|
HARI ini, 8
Oktober 2013, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Depok, Jawa Barat, mengadakan uji publik terhadap tujuh calon dekan. Mereka adalah
Arie Setiabudi Soesilo, Bagus Aryo, Chusnul Mari’yah, Fredy BL Tobing, Jajang
Gunawijaya, Pinckey Triputra, dan Zainuddin Djafar.
Dengan gelar
akademis tertinggi yang disandang para kandidat, panitia seleksi yang dipimpin
Ani Soetjipto sejak awal bertekad menjunjung asas imparsial, independen, dan
transparan. Panitia seleksi berharap siapa pun yang terpilih nanti tidak hanya
mampu memajukan dan menjaga nama baik fakultas dan universitas, tetapi juga
melahirkan sarjana-sarjana yang terpelajar.
Sarjana yang
terpelajar itulah salah satu kemiskinan bangsa Indonesia kini. Yang tersebar
umumnya hanya sarjana pintar yang karena bukan terpelajar, mereka lemah rasa
asih dan asuhnya, dangkal secara kultural, dan kurang arif. Semua itu bermuara
pada berkaratnya perilaku korup di tengah masyarakat, utamanya yang dilakukan
pejabat publik dan politisi. Mereka mungkin sarjana pintar, tetapi tidak
terpelajar.
Pendangkalan politik
Ranah politik
di Republik sekarang ini dipenuhi sarjana pintar, tetapi kurang terpelajar. Adagium
”berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi” seakan runtuh
justru oleh perilaku Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang ditangkap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap berkenaan dengan
sengketa pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Ketika saya terkejut dan heran
dengan masalah itu, dari ujung telepon Emak menasihati, ”Ojo gampang kaget lan
gumun (jangan mudah terkejut dan heran).”
Berbeda dengan
sarjana terpelajar yang ingin meletakkan satu batu bata kebajikan untuk
membangun peradaban, kaum pintar lebih berorientasi mengejar dan menumpuk
kekayaan serta merengkuh kekuasaan. Gerak agresif dan manuver mereka itu
membuat preferensi politik masyarakat bergeser.
Dilihat dari
perspektif budaya politik, masyarakat Indonesia masa kini mempunyai preferensi
yang kuat terhadap performa figur. Ini menggeser preferensi ideologi dan partai
politik yang masing-masing tumbuh pada era Orde Lama dan Orde Baru. Era Orde
Lama, seperti dicatat Feith dan Castle (1970), pilihan politik warga ditentukan
ketertarikan dan keterikatan ideologi. Ada nasionalisme radikal,
tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis, komunisme, dan irisan dari
aliran-aliran tersebut.
Pada era Orde
Baru, orientasi politik masyarakat bergeser dari daya magis ideologi ke
institusi (partai). Di sini, trikotomi ”santri, abangan, priayi” dari Geertz
(1950) bermetamorfosis menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pada tataran ini,
gejala pragmatisme di segala bidang mulai bertunas.
Sementara pada
era reformasi sampai sekarang, preferensi politik warga menjadi semakin
dangkal. Mereka tidak berorientasi lagi pada daya magis ideologi ataupun
keterikatan atas partai, tetapi sebatas ketertarikan terhadap figur. Performa
figur tersebut semakin menghebat ketika bertemu dengan maraknya budaya pop dan
desain politik demokratis yang mengharuskan pemilihan langsung.
Dengan bahasa
lain, sejarah politik kita di era pascareformasi adalah sejarah tokoh, bukan sejarah
partai. Tidak mengherankan ketika Megawati Soekarnoputri berkibar, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangi Pemilu 1999. Demikian juga
dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Kini Joko
Widodo (Jokowi) yang otentik dan gemar blusukan menjadi magnet kuat
bagi PDI-P menjelang kontestasi politik 2014.
Preferensi
politik warga yang semakin dangkal tersebut membuat partai politik berada di
zona nyaman. Kecuali PDI-P yang kini banyak melahirkan politisi muda yang
mumpuni, partai politik lain pada umumnya cenderung mengambil jalan pintas.
Mereka mengajak pengusaha, purnawirawan TNI/Polri, serta artis untuk bergabung
dan menjadi calon anggota legislatif atau kepala daerah.
Bagi partai,
pengusaha menjadi jawaban atas beratnya ongkos politik pemilihan langsung.
Adapun purnawirawan TNI/Polri yang mempunyai pengalaman operasi intelijen dan
mobilisasi massa menjadi ujung tombak ketika kontestasi politik berlangsung.
Sementara artis diharapkan menjadi pendulang suara di tengah kuatnya tarikan
budaya pop. Dari wilayah ini, muncul politisi mumpuni, seperti Rieke Dyah
Pitaloka dan Nurul Arifin.
Langkah berani
Selain ketiga
profesi tersebut, partai politik tentu saja banyak diisi para sarjana pintar.
Pendangkalan preferensi politik warga dan keberadaan partai di zona nyaman
akhirnya mengantarkan mereka menjadi pejabat publik. Namun, karena tidak
terpelajar, perilaku politik mereka sering membuat masyarakat terkejut dan
heran. Sudah di posisi puncak pun, perilaku dan omongannya tidak terjaga.
Mereka juga tuli terhadap aspirasi rakyat.
Namun, di
tengah dominasi perilaku politik kaum pintar yang tidak memanggul virtue (kebajikan) politik
tersebut, kita dikejutkan serentetan tindakan berani dari segelintir orang
terpelajar yang bernaung di KPK. Ini yang membuat optimisme publik akan masa
depan Indonesia yang lebih baik tetap menyala. Seharusnya, partai politik juga
berani melakukan langkah berani yang sama, yaitu membuang kader-kadernya yang
korup.
Jika itu
terjadi, sesuai dengan pesan Emak, tetap saja kita tidak boleh gampang kaget lan gumun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar