Selasa, 08 Oktober 2013

Terkejut dan Heran

Terkejut dan Heran
Sukardi Rinakit  ;  Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
KOMPAS, 08 Oktober 2013


HARI ini, 8 Oktober 2013, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, mengadakan uji publik terhadap tujuh calon dekan. Mereka adalah Arie Setiabudi Soesilo, Bagus Aryo, Chusnul Mari’yah, Fredy BL Tobing, Jajang Gunawijaya, Pinckey Triputra, dan Zainuddin Djafar.
Dengan gelar akademis tertinggi yang disandang para kandidat, panitia seleksi yang dipimpin Ani Soetjipto sejak awal bertekad menjunjung asas imparsial, independen, dan transparan. Panitia seleksi berharap siapa pun yang terpilih nanti tidak hanya mampu memajukan dan menjaga nama baik fakultas dan universitas, tetapi juga melahirkan sarjana-sarjana yang terpelajar.
Sarjana yang terpelajar itulah salah satu kemiskinan bangsa Indonesia kini. Yang tersebar umumnya hanya sarjana pintar yang karena bukan terpelajar, mereka lemah rasa asih dan asuhnya, dangkal secara kultural, dan kurang arif. Semua itu bermuara pada berkaratnya perilaku korup di tengah masyarakat, utamanya yang dilakukan pejabat publik dan politisi. Mereka mungkin sarjana pintar, tetapi tidak terpelajar.
Pendangkalan politik
Ranah politik di Republik sekarang ini dipenuhi sarjana pintar, tetapi kurang terpelajar. Adagium ”berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi” seakan runtuh justru oleh perilaku Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap berkenaan dengan sengketa pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Ketika saya terkejut dan heran dengan masalah itu, dari ujung telepon Emak menasihati, ”Ojo gampang kaget lan gumun (jangan mudah terkejut dan heran).”
Berbeda dengan sarjana terpelajar yang ingin meletakkan satu batu bata kebajikan untuk membangun peradaban, kaum pintar lebih berorientasi mengejar dan menumpuk kekayaan serta merengkuh kekuasaan. Gerak agresif dan manuver mereka itu membuat preferensi politik masyarakat bergeser.
Dilihat dari perspektif budaya politik, masyarakat Indonesia masa kini mempunyai preferensi yang kuat terhadap performa figur. Ini menggeser preferensi ideologi dan partai politik yang masing-masing tumbuh pada era Orde Lama dan Orde Baru. Era Orde Lama, seperti dicatat Feith dan Castle (1970), pilihan politik warga ditentukan ketertarikan dan keterikatan ideologi. Ada nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis, komunisme, dan irisan dari aliran-aliran tersebut.
Pada era Orde Baru, orientasi politik masyarakat bergeser dari daya magis ideologi ke institusi (partai). Di sini, trikotomi ”santri, abangan, priayi” dari Geertz (1950) bermetamorfosis menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pada tataran ini, gejala pragmatisme di segala bidang mulai bertunas.
Sementara pada era reformasi sampai sekarang, preferensi politik warga menjadi semakin dangkal. Mereka tidak berorientasi lagi pada daya magis ideologi ataupun keterikatan atas partai, tetapi sebatas ketertarikan terhadap figur. Performa figur tersebut semakin menghebat ketika bertemu dengan maraknya budaya pop dan desain politik demokratis yang mengharuskan pemilihan langsung.
Dengan bahasa lain, sejarah politik kita di era pascareformasi adalah sejarah tokoh, bukan sejarah partai. Tidak mengherankan ketika Megawati Soekarnoputri berkibar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangi Pemilu 1999. Demikian juga dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Kini Joko Widodo (Jokowi) yang otentik dan gemar blusukan  menjadi magnet kuat bagi PDI-P menjelang kontestasi politik 2014.
Preferensi politik warga yang semakin dangkal tersebut membuat partai politik berada di zona nyaman. Kecuali PDI-P yang kini banyak melahirkan politisi muda yang mumpuni, partai politik lain pada umumnya cenderung mengambil jalan pintas. Mereka mengajak pengusaha, purnawirawan TNI/Polri, serta artis untuk bergabung dan menjadi calon anggota legislatif atau kepala daerah.
Bagi partai, pengusaha menjadi jawaban atas beratnya ongkos politik pemilihan langsung. Adapun purnawirawan TNI/Polri yang mempunyai pengalaman operasi intelijen dan mobilisasi massa menjadi ujung tombak ketika kontestasi politik berlangsung. Sementara artis diharapkan menjadi pendulang suara di tengah kuatnya tarikan budaya pop. Dari wilayah ini, muncul politisi mumpuni, seperti Rieke Dyah Pitaloka dan Nurul Arifin.
Langkah berani
Selain ketiga profesi tersebut, partai politik tentu saja banyak diisi para sarjana pintar. Pendangkalan preferensi politik warga dan keberadaan partai di zona nyaman akhirnya mengantarkan mereka menjadi pejabat publik. Namun, karena tidak terpelajar, perilaku politik mereka sering membuat masyarakat terkejut dan heran. Sudah di posisi puncak pun, perilaku dan omongannya tidak terjaga. Mereka juga tuli terhadap aspirasi rakyat.
Namun, di tengah dominasi perilaku politik kaum pintar yang tidak memanggul  virtue (kebajikan) politik tersebut, kita dikejutkan serentetan tindakan berani dari segelintir orang terpelajar yang bernaung di KPK. Ini yang membuat optimisme publik akan masa depan Indonesia yang lebih baik tetap menyala. Seharusnya, partai politik juga berani melakukan langkah berani yang sama, yaitu membuang kader-kadernya yang korup.

Jika itu terjadi, sesuai dengan pesan Emak, tetap saja kita tidak boleh gampang kaget lan gumun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar