Senin, 16 September 2013

Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia

Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan
di Indonesia
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 16 September 2013


LICKONA, dalam Educating for Character: How Our School Can Teach Respect & Responsibility (1992) seperti meramal tentang situasi negara kita. Dalam buku yang dirilisnya 21 tahun lalu itu, Lickona mencoba mengidentifikasi 10 tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa. Kesepuluh tanda itu ialah 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) membudayanya ketidakjujuran; 3) sikap fanatik terhadap kelompok/peer group; 4) rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru; 5) semakin kaburnya moral baik dan buruk; 6) penggunaan bahasa yang memburuk; 7) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; 8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara; 9) menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga; serta 10) kurangnya kepedulian di antara sesama.

Jika diperhatikan dengan saksama, ke-10 tanda-tanda kehancuran tersebut nyaris ada pada situasi dan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Tak akan ada yang menyangkal tingginya kekerasan di kalangan remaja dan pelajar saat ini, serta membudayanya praktik ketidakjujuran, bahkan dalam proses pendidikan sekalipun. Tingginya praktik korupsi juga membuktikan gagalnya proses pendidikan kita dalam mengusung tema kejujuran dalam praktik belajar-mengajar. Pada giliran selanjutnya, akibat dari suburnya budaya ketidakjujuran dapat menciptakan intoleransi yang mendukung tingginya fanatisme golongan.

Lebih buruk lagi saat ini kita juga merasakan melemahnya sikap hormat anak-anak terhadap guru dan orangtua sehingga mereka mudah kehilangan anutan yang dapat menyebabkan mudah terjebak pada kehidupan yang serbahedonis dan mengagungkan aspek kebendaan. Akibatnya ialah tumbuh-suburnya praktik seks bebas, penyalahgunaan narkoba, serta penggunaan bahasa yang cenderung ngawur dan buruk. Contoh aktual dari praktik berbahasa yang buruk bahkan dipertontonkan secara vulgar oleh media infotainment melalui salah satu pesohornya, Vicky Prasetyo.

Jika diselisik secara saksama, di mana sebenarnya peran agama dan pelajaran agama yang sejauh ini menjadi acuan moral masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan pemeluk agama? Dalam konteks pendidikan agama di Indonesia, bisa jadi tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa versi Lickona akan membawa apati di lingkungan anak-anak sekolah. Perlu dipertanyakan ulang bagaimana nilai-nilai agama diajarkan di ruang kelas, serta bagaimana peran birokrasi dalam ‘melembagakan’ agama sehingga hanya menjadi semacam ‘mata ajar’ yang sangat dekat dengan formalitas, tetapi jauh untuk dengan mudah dialami dan dipraktikkan anak didik dalam kehidupan keseharian mereka.

Di belahan dunia lain penolakan orang terhadap formalitas dan otoritarianisme agama bahkan jauh lebih hebat daripada yang dilakukan anak-anak kita di sekolah. Orang seperti AN Wilson dalam Againts Religion: Why We should Try to Live without It? (1992) secara kasar mencerca habis-habisan peran agama dengan mengatakan ‘cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan’. Bahkan secara sinis dia menyebut agamalah yang harus bertanggung jawab atas seluruh kejadian buruk, bahkan hingga terjadinya segala bentuk kekerasan dan peperangan di dunia ini. Dengan direct-word yang menghunjam, Wilson bahkan berkata “Jika agama tidak bisa mendidik orang untuk mencapai tujuan-tujuan kedamaian, cinta kasih, lantas apa arti dan tujuan kehadiran agama bagi manusia?“

Menduanya wajah agama sangat boleh jadi salah satunya diakibatkan adanya sisi eksklusif dari pendidikan agama itu sendiri. Eksklusivitas tersebut di antaranya ditandai dengan adanya pandangan dan perlakuan pemerintah terhadap kebijakan kurikulum dan kelembagaan yang kaku dan bersifat formal, dengan pendidikan agama hanya berorientasi dan menekankan aspek proses transfer ilmu agama, tetapi kurang kuat mengagendakan skema hidden-curriculum yang dapat menumbuhkan proses transformasi nilai-nilai keagamaan yang universal secara natural. Salah satu contoh kecil yang sering terjadi di tingkat sekolah ialah kurangnya semangat penghargaan terhadap agama lain karena salah satunya disebabkan kurang dan rendahnya mutu guru agama ketika menyampaikan materi pelajaran agama. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya ditemukan kasus ketika mengajarkan agama, para guru acap kali terjebak pada pendekatan dan strategi belah bambu; mengangkat dan mengagungkan agama yang dianut mereka sambil merendahkan dan menjelekkan agama lainnya.

Momentum perubahan kurikulum 2013 harus menjadi titik tolak menegakkan kembali muru’ah dan moralitas bangsa ke arah yang benar. Orientasi kurikulum 2013 yang lebih banyak menekankan pentingnya pengambangan dan penumbuhan karakter dan sikap anak-anak harus dijadikan pusat pijakan pendidikan agama untuk mendukung secara sinergis dan integrative tujuan ini. Kerja sama Kemendikbud dan Kemenag untuk merumuskan buku pegangan guru dan siswa untuk mata ajar agama yang lebih operasional dalam proses belajar-mengajar penting untuk dilakukan.

Tugas dua kementerian itulah yang akan menjadikan para guru agama sebagai partner yang kuat bagi guru mata ajar lain yang diajarkan di sekolah dan madrasah. Dengan mengusung pembelajaran tematik dan integratif, guru agama diharapkan memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih secara kreatif materi yang dirasa menunjang munculnya sikap-sikap yang lebih toleran, antikekerasan, antinarkoba, dan antipornografi . Kita harus terus menguji, seberapa besar misalnya pemahaman para guru agama terhadap wawasan inklusivistik dan tujuan universal pembelajaran agama.

Sangat penting membekali para guru agama dengan wawasan inklusivistik untuk mendukung pengembangan sikap inklusif, baik dalam konteks menghargai perbedaan juga dalam menanggapi isu-isu sensitif di sekitar persoalan maraknya penyebaran narkoba, kejahatan seksual, dan kekerasan di sekolah. Dengan paradigma yang benar tentang wawasan inklusivistik itu, diharapkan, para guru dapat dengan mudah mendesain pembelajaran agama secara kreatif dan sesuai dengan perkembangan isu kontemporer yang menghinggapi kehidupan anak didik kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar