|
Pengertian
urbanisasi dinyatakan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pemahaman
migrasi internal ini sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut. Ketika
kehidupan di desa kian pahit, kota yang menjanjikan kehidupan lebih manis akan
menarik ”semut” untuk datang.
Fenomena
kian masifnya urbanisasi bisa dilihat dari makin besarnya gelombang arus mudik
saat Lebaran. Urbanisasi merajalela karena ada faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Penduduk desa terdorong
pindah ke kota sebab desa sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Pembangunan
yang menumpuk di kota menjadi magnet kuat menarik kaum urban.
Kemiskinan
Penyelesaian
urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan di kota-kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya, dan Medan, belum menyentuh kemiskinan sebagai akar masalah.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat
pendapatan antara warga desa dan kota membuat arus urbanisasi semakin deras.
Jumlah
warga miskin dan berpotensi jadi miskin di Indonesia masih tinggi meski
pemerintah menyebut angka kemiskinan turun setiap tahun. Sekadar menyebut
contoh, tahun 2012 angka kemiskinan turun menjadi 11,66 persen dari 12,36
persen pada 2011. Dari segi jumlah, penduduk yang kategori miskin berkurang
dari 29,89 juta (2011) menjadi 28,59 juta dengan garis kemiskinan (pengeluaran
per orang per bulan) sebesar Rp 259.520.
Kinerja
pemerintahan SBY memerangi kemiskinan memang tergolong kurang dahsyat. Selama
kepemimpinannya, SBY belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Saat Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu mengawali roda pemerintahan pada
2004, angka kemiskinan nasional bertengger di posisi 16 persen. Artinya, dalam
sembilan tahun pemerintahannya, angka kemiskinan hanya turun 4,34 persen.
Padahal, kemampuan anggaran negara jauh lebih besar dibandingkan pada masa-masa
sebelumnya.
Rapor
merah Pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol
tingkat pendapatan masyarakat desa semakin jelas jika disandingkan dengan
prestasi negara lain. China, misalnya, jumlah penduduk dengan pendapatan kurang
dari 2 dollar AS per hari 36,3 persen (Bank
Dunia, 2005). Indonesia, yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, pada
2009 jumlah penduduk dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari masih
50,9 persen (Saparini, 2013).
Jurus
jitu Pemerintah China dalam memerangi kemiskinan adalah dengan menggenjot
percepatan pembangunan pertanian yang melibatkan penduduk miskin di pedesaan.
Kebangkitan
pertanian
Menurut
Badan Pusat Statistik, dampak makanan terhadap garis kemiskinan masih amat
besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin dialokasikan untuk
membeli makanan. Implikasinya, jika masyarakat miskin bisa memproduksi
kebutuhan pangan keluarga, pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami
proses pemiskinan yang makin buruk di tengah inflasi dan kian mahalnya harga
pangan.
Pada
Juli 2013, inflasi nasional mencapai 3,29 persen. Sumbangan terbesar berasal
dari kenaikan harga BBM diikuti laju kenaikan harga bahan makanan. Selama tahun
terakhir, inflasi bahan makanan relatif tinggi. Warga miskin, meski hampir 65
persen tinggal di desa, sebagian besar adalah buruh tani yang memenuhi
kebutuhan bahan pangan dengan membeli.
Pertanyaannya,
adakah yang salah dengan pembangunan pertanian kita? Mengapa kebijakan
pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani? Di tengah usia kemerdekaan yang
sudah 68 tahun, pemerintah masih gagal menyejahterakan petani dan mereka harus
bereksodus ke kota untuk mengais rezeki. Dalam periode sepuluh tahun terkahir,
jumlah petani gurem meningkat 12,51 persen dari 40,73 persen menjadi 53,29
persen. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni rapuhnya ketahanan
pangan.
Banjir
impor
Di
tengah kian miskinnya petani, Indonesia dibanjiri buah impor, beras impor,
jagung impor, daging impor, bawang impor, dan pangan impor lainnya. Kita terjebak
dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75 persen dari
kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor dan devisa negara
terkuras sekitar Rp 125 triliun─, berarti 8 persen dari APBN, ─setiap tahun
untuk membeli pangan impor. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan
untuk membangun 1.250.000 gedung SD di berbagai daerah di Tanah Air. Kita
menghuni negeri yang dipuja subur dan makmur, tetapi tidak mampu memproduksi
pangan untuk rakyat.
Oleh
karena itu, ”Gerakan Kembali ke Sawah” yang pernah saya usulkan (Kompas, 27/2/2007) patut terus
dikampanyekan pemerintah pusat ke seluruh provinsi dan kabupaten sebagai model
percepatan pembangunan desa berbasis pertanian. Gerakan ini harus diiringi
dengan sinergi kebijakan yang diformat secara komprehensif dan terintegrasi
dari semua pemangku kepentingan.
Dengan
gerakan ini, sektor pertanian akan mampu menyediakan lapangan kerja baru
sekaligus membendung arus urbanisasi. Namun, seperti mobil butuh mesin, bangsa
ini perlu para pemimpin sejati sebagai motor kebangkitan pertanian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar