Selasa, 17 September 2013

Menyegarkan Gagasan Rekonsiliasi

Menyegarkan Gagasan Rekonsiliasi
Munawir Aziz ;  Penulis buku Dinamika Identitas Orang Pesisiran, Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM
SUARA MERDEKA, 17 September 2013


“Rekonsiliasi dengan jalur kebudayaan lebih memunculkan simpati dan mengobati luka daripada jalur politik”

SEPTEMBER selalu mengingatkan kita tentang peristiwa sejarah yang menjadi tonggak perjalanan bangsa pascakemerdekaan. Peristiwa September 1965 merupakan memori yang sampai saat ini masih gelap: hitam pekat, berkabut, dan tak pernah jelas. Catatan sejarah tentang peristiwa itu menjadi catatan sumir yang selalu mengundang perdebatan, menjadi tabir sejarah politik Indonesia. Peristiwa itu menjadi perkara sensitif tentang kejahatan kemanusiaan, yang selalu mengusik pro-kontra dalam forum ilmiah, buku, maupun debat politik (Mortimer, 2006; Mc Vey, 2006).

Ingatan tentang peristiwa September 65 menjadi momok bagi masa depan Indonesia. Untuk mencari terang atas tragedi ini, diupayakan strategi rekonsiliasi untuk menggandeng kembali pihak ahli waris, keturunan, dan pengikut pihak-pihak yang menjadi ìkorbanî ataupun yang dianggap sebagai pelaku.
Meski silang pendapat subjektif antara pelaku dan korban demikian kabur, yang pasti peristiwa ini melihatkan agresi politik, pertaruhan militer, ideologi massa hingga kepentingan ormas. Pewaris pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai saat ini memiliki beban politik berat, bahkan ketika rezim Orde Baru sudah tumbang.

Lalu, bagaimana merefleksikan peristiwa September 1965 pada masa kini? Gagasan rekonsiliasi memang menjadi bagian penting dalam diskursus Indonesia masa kini dan masa depan. Subjek pelaku-korban antara: militer, pengurus PKI, NU dan ormas-ormas lain, serta orang-orang Tionghoa seolah-olah berada dalam pusaran kebisuan politik.

Mengungkit peristiwa kelam September 1965 adalah membuka luka sejarah. Tetapi jika tanpa membuka luka ini, bangsa ini terus saja mengalami kegelapan sejarah tanpa akhir. Untuk itu, gagasan rekonsiliasi menjadi diskursus penting dalam sejarah Indonesia masa kini dan masa depan.

Gagasan rekonsiliasi menjadi strategi politik yang bergema setelah 1998. Tumbangnya rezim Soeharto membuka pikiran beberapa pihak tentang pentingnya menjabat tangan antarkelompok: lintas etnis, ideologi, agama hingga hasrat politik. Gagasan rekonsiliasi muncul kembali pada upaya Panitia 17 untuk mengganti nama Jalan Merdeka (Utara, Selatan, Barat dan Timur) di Jakarta menjadi nama-nama tokoh politik yang berjasa dalam pertumbuhan Ibu Kota: Soekarno, Hatta, Soeharto, dan Ali Sadikin.

Perdebatan pun muncul menanggapi upaya Panitia 17 mengganti nama Jalan Merdeka, dengan kemunculan sosok Soeharto sebagai salah satu simbol politik. Pihak yang menentang keras pergantian nama Jalan, mendasarkan argumentasi pada pentingnya nama ”Merdeka” sebagai simbol perjuangan bangsa, sebab merdeka hanya sekali dalam sejarah negeri ini. Adapun nama Soeharto hanya memunculkan sentimen politik, yang dikhawatirkan menjadi pembajakan sejarah dan test case terhadap citra Bapak Pem­bangunan dalam memori kolektif warga negeri ini.

Menyegarkan Sejarah

Sebaliknya, pihak yang setuju dengan penetapan nama Soeharto memunculkan argumentasi bahwa sudah saatnya rekonsiliasi nasional dilakukan, dengan menghapus mimpi buruk, lalu menebar optimisme masa depan. Tulisan ini tidak sepenuhnya mengelaborasi perdebatan tentang pergantian nama jalan, namun lebih menitikberatkan pada diskursus rekonsilasi dalam sejarah kolektif serta pengaruhnya pada identitas politik Indonesia.

Gagasan rekonsiliasi perlu dilihat dalam dua hal: Pertama; sebagai peristiwa politik dalam sejarah Indonesia. Melihat gagasan rekonsiliasi sebagai peristiwa politik, perlu membaca motif dan pergerakan elite-elite yang berkepentingan dengan ide ini. Jika mengupayakan rekonsiliasi hanya sebagai jembatan untuk menghapus kesalahan politik-militer tokoh tertentu, dan upaya memuluskan prasyarat sebagai pahlawan nasional, tentu hal ini mengandung kepentingan politik yang perlu dikritisi.

Memang, di kalangan arus bawah, telah terjadi upaya untuk mengingat kembali jasa-jasa mantan presiden Soeharto, yang dianggap berhasil mewujudkan negara gemah ripah loh jinawi dan mudah mendapat akses pekerjaan. Akan tetapi, pembungkaman kebebasan politik dan penyumbatan gagasan lewat media massa juga perlu dipertimbangkan.

Kedua; rekonsiliasi kebudayaan. Gagasan rekonsiliasi kebudayaan ini menjadi jalan alternatif  yang masuk akal untuk merawat harmoni Indonesia masa kini dan mendatang. Kerja rekonsiliasi kebudayaan dilakukan oleh aktivis muda NU yang tergabung di LSM Syarikat, yang dikomando Imam Aziz. Selain itu, jejaring silaturahmi anak bangsa yang digagas Guruh Soekarnoputra juga menjadi rekonsiliasi budaya yang penting: mempertemukan anak-anak para tokoh kemerdekaan lintas ideologi dan agama.


Rekonsiliasi budaya menjadi bagian penting upaya mencipta harmoni dan mengukuhkan dialog untuk mencari hikmah dalam sejarah politik Indonesia. Rekonsiliasi dengan jalur kebudayaan lebih memunculkan simpati dan mengobati luka bangsa, daripada jalur politik. Strategi rekonsiliasi politik, meski berdampak drastis dalam arus politik Indonesia, rawan untuk dibajak sebagai kepentingan politik. Tentu, rekonsiliasi sebagai modus kepentingan politik akan menjadi tragedi tersendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar