|
LICKONA,
dalam Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect & Responsibility (1992) seperti meramal
tentang situasi negara kita. Dalam buku yang dirilisnya 21 tahun lalu itu,
Lickona mencoba mengidentifikasi 10 tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa. Kesepuluh
tanda itu ialah 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) membudayanya
ketidakjujuran; 3) sikap fanatik terhadap kelompok/peer group; 4) rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru; 5)
semakin kaburnya moral baik dan buruk; 6) penggunaan bahasa yang memburuk; 7)
meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan
seks bebas; 8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga
negara; 9) menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga; serta 10)
kurangnya kepedulian di antara sesama.
Jika
diperhatikan dengan saksama, ke-10 tanda-tanda kehancuran tersebut nyaris ada
pada situasi dan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Tak akan ada
yang menyangkal tingginya kekerasan di kalangan remaja dan pelajar saat ini,
serta membudayanya praktik ketidakjujuran, bahkan dalam proses pendidikan
sekalipun. Tingginya praktik korupsi juga membuktikan gagalnya proses
pendidikan kita dalam mengusung tema kejujuran dalam praktik belajar-mengajar.
Pada giliran selanjutnya, akibat dari suburnya budaya ketidakjujuran dapat
menciptakan intoleransi yang mendukung tingginya fanatisme golongan.
Lebih
buruk lagi saat ini kita juga merasakan melemahnya sikap hormat anak-anak
terhadap guru dan orangtua sehingga mereka mudah kehilangan anutan yang dapat
menyebabkan mudah terjebak pada kehidupan yang serbahedonis dan mengagungkan
aspek kebendaan. Akibatnya ialah tumbuh-suburnya praktik seks bebas,
penyalahgunaan narkoba, serta penggunaan bahasa yang cenderung ngawur dan
buruk. Contoh aktual dari praktik berbahasa yang buruk bahkan dipertontonkan
secara vulgar oleh media infotainment melalui salah satu pesohornya, Vicky
Prasetyo.
Jika
diselisik secara saksama, di mana sebenarnya peran agama dan pelajaran agama
yang sejauh ini menjadi acuan moral masyarakat Indonesia yang mayoritas
merupakan pemeluk agama? Dalam konteks pendidikan agama di Indonesia, bisa jadi
tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa versi Lickona akan membawa apati di
lingkungan anak-anak sekolah. Perlu dipertanyakan ulang bagaimana nilai-nilai
agama diajarkan di ruang kelas, serta bagaimana peran birokrasi dalam
‘melembagakan’ agama sehingga hanya menjadi semacam ‘mata ajar’ yang sangat
dekat dengan formalitas, tetapi jauh untuk dengan mudah dialami dan
dipraktikkan anak didik dalam kehidupan keseharian mereka.
Di
belahan dunia lain penolakan orang terhadap formalitas dan otoritarianisme
agama bahkan jauh lebih hebat daripada yang dilakukan anak-anak kita di
sekolah. Orang seperti AN Wilson dalam Againts
Religion: Why We should Try to Live without It? (1992) secara kasar
mencerca habis-habisan peran agama dengan mengatakan ‘cinta Tuhan adalah akar
segala kejahatan’. Bahkan secara sinis dia menyebut agamalah yang harus
bertanggung jawab atas seluruh kejadian buruk, bahkan hingga terjadinya segala
bentuk kekerasan dan peperangan di dunia ini. Dengan direct-word yang menghunjam, Wilson bahkan berkata “Jika agama
tidak bisa mendidik orang untuk mencapai tujuan-tujuan kedamaian, cinta kasih,
lantas apa arti dan tujuan kehadiran agama bagi manusia?“
Menduanya
wajah agama sangat boleh jadi salah satunya diakibatkan adanya sisi eksklusif
dari pendidikan agama itu sendiri. Eksklusivitas tersebut di antaranya ditandai
dengan adanya pandangan dan perlakuan pemerintah terhadap kebijakan kurikulum dan
kelembagaan yang kaku dan bersifat formal, dengan pendidikan agama hanya
berorientasi dan menekankan aspek proses transfer ilmu agama, tetapi kurang
kuat mengagendakan skema hidden-curriculum
yang dapat menumbuhkan proses transformasi nilai-nilai keagamaan yang universal
secara natural. Salah satu contoh kecil yang sering terjadi di tingkat sekolah
ialah kurangnya semangat penghargaan terhadap agama lain karena salah satunya
disebabkan kurang dan rendahnya mutu guru agama ketika menyampaikan materi pelajaran
agama. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya ditemukan kasus ketika mengajarkan
agama, para guru acap kali terjebak pada pendekatan dan strategi belah bambu;
mengangkat dan mengagungkan agama yang dianut mereka sambil merendahkan dan
menjelekkan agama lainnya.
Momentum
perubahan kurikulum 2013 harus menjadi titik tolak menegakkan kembali muru’ah
dan moralitas bangsa ke arah yang benar. Orientasi kurikulum 2013 yang lebih
banyak menekankan pentingnya pengambangan dan penumbuhan karakter dan sikap
anak-anak harus dijadikan pusat pijakan pendidikan agama untuk mendukung secara
sinergis dan integrative tujuan ini. Kerja sama Kemendikbud dan Kemenag untuk
merumuskan buku pegangan guru dan siswa untuk mata ajar agama yang lebih
operasional dalam proses belajar-mengajar penting untuk dilakukan.
Tugas
dua kementerian itulah yang akan menjadikan para guru agama sebagai partner
yang kuat bagi guru mata ajar lain yang diajarkan di sekolah dan madrasah.
Dengan mengusung pembelajaran tematik dan integratif, guru agama diharapkan
memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih secara kreatif materi yang dirasa
menunjang munculnya sikap-sikap yang lebih toleran, antikekerasan, antinarkoba,
dan antipornografi . Kita harus terus menguji, seberapa besar misalnya pemahaman
para guru agama terhadap wawasan inklusivistik dan tujuan universal
pembelajaran agama.
Sangat
penting membekali para guru agama dengan wawasan inklusivistik untuk mendukung
pengembangan sikap inklusif, baik dalam konteks menghargai perbedaan juga dalam
menanggapi isu-isu sensitif di sekitar persoalan maraknya penyebaran narkoba,
kejahatan seksual, dan kekerasan di sekolah. Dengan paradigma yang benar
tentang wawasan inklusivistik itu, diharapkan, para guru dapat dengan mudah
mendesain pembelajaran agama secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan isu
kontemporer yang menghinggapi kehidupan anak didik kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar