teknis tentang pembagian kewajiban dan keuntungan yang diterima negara dalam sektor sumber daya alam ini. Menjadi pertanyaan, apakah pengurasan terhadap hasil bumi Indonesia telah benar-benar memberikan sumbangan terhadap kemakmuran rakyat? Bagaimana para pemimpin menjelaskan fenomena kemiskinan dan pelanggaran hak asasi yang justru terjadi di sekitar kawasan tambang?
Alternatif dari kampung
Kembali pada yang disinggung Syamsuddin Haris bahwa salah satu masalah kita adalah sumber dan seleksi kepemimpinan yang terpusat pada kekuasaan partai politik. Padahal, partai politik dengan organ dan para pengurusnya adalah masalah itu sendiri. Maka, salah satu alternatif yang dapat dipikirkan untuk mencari mutiara di dalam lumpur itu adalah dari daerah-daerah. Sejumlah kepala daerah yang ternyata berhasil memimpin menempatkan rakyat sebagai pemilik republik (bukan sekadar sebagai pelengkap penderita dan korban kampanye kosong) serta relatif terhindar dari benang kusut rente ekonomi dapat menjadi alternatif sumber kepemimpinan.

Meskipun memang masih menjadi persoalan karena konstitusi tetap menempatkan partai politik sebagai agen tunggal pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden (Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945), agaknya hal ini dapat diseriusi mengingat kita jenuh dengan dagelan dan kegenitan para bakal calon presiden yang nyaris setiap hari mengisi ruang publik. Seperti ingin menghipnotis agar masyarakat melupakan dosa, tanggung jawab, atau bahkan darah yang pernah tertumpah karenanya. Mampukah kita mencari pemimpin yang sesungguhnya? Seperti diungkapkan Colin Powell, leadership is solving problem. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar