Selasa, 10 September 2013

Revisi UU Lalu Lintas Devisa

Revisi UU Lalu Lintas Devisa
Harry Azhar Azis  ;    Ketua Komisi XI DPR RI
SUARA KARYA, 10 September 2013


Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian nasional dan sangat mengganggu sektor riil. Tidak hanya itu, UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang merupakan peninggalan era International Monetary Fund (IMF) membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah dirontokkan.

Karena itu, Fraksi Golkar di DPR berinisiatif untuk segera melakukan revisi mengenai Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar karena dianggap cenderung liberal, bahkan paling liberal di dunia. Draf rancangan revisi itu saat ini masih di tingkat Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR, belum masuk ke Komisi XI.

Melihat situasi dan kondisi mata uang rupiah, maka saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan revisi atas UU Lalin Devisa tersebut. Pasar valuta asing (valas) kita mudah kering. Orang asing seenaknya keluar-masuk (menyimpan dan mengambil dolar) di bank-bank nasional. Akibatnya, ekonomi kita terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Kondisi semacam itu tidak bisa dibiarkan terus-menerus.

UU Lalu Lintas Devisa saat ini memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Namun, faktanya, PBI yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah belakangan ini. Tidak hanya itu, devisa bangsa ini malah makin dinikmati oleh pihak luar karena mata uang kita rentan terhadap guncangan.
Usulan untuk melakukan revisi itu menyusul pengalaman di negara-negara tetangga yang berhasil mengembalikan devisanya. Misalnya, Thailand adalah negara yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.

Dalam UU Devisa di Thailand, ada kewajiban untuk menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. Ini bagus supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga menjadi tenang. Thailand terbukti berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya atas dolar AS saat krisis politik "kaus merah" beberapa tahun silam.

Oleh sebab itu, Fraksi Partai Golkar beranggapan, sudah saatnya Indonesia perlu memiliki UU Devisa yang dapat mengamankan perekonomian nasional. Keamanan ekonomi nasional mendesak perlu dijaga agar tidak ikut masuk "lingkaran" krisis yang melanda negara maju AS dan negara-negara Eropa.

Saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI No.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI itu terbukti tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.

Salah satu penyebabnya, tidak ada kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period), misalnya dalam waktu enam bulan. Sebab, di situ aturannya cuma melakukan pelaporan, hingga kemudian kembali lagi ke luar negeri. Sedangkan negara kita tidak mendapat apa-apa. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar