Senin, 23 September 2013

Moratorium Ekspor Migas

Moratorium Ekspor Migas
Eddy Purwanto ;   Praktisi Migas
KOMPAS, 23 September 2013


Defisit perdagangan sektor migas dari Januari hingga Juli 2013 mencapai 7,63 miliar dollar AS. Fakta ini menjadi beban berat bagi neraca perdagangan Indonesia.

Defisit sektor migas ini dipercaya jadi salah satu penyebab menyalanya lampu kuning perekonomian Indonesia, ditandai anjloknya nilai rupiah hingga Rp 11.000 per dollar AS. Lampu kuning ini telah menggiring pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan penyelamatan, terutama akibat melambungnya defisit transaksi berjalan.

Di sektor energi, salah satu paket kebijakan pemerintah adalah memperbesar kandungan biodiesel dalam solar dengan tujuan mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Pertamina dikenai kewajiban mencampur unsur nabati fatty acid methyl ester (FAME) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dari sebelumnya hanya sekitar 5 persen menjadi 10 persen. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi volume impor sekitar 1,25 juta kiloliter/tahun.

Seperti dimaklumi, volume impor minyak mentah dan produk BBM terus meningkat seiring dengan pertumbuhan konsumsi energi 8 persen per tahun. Saat ini total kebutuhan BBM 1,4 juta barrel/hari, sedangkan produksi minyak nasional berkisar 840.000 barrel/hari, dengan pembagian minyak milik negara sekitar 55 persen dan sisanya 45 persen adalah milik kontraktor dari bagi-hasil produksi dan pengembaliancost-recovery. Guna menutupi kekurangan, pemerintah melalui Pertamina mengimpor minyak mentah 350.000 barrel/hari ditambah produk BBM 400.000 barrel/hari.

Walaupun dipercaya dapat mengurangi impor solar, strategi menambah kandungan biodiesel dalam solar diyakini tak cukup banyak menekan impor BBM dan minyak mentah. Telah banyak analis yang mengupas berbagai strategi jangka panjang untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, khususnya migas. Di antaranya: segera realisasikan pembangunan kilang dalam negeri dan pembangunan infrastruktur distribusi gas; meningkatkan peran energi terbarukan; hingga belakangan muncul usulan hedging (lindung-nilai) harga minyak impor dengan tujuan mengantisipasi bengkaknya nilai impor akibat volatilitas pasar.

Kebutuhan dollar AS Pertamina untuk membayar impor minyak sepanjang tahun 2013 mencapai 37 miliar dollar AS atau sekitar 30 persen dari total kebutuhan dollar AS untuk impor. Namun, banyak analis yang meragukan hedging bakal berdampak signifikan terhadap neraca perdagangan migas. Pertamina sendiri menganggap hedging terlalu berisiko. Salah satu strategi jangka pendek yang diharapkan dapat memberi hasil cepat dan tepat ialah mengurangi sebanyak mungkin volume ekspor minyak Indonesia, baik bagian negara maupun bagian kontraktor.

Kembali ke khitah

Menurut UU Migas, salah satu tugas pokok BP Migas (sebelum dibubarkan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, akhir 2012) adalah melanjutkan tugas Pertamina, yaitu ”menunjuk penjual minyak dan gas bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara”. Tugas ini kemudian dijabarkan ke dalam beberapa aturan turunan. Setelah BP Migas dibubarkan, fungsi ini tetap melekat menjadi tugas pokok SKK Migas melalui Peraturan Menteri ESDM No 09/2013. Belakangan ini, pemerintah tengah mempertimbangkan satu keputusan politik untuk mengalihkan tugas penunjukan penjual atau ekspor migas dari SKK Migas ke Pertamina, tetapi keputusan politik ini membutuhkan payung hukum yang jelas untuk menggantikan aturan yang berlaku.

Roh dari aturan-aturan yang terkait ekspor tersebut adalah minyak bagian negara harus diperuntukkan sebesar-besarnya bagi pasokan kilang dalam negeri. Seandainya tersisa sebagian jenis minyak yang tidak sesuai dengan desain kilang, minyak dan kondensat tersebut boleh diekspor tetapi setelah berbagai upaya teknis, seperti crude-blending yang kurang memuaskan atau tidak memberikan yield produk kilang yang memadai.

Roh atau khitah ini yang perlu dihidupkan kembali sehingga frekuensi dan volume ekspor akan berkurang. Dengan demikian, impor minyak mentah dan produk BBM dapat ditekan secara signifikan.
Strategi ini akan mendukung paket kebijakan penyelamatan ekonomi yang dicanangkan pemerintah baru-baru ini. Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Pertamina dapat membantu meringankan beban APBN melalui strategi berikut.

Pertama, memaksimalkan pasokan minyak bagian negara bagi kilang dalam negeri. Pemerintah dapat memerintahkan Pertamina selaku pengemban tugas public service obligation (PSO) untuk menyerap sebanyak mungkin minyak bagian negara, termasuk jenis minyak dan kondensat yang kurang disukai, di mana Pertamina akan mendapat imbalan sesuai ketentuan.

Kedua, memberi kemudahan baik fiskal maupun nonfiskal agar semua kontraktor kontrak kerja sama (K3S) bersedia menjual minyak milik mereka kepada Pertamina, termasuk volume minyak bagi hasil kontraktor ditambah pembayaran cost-recovery yang total hampir mendekati 50 persen dari seluruh lifting minyak, dengan harga pasar yang disepakati bersama.

Guna mengapresiasi kesediaan Pertamina menyerap jenis minyak yang kurang disukai kilang dalam negeri, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No 2576 tertanggal 28 Agustus 2012 tentang formula dan besaran imbalan pengelolaan atau penjualan minyak dan gas bumi bagian negara oleh Pertamina. Bagi pengelolaan dengan spesifikasi tidak sesuai dengan desain kilang, Pertamina akan dapat imbalan 1 dollar AS/barrel. Adapun bagi minyak yang terpaksa diekspor atau digantikan (exchange) oleh minyak jenis lain, Pertamina mendapat imbalan 0,10 dollar AS setiap barrel.

Dengan adanya ketentuan pemberian fee bagi Pertamina, wajar jika publik berharap Pertamina bersikap lebih bijak dengan menyerap sebanyak mungkin minyak bagian negara, terutama jika kelak Pertamina jadi ditugaskan menggantikan SKK Migas untuk ”menunjuk-penjual” minyak bagian negara.

Kalangan perminyakan memperkirakan target lifting minyak 2014 sebesar 870.000 barrel/hari akan sulit dicapai. Demi memangkas defisit neraca perdagangan, khususnya migas, dibutuhkan strategi ”menahan lifting minyak di dalam negeri sebanyak mungkin”, baik bagian negara maupun bagian kontraktor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar