Selasa, 17 September 2013

Negara dan Hutan Progresif

Negara dan Hutan Progresif
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 17 September 2013


Siapa pun elemen bangsa di negeri ini pastilah mengakui bahwa hutan merupakan salah satu kekayaan strategis. Negeri ini menjadi sangat populer sebagai negeri kaya raya di mata dunia adalah berkat kekayaan hutan yang dimilikinya. Bangsa-bangsa lain pun terus menerus berusaha masuk dan mencengkeram negara ini dengan jalan menawarkan investasinya dengan cara menempatkan hutan sebagai instrumennya.

Pertanyaannya, apakah hutan kita benar-benar sudah diperlakukan sebagai kekayaan istimewa bangsa? Sudahkah perilaku kita berorientasi melindungi atau mengayomi hutan Indonesia supaya tumbuh bekembang menjadi hutan progresif seperti menyehatkan, menyelamatkan, dan menyejahterakan?

Memang, secara lisan kita gampang berucap kalau negeri ini punya kekayaan hutan istimewa, namun di sisi lain, perilaku kita belum mendukung terwujudnya hutan progresif. Perilaku kita bukan menyelamatkan dan mengembangkan hutan, melainkan berusaha menghancurkannya. Kita masih melakukan apa yang disebut Fauzi Wibowo (2012) sebagai 'pelestarian dan pengeksploitasian kriminalisasi sumber daya hutan'.

Terbukti, banyak di antara kita masih setengah hati menginginkan terwujudnya hutan progresif. Bahkan ironisnya, tidak sedikit yang memilih jalur memburu keuntungan materialistik dari hutan tanpa memikirkan dampak makronya. Hutan dijadikannya sebagai objek eksploitasi dan komoditas tiada henti, yang mengakibatkan hutan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hidup masyarakat dan bangsa. Kondisi ini sampai digambarkan dalam suatu adagium state without forest (negara tanpa hutan) atau lambat laun, negeri ini potensial kehilangan sumber daya hutan.

Statemen itu juga menunjukkan bahwa hutan di negeri ini sedang dalam kondisi memprihatinkan dan mengenaskan akibat ulah liar manusia-manusa yang tidak bertanggung jawab, yang mengeksploitasi, membakar, menggunduli, membalak, dan menebanginya. Sejatinya, normal saja manusia mengambil manfaat dari hutan, namun menjadi abnormal dan tidak berkemanusiaan, ketika eksploitasi lebih diutamakan.

Kerusakan hutan yang terus berlangsung itu bahkan akan potensial membawa negara ini menuju tuyang-tuyang. Meski tidak ada yang menginginkan negara ini sampai mengalami keadaan mengenaskan, tetapi jika perilaku manusianya kian serakah terhadap hutan atau menjadikan hutan sebagai objek 'kolonialisme' kapitalistik dan korporatistiknya, maka status sebagai negeri tanpa hutan niscaya terjadi.

Kelangsungan hidup manusia dan planet bumi kini menjadi keprihatinan manusia sedunia. Heriyanto, mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebutkan, "Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah tanpa batas." Pada setiap detik, diperkirakan sekitar 200 ton karbon dioksida dilepas ke atmosfir dan 750 ton top soil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar hutan dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari. Pada saat yang sama, secara absolut jumlah penduduk meningkat 1 milyar orang per dekade. Hal ini menambah beban bumi yang sudah renta.

Ulah brutal dan barbar sebagian orang yang menggunduli hutan atau populer disebut illegal logging itu telah mengakibatkan negeri ini kehilangan aset besarnya. Hutan menjadi gundul, gersang, dan tidak lagi menghembuskan angin kesejukan dan keramahan akibat dibabat dan dibakar oleh tangan-tangan kotor yang mengumbar keserakahannya.

WALHI saja sudah berkali-kali, misalnya, mengingatkan tentang nasib hutan Indonesia yang berada dalam kondisi krisis dan sangat mengkhawatirkan (kritis). Pembalakan hutan baik yang legal maupun illegal, tidak terkontrol dan telah mengakibatkan kerusakan hutan yang masif di hampir seluruh kawasan hutan Indonesia.

Dampak pembalakan hutan yang merusak tersebut tidak saja telah mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin merosotnya kualitas sumberdaya Indonesia, namun juga menghasilkan seri bencana ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya. 

Ironisnya lagi, kehidupan lebih dari 40 juta masyarakat adat dan lokal yang hidupnya tergantung langsung sumber daya hutan terus memburuk dan miskin akibat kehancuran hutan tersebut.
Dalam ajaran agama juga sudah digariskan, bahwa Tuhan tidak pernah melarang hambaNya untuk memanfaatkan kekayaan hutan. Tuhan sudah menganugerahkan nikmat besarnya ini demi mengantarkan masyarakat dalam kemakmuran. Tuhan menyuburkan hutan dengan segala isinya supaya masyarakat bisa mengambil manfaatnya dengan cara-cara yang berkeadaban. Rusanya hutan Indonesia lebih disebabkan oleh ketidak-adaban yang dibiarkan terus berdaulat.

Tuhan sudah demikian Pemurah dan Penyayang dengan menyediakan sumber daya yang memadai untuk menopang kebutuhan hidup manusia. Kekayaan hutan telah dipersembahkanNya selain sebagai bukti keagungan KekuasanNya kepada manusia dan makhluk hidup lainnya di jagad raya, juga sebagai modal besar bagi keberlanjutan dan pencerahan hidup manusia.

Kehancuran sumber daya hutan merupakan reduksi dan bahkan modus pengeroposan kekuatan 
penyangga. Gundulnya hutan akibat tangan-tangan para 'kolonialis' ini merupakan bentuk kejahatan perampasan potensi kesejahteraan dan keselamatan, sehingga layak dikategorikan sebagai wujud perilaku dehumanisasi yang berlangsung sistemik.


Mahatma Gandi pernah mengingatkan, "Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi menjadi tidak cukup jika untuk memenuhi kesekarahannya." Ketika hutan tidak diberikan kesempatan menjadi progresif, maka jangan kaget jika pelan-pelan bangsa ini menuju ranah kematian totalnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar