Selasa, 17 September 2013

Pemilihan Presiden 2014

Pemilihan Presiden 2014
Sulastomo ; Koordinator Gerakan Jalan Lurus
SUARA KARYA, 16 September 2013


UU Pemilihan Presiden dewasa ini sedang dibahas di DPR. Ada kesan agak alot mempertemukan perbedaan pendapat di sekitar persyaratan pencalonan presiden: apakah ambang batas pencalonan dikurangi, diperbesar, ataukah tetap? Calon presiden (capres) hanya dapat dicalonkan oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh sedikitmya 20 persen kursi DPR. Kalau kesepakatan tidak diperoleh, diberlakukan UU Pemilu yang lama. Persyaratan 20 persen kursi DPR masih tetap berlaku.

Dengan ketentuan seperti itu, proses pencalonan presiden tidak mudah. Kepastian pencalonan presiden sebenarnya hanya bisa dilakukan setelah hasil pemilu legislatif (April 2014) diketahui. Karena itu, capres yang telah muncul sekarang bisa gagal menjadi calon kalau partainya gagal melampaui ambang batas suara yang diperlukan, atau gagal memperoleh dukungan/koalisi dengan partai lain.

Memperhatikan hasil berbagai survei, untuk memperoleh kursi DPR sebesar 20 persen ternyata tidak mudah. Logikanya, kalau partai-partai di DPR berpikir hanya untuk kepentingan partai sendiri, untuk memudahkan pencalonan presidennya, partai-partai itu beramai-ramai menurunkan ambang batas perolehan suara.

Tetapi, dengan idealisme memperkuat demokrasi, ambang batas itu dipertahankan. Ini terlepas bahwa pendapat seperti itu dibantah pendapat yang lain, yang mengatakan persyaratan ambang batas suara 20 persen itu sebagai tidak demokratis. Pendapat seperti ini terutama keluar dari partai-partai kecil, sementara partai besar cenderung bertahan dengan formula yang lama.

Dengan perbedaan pendapat seperti itu, sesungguhnya ada hal yang mendasar dalam memahami demokrasi. Apakah demokrasi akan makin sehat dengan menerapkan ambang batas 20 persen sehingga jumlah capres terbatas? Atau, menurunkan bahkan menghilangkan ambang batas perolehan suara, sehingga jumlah capres bisa lebih banyak? Benarkah makin banyak pilihan makin demokratis atau sebaliknya?

Perbedaan pendapat seperti itu merupakan pengulangan, ketika UU Pemilu Legislatif dibahas. Kalau perolehan suara sebuah partai kurang dari 3 persen, maka eksistensi partai itu di DPR hilang. Partai itu bahkan tidak akan dapat ikut dalam Pemilu 2019. Semangat UU Pemilu Legislatif dengan demikian adalah mengurangi jumlah partai secara demokratis melalui pemilihan umum. Demokrasi justru akan bisa lebih ditegakkan dengan jumlah partai yang terbatas dan tidak sebaliknya. Apalagi dalam sistem presidensial.

Pembahasan perubahan UU Pemilihan Presiden, dengan demikian, juga merupakan test case bagi partai-partai peserta pemilu yang berjumlah 12. Partai mana yang masih benar-benar hendak menegakkan demokrasi atau yang hanya berpikir demi kepentingan eksistensi partai sendiri? Hal ini perlu ditengarai oleh seluruh rakyat Indonesia, yang akan menjadi hakim masa depan Indonesia melalui hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif 2014.


Kalau kita semua bisa mempersiapkan diri sebagai pemilih yang cerdas, Pemilu 2014, insya Allah, makin mendekatkan kita pada kehidupan demokrasi yang kian sehat. Jumlah partai akan berkurang. Demikian pula jumlah capres, makin terbatas. Mungkin cukup dua capres! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar