Senin, 23 September 2013

Kudeta Mesir dan Indonesia

Kudeta Mesir dan Indonesia
Todung Mulya Lubis ;   Ketua Dewan Pengurus Imparsial;
Fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School
KOMPAS, 23 September 2013


Kondisi politik Mesir kian tidak menentu. Setelah kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi, kini gelombang demonstrasi pendukung Mursi seakan tak pernah berhenti. Serangkaian tindakan kekerasan militer Mesir dalam menghadapi gelombang demonstrasi tak kunjung usai.

Kudeta terhadap Presiden Mursi sebagai pemimpin sah terpilih secara demokratis melalui pemilu, bagaimanapun dan dengan alasan apa pun, tak dibenarkan. Meskipun sangat dipahami, kemarahan pejuang demokrasi di Mesir menentang Mursi yang diakhiri kudeta militer adalah karena kebijakan Mursi sendiri yang cenderung fundamentalis dan sarat nepotisme.
Potret kondisi politik Mesir yang diperbandingkan dengan kondisi Indonesia pada 1997/1998, sebagaimana ditulis mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto (Kompas, 1/8), ”Membandingkan Mesir dan Indonesia” tentu menjadi menarik. Karena itulah, artikel ini mencoba merespons tulisan tersebut.
1998 dan peran ABRI
Serupa walau tak sama, gejolak politik di Mesir pernah terjadi di Indonesia tahun 1998. Di sejumlah daerah di Indonesia, saat itu juga berlangsung gelombang protes mahasiswa dan rakyat menuntut Presiden Soeharto mundur. Berbagai aksi itu mencapai puncaknya, yakni peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti di Jakarta pada 12 Mei 1998. Peristiwa itu kemudian diikuti dengan meletusnya huru-hara selama tiga hari di sejumlah kota, khususnya di Ibu Kota.
Dalam tulisannya, Wiranto yang menjadi Panglima ABRI pada masa pergolakan politik 1998 menolak anggapan ABRI melakukan pembiaran terhadap peristiwa huru-hara Mei tersebut. Wiranto justru mengklaim keberhasilan ABRI meredam peristiwa itu dengan mengerahkan pasukan dari sejumlah daerah sehingga bisa meredamnya dalam tempo tiga hari.
Penolakan Wiranto bahwa negara melakukan pembiaran pada peristiwa kerusuhan Mei patut dipertanyakan. Pembiaran sebagai bagian dari crimes by omission tak dilihat dari durasi kerusuhan. Yang dilihat dari crimes by omission adalah ketakhadiran negara untuk menangani kondisi keamanan secara proporsional dan profesional yang berimplikasi munculnya kekerasan dan jatuhnya korban jiwa warga sipil.
Hasil penyelidikan tim gabungan pencari fakta (TGPF) menyebutkan, kerusuhan Mei 1998 memiliki pola terencana dan pelaku (provokator) secara fisik tampak terlatih. Persoalan apakah Panglima ABRI bersalah atau tidak atas dugaan crimes by omission atau crimes by comission tentu hanya bisa dibuktikan melalui mekanisme pengadilan. Masalahnya, pembentukan pengadilan HAM untuk kerusuhan Mei itu tidak kunjung terealisasi hingga sekarang. Peristiwa Mei 1998 masih mengandung misteri yang ditutupi oleh kabut gelap.
Meski berbeda pada sejumlah kasus, ABRI pada 1998 juga tidak kalah represif daripada militer Mesir dalam menghadapi gerakan protes mahasiswa dan rakyat. Gelombang-gelombang protes di sejumlah daerah yang mulai berani melakukan aksi di luar kampus disikapi secara represif oleh aparat. Bentrokan tak terhindarkan. Banyak mahasiswa menjadi korban. Patut diingat, pada saat itu juga terjadi penculikan aktivis prodemokrasi. Kasus ini tak hanya melibatkan satuan elite Angkatan Darat melalui tim mawar, tetapi juga diduga melibatkan institusi ABRI. Tentu hal ini telah dibantah oleh pihak ABRI.
Terlepas dari bantahan yang diberikan, sejumlah aksi represif itu menunjukkan ABRI pada tahun 1998 tidak jauh lebih baik daripada militer Mesir. Keduanya sama-sama menjadi instrumen dari kekuatan antidemokrasi. Bedanya, tindakan ABRI lebih menitikberatkan pada kelangsungan rezim otoriter Orde Baru, sedangkan militer Mesir mengamankan jalannya kudeta dan pemerintahan yang dibentuk.
Di pengujung Orba
Dalam pergulatan politik Indonesia tahun 1998 memang tidak terjadi kudeta, sebagaimana yang sekarang di Mesir. Presiden Soeharto akhirnya mundur dari jabatan, menyerahkan kembali mandatnya ke MPR. Pengunduran itu membuat Wakil Presiden BJ Habibie langsung diangkat menjadi Presiden RI. Agenda terdekatnya adalah menyelenggarakan pemilu, yang kemudian terlaksana tahun 1999.
Dilihat dari sisi proses peralihan (transisi) kekuasaan berlangsung, langkah ABRI patut diapresiasi. Meski ada peluang politik, ABRI tidak mengambil alih kekuasaan dan memberi ruang bagi berjalannya mekanisme dan politik yang demokratis.
Namun, sikap ABRI dan Wiranto yang tidak mau mengambil alih kekuasaan seperti di Mesir tentu penting dibaca dalam konteks politik lebih luas. Sikap dan langkah mereka juga tidak bisa dilepaskan dari situasi dan perkembangan politik yang ada. Ada beberapa faktor yang penting dilihat yang memengaruhi sikap ABRI kala itu.
Pertama, konteks politik nasional. Setelah peristiwa Trisakti dan huru-hara 13-15 Mei 1998, dinamika politik berubah cepat. Desakan mahasiswa dan rakyat agar Soeharto mundur menguat. Tokoh-tokoh agama dan masyarakat bergabung dengan mahasiswa. Jakarta dikepung mahasiswa, DPR diduduki.
Di tingkat elite juga terjadi pergeseran. Hampir semua elite dan faksi politik di parlemen berbalik arah mendukung gerakan reformasi. Juga elite di tubuh Golkar. Hal itu terlihat dari perubahan sikap pimpinan DPR. Anggota kabinet mengundurkan diri dan tidak lagi bersedia bergabung dalam kabinet reformasi bentukan Soeharto.
Kedua, konflik di tubuh ABRI. Bukan rahasia lagi, pada 1998 terjadi konflik tajam di tubuh ABRI. ABRI terbelah dua kutub. Gesekan dan saling intrik terjadi. Pada masa itu, meski Wiranto merupakan Panglima ABRI, bisa dikatakan tak sepenuhnya bisa mengontrol dinamika internal di tubuh ABRI. Internal ABRI saat itu tidak solid.
Ketiga, dukungan internasional. Komunitas internasional cenderung mendukung kekuatan prodemokrasi dan mendorong berlangsungnya transisi demokrasi. Posisi Soeharto tidak lagi mendapat dukungan. Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan di Mesir, yaitu kekuatan internasional, meski tidak secara terbuka, mendukung kudeta militer.
Keempat, krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 juga memberi pengaruh pada perhitungan tidak terjadinya kudeta militer di Indonesia. Dalam krisis ekonomi itu, tentu tidak memungkinkan berlangsungnya kudeta mengingat dunia internasional tidak menginginkannya. Apabila saat itu kudeta dilakukan, negara justru sangat mungkin bangkrut karena dunia internasional tidak mau memberi bantuan.
Kelima, budaya militer dan esprit de corps. Sosok Soeharto yang berlatar militer menjadikan Wiranto tak mungkin melakukan kudeta. Apalagi Wiranto termasuk anak didik Soeharto sehingga tak mungkin melakukan kudeta terhadap gurunya sendiri. Kondisi itu bertolak belakang dengan Mursi yang berasal dari sipil.
Dalam konteks ini, penggunaan mandat Perpres No 16/1998 oleh Panglima ABRI akan penuh risiko dan biaya politik besar. Apalagi melakukan kudeta terhadap kekuasaan Soeharto. Situasi dan perkembangan politik sudah tidak menguntungkan bagi ABRI untuk berseberangan dengan gerakan reformasi. Walaupun demikian, apresiasi tetap pantas diberikan kepada ABRI secara institusi yang tidak melakukan langkah melawan kondisi obyektif saat itu sehingga Indonesia tak menjadi seperti Mesir saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar