Minggu, 22 September 2013

Utopia Berswasembada Kedelai

Utopia Berswasembada Kedelai
Toto Subandriyo  ;   Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed,
Asisten Administrasi Pem­bangunan Sekda Kabupaten Tegal
SUARA MERDEKA, 21 September 2013


“Kunci utama pencapaian target swasembada kedelai adalah peningkatan luas areal tanam dan panen permanen”

GONJANG-GANJING terkait dengan kedelai di negeri ini sepertinya belum akan berakhir, bahkan memasuki babak baru. Perajin tempe/tahu di sejumlah daerah telah menunaikan ancaman mogok produksi. Tuntutan utama mereka meminta pemerintah konsisten melaksanakan aturan tentang harga patokan pembelian (HPP). Menurut ketentuan tersebut, pembelian dari petani dipatok Rp 7.000/kg, sedangkan penjualan ke perajin Rp 7.450/kg.

Gonjang-ganjing seperti itu merupakan kali ketiga selama 5 tahun terakhir. Pertengahan Januari 2008, ribuan perajin tempe se-Jakarta bahkan menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menuntut pemerintah segera menstabilkan harga kedelai yang kala itu tak terkendali.

Realitas itu merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan kebutuhan kedelai impor. Tanpa upaya serius mengatasi substansi permasalahan, yaitu rendahnya produksi kedelai nasional dan tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi dalam negeri oleh produksi domestik, persoalan itu akan selalu berulang.

Secara historis, impor kedelai Indonesia seperti dilaporkan Bokhuis dan Von Libbenstein (1932), terjadi sejak 1928 dari Manchuria, meski baru 63.000 ton/tahun. Resesi ekonomi dunia yang melanda tahun 1934 membuat pemerintah kolonial Belanda melarang impor kedelai,  menggantinya dengan program peningkatan produksi kedelai dalam negeri.

Kebetulan saat itu jumlah penduduk masih sedikit dan indeks pertanaman padi baru sekali setahun sehingga masih banyak lahan tidak ditanami (bero). Bantuan benih unggul diberikan kepada petani yang belum pernah menanam kedelai. Meski produktivitasnya baru sekitar 6 kuintal/ha, upaya itu mampu memenuhi kebutuhan kedelai domestik.

Seiring pertambahan jumlah penduduk dan konsumen tempe, kekurangan kedelai mulai terasa pada awal 1960-an. Pemerintah Orde Lama kemudian mencanangkan program peningkatan produksi kedelai pada 1964, rekomendasi dari Lokakarya Kedelai di Bogor pada tahun yang sama.

Dalam perjalanan waktu, stagnasi produksi kedelai dalam negeri mengakibatkan volume impor terus membengkak. Meski ada peluang sangat besar dalam agribisnis kedelai, animo petani untuk menanam kedelai sangat kurang. Padahal banyak program peningkatan produksi kedelai digulirkan seperti Program Gema Palagung dan Gerakan Kedelai Bangkit untuk merintis upaya swasembada kedelai pada awal 2000.

Tahun 2009 pemerintah mencanangkan target swasembada kedelai 2,7 juta ton yang diraih tahun 2011, namun target tersebut meleset dan diundur pada 2014. Target tersebut layaknya ungkapan jauh panggang dari api. Hingga akhir 2013, menurut Angka Ramalan I BPS, produksi kedelai nasional 2013 hanya 847,16 ribu ton biji kering. Apakah benar target swasembada kedelai hanya utopia?

Sebenarnya untuk mewujudkan swasembada kedelai bukan utopia karena republik ini pernah mencapai prestasi swasembada kedelai pada 1992. Tahun itu luas tanam kedelai mencapai 1,67 juta ha dengan produksi 1,87 juta ton. Sayang, luas lahan kedelai terus menurun sejak saat itu, dan tahun 2012 luas tanam kedelai nasional tinggal 566 ribu ha.

Luas Areal

Ada beberapa upaya kunci untuk bisa mencapai target swasembada kedelai. Kunci utama peningkatan luas areal tanam dan panen yang nyata dan permanen. Untuk pencapaian produksi kedelai pada tingkat swasembada diperlukan tambahan luas areal tanam 2 juta ha. Tambahan luas areal tanam ini dutamakan pada lahan kering bukaan baru yang secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan kedelai.

Menurut Sumarno dan Muchlish Adie (2012), terdapat beberapa keuntungan perluasan areal tanam kedelai pada lahan kering. Pertama; tidak terjadi persaingan antarkomoditas pangan lainnya. Kedua; penambahan areal tanam lebih bersifat berkelanjutan. Ketiga; skala usaha petani dapat lebih dioptimalkan. Keempat; kenaikan produksi kedelai lebih nyata.

Upaya tak kalah penting untuk peningkatan produksi kedelai adalah pengembangan riset dan teknologi pertanian. Produktivitas rata-rata nasional saat ini yang baru 14,82 kuintal/ha dapat ditingkatkan melalui inovasi varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Saatnya kita memanfaatkan teknologi transgenik genetically modified organism (GMO) untuk mendapatkan benih unggul dengan produktivitas tinggi.

Bukan hanya itu, pemerintah juga harus memberikan insentif lain berupa jaminan sarana infrastruktur dan sarana produksi, termasuk pembiayaan usaha petani kedelai. Ironis, meski jadi pilar  pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian jauh tertinggal dari sektor ekonomi lainnya. Menurut data BI per April 2013, total portofolio kredit ke sektor pertanian secara luas hanya 5,2% dari total penyaluran kredit.

Suka tidak suka pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan harga jual kedelai produksi petani domestik dan jaminan penjualan kepada perajin. Selain utu, melaksanakan secara konsisten mekanisme harga dasar dan harga maksimal. Insentif paling signifikan yang memengaruhi animo petani untuk menanam komoditas tertentu adalah jaminan harga jual yang memadai terhadap komoditas itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar