|
Regulasi devisa yang ada sekarang
sudah merugikan perekonomian nasional dan sangat mengganggu sektor riil. Tidak
hanya itu, UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar yang merupakan peninggalan era International
Monetary Fund (IMF) membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah
dirontokkan.
Karena itu, Fraksi Golkar di DPR
berinisiatif untuk segera melakukan revisi mengenai Undang-Undang (UU) Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar karena dianggap cenderung liberal, bahkan
paling liberal di dunia. Draf rancangan revisi itu saat ini masih di tingkat
Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR, belum masuk ke Komisi XI.
Melihat situasi dan kondisi mata
uang rupiah, maka saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan revisi
atas UU Lalin Devisa tersebut. Pasar valuta asing (valas) kita mudah kering.
Orang asing seenaknya keluar-masuk (menyimpan dan mengambil dolar) di bank-bank
nasional. Akibatnya, ekonomi kita terguncang oleh instabilitas pasar uang dan
pasar modal. Kondisi semacam itu tidak bisa dibiarkan terus-menerus.
UU Lalu Lintas Devisa saat ini
memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur
lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Namun, faktanya, PBI yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah
belakangan ini. Tidak hanya itu, devisa bangsa ini malah makin dinikmati oleh
pihak luar karena mata uang kita rentan terhadap guncangan.
Usulan untuk melakukan revisi itu
menyusul pengalaman di negara-negara tetangga yang berhasil mengembalikan
devisanya. Misalnya, Thailand adalah negara yang sukses memburu serta
mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.
Dalam UU Devisa di Thailand, ada
kewajiban untuk menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di bank lokal dalam
periode tertentu atau disebut holding period. Ini bagus supaya pasar valas kita
tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga menjadi tenang. Thailand
terbukti berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya atas dolar AS saat krisis
politik "kaus merah" beberapa tahun silam.
Oleh sebab itu, Fraksi Partai
Golkar beranggapan, sudah saatnya Indonesia perlu memiliki UU Devisa yang dapat
mengamankan perekonomian nasional. Keamanan ekonomi nasional mendesak perlu
dijaga agar tidak ikut masuk "lingkaran" krisis yang melanda negara
maju AS dan negara-negara Eropa.
Saat ini Bank Indonesia memiliki
PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI No.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober
2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang serta minyak dan
gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari
setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI itu terbukti
tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.
Salah satu penyebabnya, tidak ada
kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period), misalnya dalam waktu
enam bulan. Sebab, di situ aturannya cuma melakukan pelaporan, hingga kemudian
kembali lagi ke luar negeri. Sedangkan negara kita tidak mendapat apa-apa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar