Selasa, 10 September 2013

Epistemologi Blusukan Kontra Laporan Pembangunan

Epistemologi Blusukan Kontra Laporan Pembangunan
Ikbal Maulana  ;    Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MEDIA INDONESIA, 10 September 2013


PEMERINTAH membutuhkan kuasa untuk menjalankan pemerintahannya. Banyak yang menganggap kuasa itu sesuatu yang diberikan secara formal oleh undang-undang (UU) ataupun aturan lainnya. Seseorang yang ditunjuk menjadi pejabat, juga diberi kewenangan atau kuasa untuk menjalankan tugas-tugasnya. Selain membutuhkan kuasa, pemerintah juga membutuhkan pengetahuan, baik tentang masalah yang harus dihadapinya maupun pengetahuan tentang bagaimana mengatasinya. Sepintas kuasa dan pengetahuan saling melengkapi.

Hal normatif di atas ternyata sering bertentangan dengan kenyataan lapangan. Para pemimpin yang mendapatkan kuasa formal yang sama ternyata bisa mengoperasikannya secara berbeda, mulai dari yang kuat sampai yang lemah. Fakta lapangan juga sering tidak mendukung bahwa pengetahuan dan kuasa saling melengkapi. Tak jarang pemegang kuasa enggan mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya karena sebagian pengetahuan bisa membebani penguasa, atau bahkan melemahkannya. Misalnya fakta tentang kegagalan pembangunan akan lebih sering ditutupi daripada diungkapkan apa adanya.

Secara formal kuasa memang memiliki arah yang jelas, dari atas ke bawah. Penguasa berada di atas, yang terkuasai di bawah. Perintah mengalir sesuai dengan arah kuasa, dari atas ke bawah. Kuasa formal relatif mudah ditegakkan, asalkan dengan cara-cara formal yang sudah lazim dijalankan. Hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara penguasa dan yang dikuasai (aparat) bisa terjadi agar kedua pihak bisa samasama untung, atau tidak ada yang dikorbankan. Walaupun hal itu sering berarti hubungan tersebut jadi terlepas dan bahkan bisa merugikan kepentingan rakyat.

Kepentingan penguasa dan aparat bisa diselesaikan lewat mekanisme formal yang memproduksi laporan-laporan formal yang sah secara aturan. Kuasa formal ditegakkan dalam ruang rapat, baik di kantor pemerintah maupun gedung parlemen, di tempat upacara, atau di acara penandatanganan memorandum kesepahaman. Kuasa formal dijalankan melalui pidato atau perintah tertulis, dan dipatuhi oleh anggukan dalam rapat, barisan bawahan dalam upacara, sampai tumpukan laporan. Kuasa formal ditegakkan di atas ritual-ritual kekuasaan yang sudah baku.

Formalitas kekuasaan

Penegakan kuasa formal seperti di atas sudah cukup, sudah aman dari tuduhan yang menyalahkan. Mekanismenya sudah menyediakan cara untuk mempermudah pencapaian keberhasilan formalnya melalui laporan-laporan tertulis yang sudah baku. Persoalan yang muncul ialah persoalan yang dijamin bisa ditangani (secara formal), dan laporan hasil pembangunan bisa dihasilkan steril dari kekurangan dan kegagalan. Fakta lapangan tidak bermakna apa-apa selama belum dituliskan dalam laporan, dan kuasa yang beroperasi di level aparat akan mengonversi fakta lapangan menjadi laporan yang tidak merugikan penguasa di atasnya.

Kuasa memang gampang dipatuhi secara formal. Namun, ketundukan formal bisa dengan mudah pula dikombinasikan dengan pengabaian diamdiam. Perintah akan disetujui, tetapi tidak ditindaklanjuti. Itu tidak akan menjadi masalah selama laporan formalnya tentang tindak lanjutnya tetap dibuat. Apakah pemilik kuasa tidak tahu mengenai hal itu? Bisa ya, bisa tidak. Bisa saja ya, tetapi diam-diam saja. Selama ketidakpatuhan tidak dinyatakan secara eksplisit dan kegagalannya tidak diungkapkan secara formal, pemilik kuasa aman terhindar dari tuduhan kesalahan atau kegagalan.

Jadi, masalah utama dalam penegakan kuasa formal ialah eksekusi yang lebih berkonsentrasi pada tataran laporan. Itu yang menyebabkan kuasa terpisah dari kepentingan rakyat yang telah memberi amanat. Permasalahan tidak dikenali, atau yang dikenali tidak diselesaikan. Yang tak dikenali dan yang tak diselesaikan tidak akan merugikan penguasa selama masalah tersebut tidak ada dalam wacana formal.

Kuasa yang tidak hanya beroperasi di atas, tetapi di semua tataran, rentan memanipulasi pengetahuan. Kuasa cenderung mengarahkan pengetahuan sesuai dengan yang dimauinya. Kuasa juga enggan mengakui kekurangan dan apalagi kegagalannya. Manipulasi pengetahuan itulah yang bisa meringankan orang-orang yang berkuasa.

Melayani pemimpin

Dalam dunia bisnis, pemimpin perusahaan sebenarnya memiliki kecenderungan di atas juga. Namun, pebisnis harus berkompromi dengan kekuasaan yang lebih besar dari dirinya, yakni kekuasaan pasar yang bisa menentukan untung-ruginya atau keberlanjutan bisnisnya. Tindakan yang tidak sesuai dengan tuntutan pasar akan dihukum oleh pasar. Kadang-kadang manipulasi informasi juga dilakukan, tetapi tidak bisa berlama-lama. Pasar memiliki hokum-hukum yang sulit dilawan.

Salah satu tujuan demokrasi ialah menjadikan rakyat pemilih sebagai pasar yang bisa mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan penguasa. Namun, karena produk yang diperdagangkan dalam politik ialah gagasan yang kompleks, bukan komoditas dengan spesifikasi dan harga tertentu, maka manipulasi pengetahuan (termasuk yang dimanfaatkan untuk meningkatkan sentimensentimen pendukung) relatif lebih mudah dilakukan. Karena itulah permainan kuasa yang mempermainkan pengetahuan bisa terus berlangsung. Demokrasi kita memang masih menanggung berbagai beban yang membuatnya tidak menjadi `pasar rakyat'. Namun di beberapa daerah, demokrasi bisa menghasilkan pemimpin yang melayaninya lebih dari sekadar tuntutan formal.

Tuntutan formal bisa diselesaikan lewat ritual-ritual politik yang mengakomodasi kepentingan berbagai pihak yang menentukan keberlanjutan kekuasaan, dan ini sering bukan kepentingan rakyat banyak. Tuntutan formal tidak mengharuskan penguasa menyelami pengetahuan yang lebih dalam tentang masalah yang dihadapi masyarakat. Sebenarnya masyarakat ingin diketahui penguasa, tetapi keinginannya sering tidak didengar. Kadang-kadang masyarakat beruntung saat mendapatkan pemimpin yang bersungguh-sungguh mencoba mengenali mereka, keluh-kesah mereka, masalah mereka.

Itulah yang menyebabkan mengapa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau beberapa pemimpin daerah lainnya bisa demikian populer. Mereka mengambil hati rakyat tidak dengan menggunakan cara-cara yang canggih, bahkan mungkin kuno, sekaligus merepotkan, dan karenanya banyak diabai kan. Mereka menggunakan epistemologi atau cara memperoleh pengetahuan tentang rakyat yang berbeda dengan cara formal yang mengandalkan laporan atau rapat. Cari ini, yakni blusukan, mem buat mereka bersentuhan langsung dengan realitas.

Kekumuhan, bau dari got yang tidak mengalir, udara pengap, tidak mungkin bisa ditangkap di ruang rapat yang mewah. Pendangkalan sungai dan banjir yang diakibatkannya akan kehilangan banyak beban masalahnya jika hanya dibaca melalui laporan. Masalah dari laporan ialah tidak semua aspek di lapangan bisa disampaikan. Tulisan memiliki banyak keterbatasan, lebihlebih laporan formal yang biasa ditulis untuk menghindari penilaian kegagalan.

Blusukan yang kerap dilakukan Jokowi dianggap tidak lazim, dan sebenarnya menambah beban dia juga. Banyak masalah jadi terungkap, banyak program pembangunan tidak dieksekusi dengan benar. Beban aparat di lapangan juga jadi lebih berat, mereka jadi harus meningkatkan pelayanan publik yang sebelumnya bisa dilakukan ala kadarnya. Cara itu membuat orang-orang yang terbiasa dengan cara-cara formal mengernyitkan kening. Mulai dari tuduhan membuang-buang waktu sampai pencitraan diarahkan padanya. Akan Tetapi, masyarakat tentu saja suka, karena gara-gara blusukan-lah persoalan mereka jadi terangkat, diakui, dan karena itu bisa mendapatkan upaya penyelesaian.

Blusukan juga menyingkapkan persoalan yang selama ini kurang dikenali masyarakat luas, bukan gagasan cemerlang yang kurang di Tanah Air ini, tetapi kurangnya eksekusi yang benar dan jujur dalam evaluasi terhadap hasilnya.

Bukan berarti laporan tidak penting, tetapi laporan perlu terus-menerus dikalibrasi keakuratannya, antara lain melalui blusukan. Memang yang menjadi masalah, kuasa memiliki sifat enggan mengakui kekurangan apalagi kegagalan.

Hal tersebutlah yang menghambat atau membuat upaya kalibrasi tidak terjadi. Anggota dewan yang semestinya berkewajiban mengalibrasi lebih suka menjebakkan diri dalam praktik kuasa formal juga. Jadi, untuk sementara ini, tidak hanya pemerintah, bahkan anggota dewan pun perlu didorong untuk sering-sering blusukan supaya mereka bersentuhan langsung dengan persoalan rakyatnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar