Senin, 23 September 2013

Pendidikan Anak-Anak TKI

Pendidikan Anak-Anak TKI
Ahmad Rizali ;   Pegiat Pendidikan; Pendiri dan Pembina Ikatan Guru Indonesia
KOMPAS, 23 September 2013


Di tengah optimisme Indonesia menghadapi fenomena bonus demografi sebagai titik tolak lepas landas menuju negara maju, kita masih menyisakan 45.000 lebih anak-anak TKI pekerja kebun sawit di Sabah dan Sarawak yang tak tersentuh layanan pendidikan.

Di dalam negeri, hiruk-pikuk pelaksanaan Kurikulum 2013 masih saja terdengar. Belum lagi rasa bangga yang dicuatkan pemerintah terkait penghargaan UNESCO atas kesuksesan Indonesia dalam mengurusi buta aksara serta klaim Mendikbud atas menurunnya tingkat buta aksara. Di tengah atmosfer optimisme semacam itu, di seberang tapal batas negeri ini ribuan anak Indonesia dalam kondisi buta huruf dan buta tentang Indonesia.

Mereka adalah anak-anak WNI yang pada dasarnya tidak diperbolehkan membawa anak dan beranak-pinak di kebun sawit yang mahaluas itu. Sekalipun demikian, umumnya semua anggota keluarga ikut bekerja di kebun yang menyumbang pangsa ekspor terbesar negeri jiran itu.

Meski Pemerintah Indonesia peduli dengan kondisi mengenaskan itu, dengan membangun Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) dan mengirim guru untuk bekerja di Community Learning Center (CLC)—baik yang dikelola oleh SIKK, Yayasan Serat Bangsa, dan LSM Asing Humana—jika pendekatan pemberantasan buta huruf masih dilakukan dengan cara business as usual, mustahil puluhan ribu anak buta huruf itu tertangani.

Pemerintah Indonesia hanya bersikap pasrah jika bujukan kepada negeri jiran agar diperbolehkan mendidik anak bangsanya di rumah mereka tidak diizinkan, dan selalu mencari lagi jalan lain yang paling santun. Padahal, kedua negara saling memahami bahwa di kebun sawit ada pengabaian terhadap deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pendidikan untuk semua (education for all/EFA) dan ratifikasi Konvensi Hak Anak Internasional. Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pemerintah Indonesia sendiri sebetulnya sudah memberi wewenang kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk mengurus TKI dan keluarganya dalam Undang-Undang Tenaga Kerja, tetapi tampaknya lembaga ini sudah menyerah dan kalang kabut mengurus TKI dewasa sehingga keluarganya terlupakan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Luar Negeri tentu sudah memainkan peran lembaga itu dengan optimal, tetapi terhalang oleh ”unggah-ungguh” diplomasi, kedaulatan negara masing-masing dan aturan ketidakbolehan APBN RI menyeberang ke luar negeri. Alhasil, saking ketatnya aturan itu, para pejabat yang bekerja di garda depan sering kali hanya bersikap pasrah dan enggan dimintai bantuan untuk mengurus penderita buta huruf tersebut.

Berlagak bodoh

Tentu Malaysia cukup pandai untuk melihat bahwa TKI yang bekerja di kebun sawit kawasan mereka bersama keluarganya dan membiarkan anak usia sekolah buta huruf adalah melanggar etika internasional. Namun, ketika tidak ada satu LSM hak asasi anak pun di sana yang ”berteriak”, tentulah sikap berlagak bodoh adalah yang paling tepat.

Kalangan akademis Malaysia yang masih punya empati berupaya mengajak belasan perguruan tinggi eks IKIP Indonesia membentuk konsorsium. Salah satu program konsorsium adalah berkomitmen pada pelaksanaan EFA. Langkah yang akan ditempuh adalah mengirim mahasiswa dari Indonesia yang meneruskan kuliah S-1 di Malaysia, di tahun terakhir, ”kerja praktik mengajar” ke kawasan kebun sawit.

Birokrasi Malaysia dan saudaranya di Indonesia terasa tidak menganggap masalah ini sebuah prioritas yang harus diselesaikan. Hal itu terbukti dari kurang cepatnya dukungan pada inisiatif dari pihak lain ketika ingin membantu dengan mengirimkan guru relawan ke Sabah, Malaysia. Sebuah yayasan yang berafiliasi pada satu BUMN besar bahkan berniat membatalkan pengiriman guru relawan mereka karena sudah enam bulan menunggu tanpa kepastian agar memperoleh izin dari negeri jiran.

Meskipun tim relawan dari yayasan tersebut sempat mendapat pompaan semangat langsung dari Wapres, Mendikbud dan Menakertrans di Istana Wapres, toh sesudah empat bulan lebih masih tetap tak ada kepastian berangkat, sudah tiga dari 15 relawan tersebut yang mengundurkan diri.
Jika Pemerintah RI menganggap masalah ini adalah prioritas, tentunya pihak-pihak terkait harus terus berjuang dan ”menekan” Pemerintah Malaysia agar memberi izin lebih banyak lagi CLC boleh beroperasi secara legal sehingga guru relawan dengan mudah terus ditambah. Jika perlu, Presiden membentuk semacam satuan tugas (satgas) khusus lintas kementerian, atau bahkan memimpin sendiri upaya ”menekan” Pemerintah Malaysia dengan saling membuka ”kartu” masing-masing.

Saya tidak mengerti ke mana muka kita akan disembunyikan dalam pergaulan antarbangsa. Dan, betulkah kita akan mampu melunasi janji kemerdekaan sebagaimana tokoh muda Anies Baswedan sering sebutkan, ketika kita tidak peduli dengan masalah yang sangat mendasar ini.

Bonus demografi dan semua statistik sukses ekonomi dan kesejahteraan yang meningkat dengan naiknya penerimaan per kapita akan tak berarti jika kita membiarkan nasib anak bangsa tetap bodoh, menderita buta huruf di Sabah. Tidak takutkah Malaysia dan Indonesia jika mereka nanti tumbuh dewasa dan jadi teroris militan karena kebodohan yang bukan kesalahan mereka, melainkan karena pembiaran kita sebagai sesama anak bangsa? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar